Life Begin at Forty
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
SMA saya sudah berpikir nikah, tetapi baru mewujudkannya
ketika saya kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ada cita‐cita besar yang ingin saya wujudkan melalui pernikahan, meskipun bekal
untuk mencapainya saya rasa masih sangat kurang, terutama dalam hal kedekatan
ke‐pada Allah dan ilmu untuk mewujudkannya. Padahal segala sesuatu ada ilmunya
yang harus kita ketahui sebelum melakukan. Al‐‘ilmu qablal ‘amali wal qauli.
Ilmu itu sebelum perbuatan dan perkataan.
Mengapa nikah dini? Ada pesan Allah yang perlu kita
renungkan, “Kami perintah‐kan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunya mengan‐dungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula). Mengandung‐nya sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun
ia berdoa: ʺYa Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang shaleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau
dan sesungguhnya aku termasuk orang‐orang yang berserah diriʺ.” (QS.
Al‐Ahqaaf, 46: 15).
Ayat ini mengingatkan kita untuk berbakti kepada
orangtua, terutama kepada ibu, dan mencapai kemapanan dalam berbakti pada usia
empat puluh tahun. Allah ‘Azza wa Jalla jadikan usia 40 tahun sebagai titik
tonggak yang sangat penting. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsier menunjukkan
sifat dari jenjang usia ini, yaitu akalnya matang dan pemahaman‐nya telah
sempurna.
Diriwayatkan oleh al‐Hafizh Abu Ya’la al‐Mushili dari
Utsman ra. bahwa Nabi saw. bersabda, “Seorang ‘abid muslim (‘abdu l‐muslimu)
apabila telah mencapai usia 40 tahun, maka Allah Ta’ala akan meringankan
hisabnya. Bila telah mencapai usia 60 tahun, Allah Ta’ala akan menganugerahinya
kemauan untuk kembali kepada‐Nya. Bila telah mencapai 70 tahun, dia akan
dicintai oleh para penghuni langit. Bila telah mencapai 80 tahun, Allah Ta’ala
akan me‐ngukuhkan kebaikan‐kebaikannya dan menghapus kesalahan‐kesalahannya.
Dan bila telah mencapai usia 90 tahun, Allah Ta’ala akan memberikan ampunan
kepadanya atas dosa‐dosa yang telah lalu dan kemudian. Dan Allah Ta’ala akan
memberikan hak syafa’at kepadanya un‐tuk ahli‐baytnya dan akan dituliskan di
langit sebagai tawanan Allah di bumi‐Nya.”
‘Abd adalah seorang yang menghamba kepada‐Nya,
menundukkan diri dan hatinya kepada Allah untuk menyembah‐Nya di pagi dan
petang, siang dan malam. Ia menyembah kepada‐Nya dengan shalatnya, ‘ibadahnya
dan hidupnya, yakni seluruh kehidupannya, ter‐masuk jabatan dan kariernya,
sehingga dengan itu kelak matinya pun untuk Allah dan dalam
Seakjj
rangka ta’at kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bukankah kita
selalu berikrar bahwa sesungguhnya shalatku, ‘ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah Tuhan Sekalian Alam?
Semoga Allah Ta’ala memperjalankan kita sebagai hamba‐Nya
yang senantiasa me‐nyembah‐Nya dengan shalat kita, ‘ibadah kita dan keseluruhan
hidup kita. Semoga Allah ge‐napkan yang kurang dan sempurnakan yang cacat dan
lemah dalam pengabdian kita kepada‐Nya. Allahumma amin.
Kembali kepada hadis riwayat Abu Ya’la yang kita kutip
dari Tafsir Ibnu Katsier. Ada pertanyaan yang patut kita renungkan, mengapa Allah
ringankan hisab seorang hamba yang telah mencapai usia 40 tahun? Jawaban
pertama adalah wallahu a’lam bish‐shawab. Hanya Allah yang Tahu.
Selebihnya, izinkan saya mengambil pelajaran dari sedikit
ilmu yang saya miliki dan pengetahuan yang serba terbatas. Secara psikologis,
40 tahun merupakan usia mapan secara mental. Artinya, usia ini secara umum
menggambarkan diri kita secara keseluruhan hingga akhir hayat, meskipun
perubahan‐perubahan besar masih sangat mungkin terjadi. Apa yang menjadi
karakter kita di usia 40 tahun merupakan hasil dari proses panjang pematangan
diri. Usia ini juga merupakan titik tolak untuk membangun kembali orientasi
hidup yang lebih bermakna, atau sebaliknya justru terlepas dari makna tetapi
tetap terjadi penguatan mental pada diri kita. Jika pada masa‐masa sebelumnya
kita sudah memiliki dan secara terus‐mene‐rus membangun arah hidup, maka pada
usia 40 tahun insya‐Allah kita memiliki orientasi yang lebih kuat, mapan dan
berdaya. Di usia inilah kita lebih mampu mensyukuri segala nikmat Allah dalam
diri kita dan hidup kita dengan lebih sempurna.
Tetapi…
Jika pada masa‐masa sebelumnya kita tidak memiliki
orientasi hidup yang jelas, ti‐dak mempersiapkan diri dengan baik untuk
memasuki usia ini dengan sukses, sulit memba‐yangkan kita mampu menjadikan usia
40 tahun sebagai titik tolak untuk menyempurnakan kebaikan‐kebaikan dan
ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sekalipun demikian, kita tidak menafikan
bahwa usia ini sekaligus merupakan titik balik yang sangat menentukan.
Perubah‐an orientasi secara mendasar di usia ini akan sangat mempengaruhi sisa
perjalanan hidup kita yang mungkin tinggal 20 tahun, 30 tahun, 40 tahun atau
syukur lebih dari 50 tahun.
Agar kita bisa memasuki usia 40 tahun secara sukses
sebagai hamba yang bersyukur, Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan kita untuk
memantapkan langkah dalam berbuat baik ke‐pada kedua orangtua (birrul
walidain). Sangat luas cakupan birrul walidain yang bisa dan seba‐iknya kita
lakukan. Semua itu memerlukan kesiapan mental sehingga kita tidak sampai
ber‐kata kasar pada orangtua, kesiapan ilmu, kesiapan fisik, kesiapan
pengalaman serta kesiapan finansial. Banyak kewajiban terhadap orangtua yang
memerlukan biaya, sekalipun orangtua memiliki deposito yang besarnya melebihi
kekayaan kita.
Pada bagian berikutnya dalam surat Al‐Ahqaaf ayat 15,
Allah mengajarkan kepada kita untuk berdo’a di usia 40 tahun itu dengan
permohonan, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku un‐tuk mensyukuri nikmat Engkau yang
telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan su‐
paya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau
ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (mem‐beri kebaikan) kepada anak
cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang‐orang yang berserah diri.ʺ
Sesungguhnya do’a itu di satu sisi adalah permohonan yang
kita sampaikan dengan penuh harap kepada Allah Tuhan Pencipta Langit dan Bumi,
dan di sisi lainnya merupakan ikrar. Berdustalah orang yang memohon kebaikan
dunia akhirat, tetapi secara sengaja dia ba‐nyak berbuat maksiat.
Karena itu, agar perbincangan kita lebih sempurna, mari
kita periksa do’a yang di‐tuntunkan Allah untuk kita mohonkan di usia 40 tahun.
Pertama, kita membuka do’a dengan kesaksian bahwa hanya Allah yang memberi
petunjuk dan hanya kepada‐Nya kita memohon petunjuk. Kita menyatakan pengakuan
bahwa Ia adalah tuhan kita seraya memohon hidayah tatkala kita berkata, “Ya
Tuhanku, tunjukilah aku”. Maka, selayaknya kita membekali diri dengan ilmu
tentang perintah dan larangan‐Nya. Mudah‐mudahan dengan itu Allah menganugerah‐kan
kepada kita hidayah.
Kedua, kesaksian kita bahwa hanya Allah yang memberi
petunjuk tersebut secara khusus kita mohonkan kepada‐Nya untuk memberi hidayah
kepada kita agar mampu menja‐di hamba yang mensyukuri nikmat‐Nya. Sesungguhnya
syukur itu meliputi gerak hati (bil qalbi), ucapan (bil lisan) dan perbuatan
nyata, yakni mempergunakan nikmat yang Allah beri‐kan kepada kita untuk
menegakkan kalimat Allah di muka bumi, memuji‐Nya dengan kata‐kata dan
perbuatan, menolong agama Allah, serta mempergunakan nikmat untuk melakukan
proyek‐proyek kebaikan.
Ketiga, memohon petunjuk dan kekuatan kepada‐Nya agar
mampu mensyukuri nik‐mat yang telah Allah berikan kepada ibu bapak kita. Semoga
dengan itu akan menambah ke‐cintaan kita kepada mereka, meningkatkan syukur
kita kepada Allah, mendorong kita untuk lebih bersemangat dalam berbuat baik
kepada ibu bapak kita. Semoga pula yang demikian ini membawa kita dan orangtua
termasuk dalam barisan orang‐orang yang mensyukuri nik‐mat Allah, mengimani dan
bertakwa kepadanya. Dan tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak
berterima kasih kepada manusia. Begitu Rasulullah saw. mengingatkan.
Jika kita dan orangtua termasuk golongan orang yang
beriman kepada‐Nya, maka Allah akan saling susulkan kita ke surga kepada yang tingkat
kebaikannya paling tinggi. Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang‐orang yang
beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti me‐reka dalam keimanan, Kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun
dari pahala amal mereka. Tiap‐tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya.” (QS. Ath‐Thuur, 52: 21).
Keempat, memohon petunjuk kepada Allah ‘Azza wa Jalla
agar mampu melakukan amal shaleh yang diridhai. Dan tidaklah amal kita diridhai
Allah subhanahu wa ta’ala kecuali apabila kita ikhlas karena Allah dan sejalan
dengan syari’at saat melakukannya. Ini berarti, kita memerlukan kekuatan hati,
kekuatan iman dan kekuatan ilmu agar mampu beramal sha‐lih yang diridhai.
Kekuatan ilmu untuk mengetahui mana yang syar’i mana yang tidak, ke‐kuatan hati
yang berpijak di atas kekuatan ‘ilmu agar kita mampu melakukan amal shalih de‐
ngan sebaik‐baiknya –bukan sebanyak‐banyaknya—dan terjauh
dari ghurur1. Sedangkan ke‐kuatan diperlukan agar amal kita ikhlas. Di luar
itu, keikhlasan kadang memerlukan penjaga, di antaranya kemampuan finansial
kita.
Kelima, memohon kebaikan untuk diri kita, untuk keturunan
kita dan melalui baik‐nya keturunan kita. Pada usia 40 tahun, idealnya kita
sudah mencapai kemapanan dalam mem‐persiapkan generasi. Pada usia itu kita
sudah bisa melihat gambaran dari keturunan kita, yak‐ni anak‐anak kita, karena
mereka sudah mulai tumbuh dewasa. Sekurangnya anak pertama kita sudah di
penghujung masa remajanya. Pada saat yang sama, ia sudah bisa kita harapkan
untuk membimbing dan menjadi teladan bagi adik‐adiknya.
Jadi, pada usia 40 tahun mestinya kita tidak sedang
sibuk‐sibuknya menceboki anak‐anak kita yang baru lahir. Masih kecil‐kecil.
Keenam, usia 40 tahun seharusnya menjadi titik tonggak
kita untuk lebih berorientasi pada akhirat. Kita menjadi manusia yang lebih
spiritual dibanding waktu‐waktu sebelumnya. Kita sudah tidak menyibukkan diri
berpikir duniawi, meskipun kita barangkali sangat sibuk mengurusi dunia. Tetapi
semua itu kita lakukan dengan orientasi yang lebih religius, sekali‐gus
mempersiapkannya sebagai bekal pulang ke kampung akhirat.
Di usia ini, mudah‐mudahan kita mampu bertaubat dengan
sebenar‐benar taubat. Kita berserah diri kepada Allah dan menggunakan sisa
hidup kita untuk lebih banyak mela‐kukan amal shaleh yang diridhai, lebih
khusyuk beribadah dan lebih siap menyongsong ke‐matian sebagai jalan perjumpaan
dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Mudah‐mudahan pada usia itu kita sudah mampu
mencapai derajat nafsul muthmainnah. Jiwa yang tenang. Allahumma amin.
Jika kita mampu bersetia dengan do’a kita, dalam
pengharapan dan tindakan, maka insya‐Allah surga telah merindukan kita. Allah
Ta’ala berfirman di ayat selanjutnya, “Mereka itulah orang‐orang yang Kami
terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni
kesalahan‐kesalahan mereka, bersama penghuni‐penghuni surga, sebagai janji yang
benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al‐Ahqaaf, 46: 16).
Nah, apalagi yang lebih indah daripada surga sesudah
kematian kita. Di sana ada perjumpaan dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Di sana ada
kebahagiaan yang tak putus‐putus. Dan inilah sebaik‐baik impian kita. Inilah
yang harus kita kukuhkan sebagai mimpi terindah sejak hari pertama kita
menikah.
Secara keseluruhan, ada beberapa hal yang perlu kita
wujudkan di usia 40 tahun (semoga Allah Ta’ala memampukan kita mencapainya).
Selengkapnya, mari kita lihat apa saja yang perlu kita upayakan:
1 Ghurur artinya terkelabuhi. ‘Amal yang tampaknya shalih
bisa kosong dari pahala apabila ada ‘amal yang lebih utama tidak kita
laksanakan karena terjebak pada bentuk amal yang sudah kita pikirkan. Membangun
masjid itu sangat mulia dan besar sekali pahalanya. Tetapi jika menyibuk‐kan
memugar masjid yang sudah megah, sementara membiarkan tetangga masjid terancam
kei‐manannya dikarenakan buruknya perekonomian mereka, maka memugar masjid bisa
justru sia‐sia. Tidak berpahala.
1. Mapan dalam berbakti kepada ibu bapak. Untuk itu perlu
kesiapan mental, iman dan finansial.
2. Mapan dalam mensyukuri nikmat Allah. Kita perlu
melakukannya dengan hati, lisan dan perbuatan. Semoga dengan itu kita bisa
menjadi manusia yang paling bermanfaat.
3. Mapan dalam melakukan amal shaleh yang diridhai. Untuk
kita memerlukan kesiapan hati, iman dan ‘ilmu. Agar keikhlasan kita terjaga
–tidak rusak—perlu ada penjaganya.
4. Mapan dalam melakukan proyek‐proyek kebaikan.
5. Mapan dalam mempersiapkan keturunan sebagai generasi
yang tidak kita kha‐watiri nasibnya di belakang kita, baik secara material
maupun spiritual.
6. Mapan secara spiritual, sehingga pada usia ini kita
benar‐benar mampu mela‐kukan taubatan‐nashuhah dan berserah diri kepada‐Nya
dengan sebenar‐benar penyerahan diri.
7. Mapan secara finansial. Ini sangat penting untuk
menjaga keikhlasan, mendanai proyek‐proyek kebaikan, membiayai kegiatan dakwah
kita sendiri maupun orang lain, membiayai birrul walidain kita, mendanai proses
kaderisasi atas anak‐anak dan keturunan kita dan berbagai bentuk amal shaleh
lainnya.
Nah, apa yang sudah kita lakukan untuk menuju ke sana?
Mengapa Perlu Visi Besar?
Uang bisa menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka yang
lapar. Tetapi uang bisa menjadi penyebab hilangnya kebahagiaan yang hakiki bagi
mereka yang telah terpenuhi hajat hidupnya, karena pandangan terhadap uang,
karena keinginan terhadap uang telah melalai‐kan apa yang terpenting untuk
dicari dalam hidup ini. Uang juga bisa menjadi sumber perse‐lisihan –adanya
maupun tidak adanya—yang membawa pada perpecahan ketika suami‐isteri tidak
memiliki tujuan kuat yang hendak dicapai dan visi besar yang ingin diwujudkan.
Sepanjang pengalaman saya berhadapan dengan berbagai
kasus pernikahan, suami‐isteri yang mudah berselisih kerapkali ditandai oleh
niat yang salah semenjak awal menikah. Lurusnya niat sangat berpengaruh
terhadap bagaimana mereka merasakan rumah‐tangga, menghayati kehidupan
perkawinan dan memaknai hak maupun kewajiban. Niat juga mem‐pengaruhi harapan
dan orientasi perkawinan. Semakin besar harapan, semakin mudah kecewa.
Sedangkan semakin kuat orientasi, semakin mudah suami‐isteri menemukan
kebahagiaan a‐tas setiap pernik kehidupan perkawinan.
Harapan berkait dengan apa yang ingin kita dapatkan.
Sedangkan orientasi perka‐winan berhubungan dengan apa yang ingin kita lakukan,
apa yang hendak kita bangun dalam pernikahan. Keduanya mirip, tetapi berbeda
sekali pengaruhnya dalam kehidupan perkawin‐an. Bentuk perilakunya bisa sama,
tetapi maknanya sangat jauh berbeda.
Bagaimana dengan visi perkawinan? Visi berhubungan dengan
kepekaan terhadap arah dan tujuan (sense of purpose and direction). Ia memberi
energi.
Dua Anak Cukup!
Sesudah iman dan taqwa, dua hal yang perlu kita miliki
agar kita mampu menggeng‐gam dunia dan mewujudkan kejayaan. Allah Ta’ala
berfirman, “Kemudian Kami berikan ke‐padamu giliran untuk mengalahkan mereka
kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak‐anak dan Kami
jadikan kamu kelompok yang lebih besar.” (QS. Al‐Israa’, 17: 6).
Dalam Al‐Qur’an, jika terdapat kata “Aku” sebagai kata
ganti Allah, maka itu meru‐juk pada kekuasaan Allah secara mutlak. Misalnya
kata “aku” dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut ini:
“Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: ʺSesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumiʺ. Mereka
berkata: ʺMengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyu‐cikan Engkau?ʺ Tuhan
berfirman: ʺSesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ke‐tahuiʺ.” (QS.
Al‐Baqarah, 2: 30).
Atau dalam ayat berikut:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada‐Ku niscaya Aku ingat
(pula) kepadamu, dan bersyukur‐lah kepada‐Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat) ‐Ku.” (QS. Al‐Baqarah, 2: 152).
Sedangkan kami “kami” menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta’ala melibatkan pihak lain untuk mewujudkannya; bisa malaikat, bisa
manusia. Kadang kata “kami” menun‐jukkan keadaan bersyarat. Firman Allah dalam
surat Al‐Israa’ ayat 6 mengisyaratkan kepada kita agar berusaha sekaligus menata
diri agar siap menggenggam harta kekayaan dan anak‐anak yang banyak. Tanpa iman
dan taqwa, banyaknya harta bisa menghancurkan, sedikitnya bisa menjadi
penderitaan, dan berlimpahnya bisa membuat hidup terasa hampa. Tanpa keka‐yaan,
banyaknya anak bisa berarti lemahnya generasi.
InsyaAllah kita lanjutkan perbincangan saat diskusi.
No comments:
Post a Comment
ini komentar