Aku tuliskan surat ini atas nama rindu
yang besarnya hanya Allah yang tahu. Sebelum kulanjutkan, bacalah surat ini
sebagai surat seorang laki-laki kepada seorang laki-laki, surat seorang ayah
kepada seorang ayah.
Nak, menjadi musyrif itu indah dan
mulia.Besar kecemasanku menanti keberhasilanmu dihari esok. Karena aku berharap
kau takkan pernah kecewa.
Nak Menjadi musyrif/guru itu mulia.
Bacalah sejarah para nabi dan rasul. Dan temukanlah nasehat yangt terbaik tentang
guru.
Meskipun demikian, ketahuilah nak,
menjadi guru/musyrif itu berat dan sulit (terlebih saya sebagai pengganti ayah
kalian).tapi kuakui, betapa sepanjang
kehadiranmu disisiku, aku seperti menemukan keberadaanku, makna
keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku terhadapmu. Sepanjang keberadaanmu
adalah salah satu masa terindah yang paling aku banggakan didepan siapapun.
Bahkan dihadapan tuhan, ketika aku duduk berduaan berhadapan-Nya, hingga detik
ini.
Nak, saat pertama engkau hadir,
kugenggam tanganmu dengan penuh semangat kuyakinkan kamu BISA. Dan aku berjanji
akan selalu membantumu sekalipun kita tak akan lagi selamanya bersama.
Tapi seiring waktu, ketika engkau suatu
kali telah mampu berkata : “TIDAK“, dan “MELAWAN“ timbul kesadaranku siapa
engkau sebenarnya. Engkau bukan milikku, atau milik kedua orang tuamu. Engkau
milik Allah. Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu
semata-mata seharusnya hanya untuk Allah.
Nak, sedih, pedih dan terhempaskan
rasanya menyadari siapa sebenarnya aku dan kamu. Dan dalam waktu panjang di
malam-malam sepi, kusesali kesalahanku itu sepenuh-penuh air mata dihadapan
Allah. Syukurlah, penyesalan itu mencerahkanku.
Sejak saat itu nak, satu-satunya usahaku
adalah mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa
berusaha memenuhi keinginan pemilikmu. Melakukan segala sesuatu karena-Nya,
bukan karena aku dan orang tuamu. Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain,
tapi agar kamu dikagumi dan dicintai Allah.
Inilah usahaku yang terberatku (juga
usaha orang tuamu), karena artinya aku harus lebih dulu sesuai dengan keinginan
Allah. Agar perjalananmu mendekati-Nya tak lagi terlalu sulit.
Kemudian, kitapun memulai perjalanan itu
berdua, tak pernah engkau kuhindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku
Cuma menggenggam jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain. Agar dapat
kau rasakan perjalanan ruhani yang sebenarnya.
Saat engkau mengeluh letih berjalan,
kukuatkan engkau karena kita memang tak boleh berhenti, nak..berhenti berarti mati,
inilah kata-kataku dan orang tuamu ketika memberimu semangat dan menghapus air
matamu, ketika engkau hampir putus asa.
Akhirnya nak.., kalau nanti, ketika
semua manusia dikumpulkan di hadapan Allah, dan kudapati jarakku amat jauh
dari-Nya, aku akan ikhlas. Karena seperti itulah aku di dunia. Tapi kalau boleh
aku berharap, aku ingin saat itu aku melihat dirimu sangat dekat dengan Allah.
Aku bangga nak.., karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa kita kembalikan
kepada pemiliknya.
Dari musyrifmu yang selalu ingin
melihatmu terseyum bahagia. Lail fi lail
No comments:
Post a Comment
ini komentar