Tuesday, 24 November 2015

dialog habib mundzir

A....Assalammu’alaikum Wr. Wb.

Mungkin banyak dari kalangan pengikut madzhab Syafi’i tidak menyadari bahwa bertahlil dengan cara berkumpul beramai-ramai, membaca al-Quran, berdzikir, berdoa dan mengadakan hidangan makanan di rumah si mati atau keluarga si mati bukan saja Imam Syafi’i yang menghukuminya haram dan bid’ah, bahkan banyak para ulama madzhab Syafi’i turut berpendirian seperti Imam Syafi’i. Diantara meraka yang mengharamkan kenduri arwah, yasinan, tahlilan dan selamatan ialah Imam an-Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Ibn Katsir, Imam ar-Ramli dan banyak lagi para ulama mu’tabar dari kalangan madzhab Syafi’i, sebagaimana beberapa fatwa tentang pengharaman tersebut dari mereka dan Imam Syafi’i rahimahullah:

“Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) makan, yakni berkumpul di rumah (si mati) walaupun bukan untuk tangisan (ratapan).” (Al-Umm Juz 1 halaman 248).

“Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si mati dan berkumpul bersama di rumah (si mati) tersebut maka itu adalah bid’ah bukan sunnah.” (Mughni al-Muhtaj Juz 1 halaman 268).

Di dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 146 menyatakan pengharaman kenduri arwah:

“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia tentang mengundang orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si mati adalah bid’ah yang dibenci, termasuk dalam hal ini berkumpul bersama di rumah keluarga si mati karena terdapat hadits shahih dari Jarir bin Abdullah berkata: “Kami menganggap berkumpul bersam (berkenduri arwah) di rumah si mati dan menyiapkan makanan sebagai ratapan.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih).

B......Jawaban Habib Mundzir:

“Dari Aisyah Ra. bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi Saw. seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?” Rasul Saw. menjawab: “Boleh”. (Shahih Muslim hadits no.1004).

Mengenai makan di rumah duka, sungguh Rasul Saw. telah melakukannya. Dijelaskan dalam Tuhfat al-Ahwadziy:

“Hadits riwayat Ashim bin Kulaib Ra. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki Anshar, berkata: “Kami keluar bersama Rasul Saw. dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul Saw. memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala. Ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi Saw. untuk bertandang ke rumahnya. Lalu Rasul Saw. menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul Saw. menaruh tangannya di makanan itu. Kami pun menaruh tangan kami di makanan itu lalu kesemuanya pun makan.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah). Demikian pula diriwayatkan dalam al-Misykat di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau Saw. akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum. Dan hal ini merupakan nash yang jelas bahwa Rasulullah Saw. mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau Saw. setelah penguburan dan makan.” (Tuhfat al-Ahwadziy juz 4 halaman 67).

Lalu mana dalilnya yang mengharamkan makan di rumah duka?

3. Ucapan Imam Ibnu Abidin al-Hanafiy menjelaskan: “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini: Bupati menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yang dikatakan makruh oleh Imam Ibnu Abidin dan beliau tak mengatakannya haram. Inilah dangkalnya pemahaman orang-orang Wahabi yang membuat kebenaran diselewengkan.

4. Imam ad-Dasuqi al-Maliki berkata: “Berkumpulnya orang dalam hidangan makan makanan di rumah mayit hukumnya Bid’ah yang makruh (bukan haram tentunya).” Dan maksudnya pun sama dengan ucapan di atas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.

5. Syaikh Nawawi al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul di malam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam-macam, hal ini makruh (bukan haram).

Dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu-tamu, ini yang ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh. Tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim di atas telah memperbolehkannya bahkan sunnah. Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yang pahalanya untuk mereka sendiri pun maka tak ada pula yang memakruhkannya.

Lalu fatwa makruh mereka rubah menjadi haram, jelas bertentangan dengan ucapan mereka sendiri yang berhujjah bahwa agama ini mudah, dan jangan dipersulit. Mengenai ucapan Imam an-Nawawi itu makruh, mereka merubahnya menjadi haram. Entah karena bodohnya atau karena liciknya, atau karena kedua-duanya. Demikian saudaraku yang kumuliakan. Wallahu a’lam.

A....Assalammu’alaikum Wr. Wb.

“Kami keluar bersama Rasul Saw. dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul Saw. memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala. Ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi Saw. untuk bertandang ke rumahnya. Lalu Rasul Saw. menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul Saw. menaruh tangannya di makanan itu. Kami pun menaruh tangan kami di makanan itu lalu kesemuanya pun makan.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah).

“Kami keluar bersama Rasul Saw. dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul Saw. memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala. Ketika selesai maka datanglah seorang perempuan, mengundang Nabi Saw. untuk bertandang ke rumahnya. Lalu Rasul Saw. menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul Saw. menaruh tangannya di makanan itu. Kami pun menaruh tangan kami di makanan itu lalu kesemuanya pun makan.” [selesai].

“Membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.” Padahal artinya secara jelas adalah: “Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat.” Tidak ada pengkhususan “harus banyak” dan “meramaikan rumah”. Yang menjadi point Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut di atas adalah menghidangkan makanan dan mengundang masyarakat untuk hadir makan makanan tersebut. Dan kalimat bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) di sini dalam Ushul Fiqh merupakan kalimat yang keras dalam peringkat makruh. Makruh di sini maknanya makna tahrim (bermakna haram).

“Aku suka kalau tetangga si mati atau kerabat si mati menyediakan makanan untuk keluarga si mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah.”

“Imam Syafi’i berkata lagi: “Dibenci bertamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si mati karena ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah.”

Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berdalilkan kepada dzann mengikut perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau banyaknya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan atsar yang shahih untuk dinilai haram atau halal, sunnah atau bid’ah, maka perbuatan tersebut adalah suatu kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara’ sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas dan difatwakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah.

B...Tanggapan Habib Mundzir:

“Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi Saw. menerima undangan wanita yang wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada Sunan Abi dawud. Namun bila untuk orang-orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.” (Syarh Sunan Ibn Majah juz 1 halaman 116).

“Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru-niru perbuatan jahiliyah.” (Al-Mughniy juz 2 halaman 215). (Makruh, bukan haram).

Nah... inilah kebodohan para Wahabi, bagaimana ucapan “Ghairu Mustahibbah dan adalah Bid’ah” bisa dirubah jadi haram? Sedangkan makna Mustahibbah adalah disukai untuk dilakukan dan disejajarkan dengan makna sunnah secara istilahi, yaitu yutsab ‘ala fi’lihi walaa yu’aqabu ‘ala tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).

Nah, Imam an-Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yang bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh. Imam an-Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah-payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb. Beliau akan berkata haram muthlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya.

Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam an-Nawawi, fahamilah bahwa Bid’ah menurut Imam an-Nawawi terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. (Lihat dalam Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 6 halaman 164-165).

Maka sebelum mengambil dan menggunting ucapan Imam an-Nawawi, fahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam an-Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam an-Nawawi. Bila Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bid’ah itu ada yang mubah dan makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna bid’ah yang mubah atau yang makruh, kecuali bila Imam an-Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (bid’ah yang haram). Namun kenyataannya Imam an-Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara mubah dan makruh.

Hukum dari mana makruh dibilang haram? Makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ‘alatarkhi walaa yu’aqabu ‘ala fi’lihi (diberi pahala bila ditinggalkan dan tidak berdosa jika dikerjakan). Dan yang dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.

Mengenai fatwa Imam Syafi’i di dalam kitab I’anat ath-Thalibin itu wahai saudaraku, yang diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan oleh tulisan Anda sendiri dari ucapan itu karena hal itu “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan, bukan untuk kematian.

Nah... adat orang jahiliyah masa lalu mereka menjamu tamu-tamu dengan jamuan besar bila ada yang mati di antara mereka, ada yang menyembelih kerbau, ada yang menyembelih kambing, ada yang menyembelih kerbau di atas kuburan si mayyit. Hal semacam itu yang diharamkan oleh Imam Syafi’i, dan Imam Syafi’i mengatakan makruh apabila keluarga duka membuat hidangan-hidangan (bukan haram).

Demi Allah berkali-kali saya hadir di rumah duka tempat pemuda yang mati sebab narkotika, saya datang dan pastilah teman-temannya hadir, maka sudah bisa dipastikan ada beberapa orang temannya yang taubat, mereka gentar melihat temannya sudah dihadiahi surat Yasin, mereka risau mati seperti itu, mereka ingat kematian. Duh... sungguh hal seperti ini mesti dimakmurkan, bukan dimusnahkan, na’udzubillah dari dangkalnya pemahaman tentang maslahat muslimin.

Kini saya ulas dengan kesimpulan:

1. Membuat jamuan untuk mengundang orang banyak hukumnya makruh, walaupun ada yang mengatakan haram, namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya makruh.

2. Membuat jamuan dengan niat sedekah hukumnya sunnah, tidak terkecuali ada kematian atau kelahiran atau apapun.

3. Membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari bahwa seorang wanita mengatakan pada Nabi Saw.: “Ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?” Rasul Saw. menjawab: “Betul.” (Shahih Bukhari hadits no.1322).

4. Menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yang datang saat kematian adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh pahit atau kopi sederhana.

5. Sunnah muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu berupa buah atau uang atau makanan.

6. Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yang mengharamkanny. Bahkan sebagaimana dalam Syarh Sunan Ibn Majah dijelaskan hal itu pernah dilakukan oleh Rasul Saw.

Saudaraku yang kumuliakan, pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah Swt. dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.

Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit?

Menghadiahkan surat al-Fatihah, atau Yasin, atau dzikir, tahlil, atau shadaqah, atau qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada mayyit, dengan nash yang jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa: “Seorang wanita bersedekah untuk ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul Saw.”

Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalil ghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat: “Dan tiadalah bagi seseorang kecuali apa yg diperbuatnya.
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan Adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang-orang lain yang mengirim amal, dzikir dll. untuknya ini jelas-jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah Saw. menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam al-Quran untuk mendoakan orang yang telah wafat: “Wahai Tuhan kami ampunilah dosa-dosa kami dan bagi saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam keimanan.” (QS. al-Hasyr ayat10).

Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun ulama dan imam-imam yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir? Hanya setan yang tak suka dengan dzikir.

Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, al-Quran dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya? Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara tahlil (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat)! Tidak di al-Quran, tidak pula di hadits, tidak pula di qaul sahabat, tidak pula di kalam imamul madzahib, hanya mereka saja yang mengada-ada dari kesempitan pemahamannya.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang Hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid-masjid pun adalah adat istiadat gereja. Namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syari’ah maka boleh-boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul Saw. meniru adat Yahudi yang berpuasa pada hari 10 Muharram, bahwa: RASUL Saw. menemukan orang Yahudi puasa di hari 10 Muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa As. Dan Rasul Saw. bersabda: “Kami lebih berhak dari kalian atas Musa As.” Lalu beliau Saw. memerintahkan muslimin agar berpuasa pula.” (Shahih Bukhari hadits no. 3726 dan 3727)

Demikian saudaraku yang kumuliakan. Walillahittaufiq.

• Balasan penanya:

Assalamu’alaikum ya Sayyidi, ada beberapa hal lagi yang menjadi ganjalan:

1. Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim juz 1 halaman 90 dan kitab Taklimatul Majmu’ juz 10 halaman 426, membantah bahwa pahala bacaan dan sholat yang digantikan bagi si mayit tidak akan sampai kepada si mayit. Kalo tidak salah Imam an-Nawawi ini bermadzhab Syafi’i (koreksi jika ana salah).

2. Al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah juz 2 halaman 9.

3. Imam Muzani dalam Hamisy al-Umm asy-Syafi’i juz 7 halaman 269.

4. Imam al-Khazin dalam tafsirnya al-Khazin, al-Jamal juz 4 halaman 236, lebih jelas mengatakan: “Dan yang masyhur dalam madzhab Syafi’i bahwa bacaan al-Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.”

Dan masih ada beberapa kitab ulama Ahlussunnah yang menjelaskan kurang lebih sama dengan yang ada di atas. Dari pengamatan ana, kalau dilihat betul dari beberapa literatur kaum Ahlussunnahnya para ‘Alawiyin dan Syia’h, bahwa tradisi kaum Ahlusunnahnya para ‘Alawiyin (habaib) lebih banyak kemiripannya dengan tradisi kaum Syi’ah (cuman di Syi’ah sahabat yang dianggap mursal dibuang/dicoret dari daftar mereka) daripada dengan mereka yang ada di ke 4 madzhab Sunni. Wassalam.

• Jawaban Habib Mundzir:

Saudaraku yang kumuliakan, saran saya Anda belajarlah dengan guru yang mempunyai sanad yang jelas, mengutip dari sana sini merupakan hal yang menyesatkan. Anda berbicara dengan menukil ucapan orang Wahabi, saya ragu Anda membaca buku-buku itu sendiri, Anda hanya mengambil saja dan barangkali Anda belum pernah melihat buku-buku itu. Kami mengenal siapa Imam an-Nawawi, kami mempunyai sanad kepada Imam an-Nawawi, kami mengenal Imam Syafi’i dan kami mempunyai sanad kepada Imam Syafi’i. Demikian pula pada Imam Bukhari, Imam Muslim, dan juga Imam-imam Muhadditsin lainnya, kami mempunyai sanad ysng bersambung kepada mereka. Kami tidak menukil dan meraba-raba dengan buku-buku terjemah. Pertanyaan Anda sudah pernah saya jawab di web ini. Pertanyaan dari Wahabi, Anda jangan tersinggung dengan jawaban di bawah ini karena merupakan nukilan ulang dari jawaban saya yang lalu, dan saya jawab sebagai berikut:


Tiga hal yang akan saya jawab dari ucapan mereka ini, dan perlu saya jelaskan bahwa mereka ini adalah bodoh dan tak memahami syariah atau memang sengaja menyembunyikan makna, atau kedua-duanya, licik bagaikan missionaris Nasrani dan ingin mengembalikkan makna sekaligus bodoh pula dalam syariah:

1. Ucapan Imam an-Nawawi dalam Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 1 halaman 90 menjelaskan:
“Barangsiapa yang ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik. Mengenai apa apa yang diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan al-Mawardiy al-Bashriy al-Faqiihi asy-Syafi’i mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam Wahabi yang hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini batil secara jelas dan kesalahan yang diperbuat oleh mereka yang mengingkari nash-nash dari al-Quran dan al-Hadits dan Ijma’ ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.

Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafi’i dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yang wajib bagi mayyit, maka boleh diqadha oleh walinya atau orang lain yang diizinkan oleh walinya. Maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam madzhab Syafi’i, yang lebih masyhur hal ini tak bisa, namun pendapat kedua yang lebih shahih mengatakan hal itu bisa, dan akan kuperjelas nanti di bab puasa insya Allah Ta’ala.

Mengenai pahala al-Quran menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari kelompok Syafi’i yang mengatakannya sampai, dan sekelompok besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan al-Quran, ibadah dan yang lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari pada Bab “Barangsiapa yang wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yang wafat ibunya yang masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar (mengqadha’) shalatnya. Dan dihikayatkan oleh penulis kitab al-Hawiy, bahwa Atha’ bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit.

Telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam an-Nawawi dengan ucapan “kalangan kita” maksudnya dari madzhab Syafi’i) yang muta’akhir (di masa Imam an-Nawawi) dalam kitabnya al-Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini (sebagaimana pembahasan di atas). Berkata Imam Abu Muhammad al-Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya at-Tahdzib: “Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu mud untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yang tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah qiyas atas doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadits-hadits shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yang sepakat para ulama.

Dan dalil Imam Syafi’i adalah bahwa firman Allah: “Dan tiadalah bagi setiap manusia kecuali amal perbuatannya sendiri,” dan sabda Nabi Saw.: “Bila wafat keturunan Adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 1 halaman 90).

Maka jelaslah sudah bahwa Imam an-Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yang lebih masyhur adalah yang mengatakan tak sampai, namun yang lebih shahih mengatakannya sampai. Tentunya kita mesti memilih yang lebih shahih, bukan yang lebih masyhur.

Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa yang shahih adalah yang mengatakan sampai, walaupun yang masyhur mengatakan tak sampai, berarti yang masyhur itu dha’if dan yang shahih adalah yang mengatakan sampai. Maka dari kesimpulannya Imam an-Nawawi menukil bahwa sebagian ulama Syafi’i mengatakan semua pengiriman amal sampai.

Inilah liciknya orang orang Wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambah”, mereka menggunting-gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di web-web. Inilah bukti kelicikan mereka. Saya akan buktikan kelicikan mereka:

2. Ucapan Imam Ibnu Katsir:

“Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalannya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (QS. an-Najm ayat 39). Imam Syafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah Saw. tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (sahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkannya, padahal amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Quran dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat.”

Mereka memutusnya sampai di sini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah: “Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada nash-nash yang jelas dari syariah yang menjelaskan keduanya.” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 halaman 259).

Lalu berkata pula Imam an-Nawawi:

“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma’ (sepakat) para ulama. Demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa-doa dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash-nash yang teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim, demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yang sunnah. Demikian pendapat yang lebih shahih dalam madzhab kita (Syafi’i), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yang lebih benar adalah yang membolehkannya sebagaimana hadits-hadits shahih yang menjelaskannya. Dan yang masyhur di kalangan madzhab kita bahwa bacaan al-Quran tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya. Dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yang membolehkannya.” (Syarh Imam Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 halaman 90).

Dan dijelaskan pula dalam al-Mughniy:

“Tidak ada larangannya membaca al-Quran di kuburan. Dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah Ayat Kursiy, lalu al-Ikhlas 3 kali, lalu katakanlah: “Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur.”

Imam Ahmad menjawab: “Ia tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya).”

Maka berkata Imam Ahmad: “Katakan pada orang yang tadi kularang membaca al-Quran di kuburan agar ia terus membacanya lagi.” (Al-Mughniy juz 2 halaman 225).

Dan dikatakan dalam Syarh al-Kanz:

Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafi’i dan seluruh Imam Ahlussunnah wal Jama’ah tak ada yang mengingkarinya dan tak ada pula yang mengatakannya tak sampai. Dan sungguh hal yang lucu bila kalangan Wahabi ini merancau dengan mengumpulkan dalil gunting sambung lalu menyuguhkan kita racun agar kita teracuni, mereka kena batunya di website MR, he...he...

warahmatullaahi wabarakaatuh.

Berarti yang masyhur itu dha’if dan yang shahih adalah yang mengatakan sampai. Maka dari kesimpulannya Imam an-Nawawi menukil bahwa sebagian ulama Syafi’i mengatakan semua pengiriman amal sampai.

Dan dijelaskan pula dalam al-Mughniy: “Tidak ada larangannya membaca al-Quran di kuburan. Dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah Ayat Kursiy, lalu al-Ikhlas 3 kali, lalu katakanlah: “Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur.”

Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan al-Quran di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudamah: “Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits)?”

Imam Ahmad menjawab: “Ia tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya).”

Maka berkata Muhammad bin Qudamah: “Sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat al-Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”

Maka berkata Imam Ahmad: “Katakan pada orang yang tadi kularang membaca al-Quran di kuburan agar ia terus membacanya lagi.” (Al-Mughniy juz 2 halaman 225).

No comments:

Post a Comment

ini komentar