Menngenai posisi kedua tangan
(bersedekap) setelah takbir (pada waktu berdiri), Berkata Alhafidh Imam Nawawi
: “Meletakkannya dibawah dadanya dan diatas pusarnya, inilah madzhab kita yg
masyhur, dan demikianlah pendapat Jumhur (terbanyak), dalam pendapat Hanafi dan
beberapa imam lainnya adalah menaruh kedua tangan dibawah pusar, menurut Imam
Malik boleh memilih antara menaruh kedua tangan dibawah dadanya atau
melepaskannya kebawah dan ini pendapat Jumhur dalam mazhabnya dan yg masyhur
pada mereka” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 4 hal 114)..
https://salafytobat.wordpress.com/category/sifat-shalat-nabi-vs-sifat-shalat-al-bany/
1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya
kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya.Diriwayatkan oleh At
Tirmidzi (2/244), Ibnu ‘Asakir (7/12/2).2. ‘Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1492) dari Ibnu Lahi’ah dari Hafsh bin Hisyam bin ‘Utbah bin Abi Waqqash dari Sa’ib bin Yazid dari ayahnya.
3. ”Jika kamu berdo’a kepada Allah,kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya,dan jika sudah selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka”. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1181, 3866), Ibnu Nashr dalam Qiyaamul-Lail (m/s. 137),Ath Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir (3/98/1) & Hakim (1/536), dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka’b dari Ibnu ‘Abbas radiallaahu ‘anhu (marfu’)
4. Hadits dari Ibnu Abbas diatas juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (1485), dan Bayhaqi (2/212), melalui jalur ‘Abdul Malik ibn Muhammad ibn Aiman dari ‘Abdullah ibn Ya’qub ibn Ishaq dari seseorang yang meriwayatkan kepadanya dari Muhammad ibn Ka’b, dengan matan sebagai berikut :
”Mintalah kepada Allah dengan (mengangkat) kedua telapak tanganmu,dan minta pada-Nya dengan membaliknya, dan jika kau selesai, maka usaplah mukamu dengannya”.
5. Menerima pakai hadis Dhoif dalam segala jenis amalan yang berbentuk menggemar dan menakutkan (Fadhilah), dalam soal adab, sejarah, ketatasusilaan, kisah tauladan, manaqib (biodata seseorang), sejarah peperangan, dan seumpamanya adalah diHaruskan (dibolehkan). Perkara ini telah disepakati (Ijmak) oleh para ulamak seperti yang dinukilkan oleh Imam al-Nawawi, Ibn Abdul Barr dan selain mereka. Malah Imam al-Nawawi menukilkan pandangan ulamak bahawa dalam hal-hal tersebut disunatkan beramal dengan hadis Dhoif
6. Abu al-Syeikh Ibn Hibban dalam kitabnya al-Nawa’ib meriwayatkan
secara Marfu’ hadis Jabir r.a yang menyebutkan:
No comments:
Post a Comment
ini komentar