ALAM SEMESTA DALAM PERSPEKTIF AL QUR'AN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENDIDIKAN
I. PENDAHULUAN
Pendidikan, sebagai kegiatan yang khas manusiawi, merupakan produk kebudayaan manusia, yang dilakukan dalam upayanya mempertahankan dan melanjutkan hidup dan kehidupannya. Konsep-konsep dasar pendidikan yang kemudian lahir dalam kerangka tujuan tersebut, seperti proses belajar mengajar, kurikulum, dan lain sebagainya, pada dasarnya lahir berdasarkan cara pandang manusia terhadap manusia itu sendiri, dan terhadap alam semesta.
Dalam kaitannya dengan alam semesta, cara pandang yang baik akan berimplikasi pada lahirnya konsepsi pendidikan yang baik pula. Pada gilirannya, hal ini akan membawa pada dihasilkannya konsep pendidikan Islam yang integratif dan senantiasa mampu menjawab tantangan kebutuhan zaman. Karenanya, diperlukan upaya untuk meneguhkan kembali konsepsi tentang alam semesta dalam kaitannya dengan pendidikan.
Konsep alam semesta yang diambil dari Al Qur'an memiliki kedudukan yang sangat penting, sebab hal itu berarti ummat mendapat rujukan kebenaran yang langsung berasal dari sumbernya, Sang Pencipta Alam Semesta.
ALAM SEMESTA DALAM AL QUR'AN
Alam semesta sebagaimana dimaksud dalam pembahasan ini adalah identik dengan jagat raya, yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan universe. Istilah ini dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab sebagai 'ālam (( عالم. Terminologi ini dalam Al Qur'an ditemukan dalam Al Qur'an hanya dalam bentuk jamak 'ālamin (عالمين) sebanyak 73 kali yang tersebar pada 30 surat.[1][1]
Adapun lafazh 'ālamin memiliki beberapa pengertian. Kaum teolog mendefinisikan 'ālam sebagai segala sesuatu selain dari Allah SWT. Sementara itu para filosof muslim mendefinisikannya sebagai kumpulan jauhar yang tersusun dari maddat (materi) dan shurat (bentuk) yang ada di bumi dan di langit. Adapun menurut para mufassir, terdapat perbedaan pendapat. Sebagian mufassir seperti Muhammad Abduh dan Quraish Shihab ketika menafsirkan lafazh رب العالمين pada surat Al Fatihah lebih cenderung menjelaskan 'ālamin sebagai kumpulan yang sejenis dari makhluk Tuhan yang berakal atau memiliki sifat-sifat yang mendekati makhluk yang berakal. Sehingga, dikenal adanya alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan, dan tidak dikenal alam batu, alam tanah dan lain sebagainya.[2][2] Dengan argemen tersebut, Sirajuddin Zar berkesimpulan bahwa lafazh al-'ālamin tidak dapat dipakaikan pada istilah alam semesta atau universe. Namun demikian, dapat dibenarkan bahwa kata ini menunjukkan banyaknya alam yang diciptakan dan diperlihara oleh Allah, dan sebagian darinya tidak diketahui oleh manusia (Q.S. al-Nahl : 8).[3][3]
Sementara itu, sebagian mufassir lain, sebagaimana dikuatkan oleh Al Qurthubi dengan merujuk pendapat Qatadah menyebutkan bahwa 'ālamin merupakan jamak dari 'ālam yang berarti segala sesuatu yang maujud selain dari Allah SWT, meskipun sebagian kecil lain juga membatasi pengertian 'ālamin pada alam manusia dan jin ataupun hanya alam manusia.[4][4] Contoh penggunaan lafazh 'ālamin untuk pengertian alam manusia dan jin ini, dapat dirujuk seperti terdapat pada surat Yusuf ayat 104 berikut :
Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam
Dengan alasan kitab Allah hanya akan dapat menjadi pelajaran bagi jin dan manusia, Ibnu Abbas menafsirkan lafazh 'ālamin tersebut dengan bangsa jin dan manusia.[5][5] Dengan demikian, penggunaan lafazh ini dalam Al Qur'an tidak hanya merujuk pada arti alam semesta dalam pengertian jagat raya., namun lebih banyak diartikan dengan makhluk yang lebih terbatas.
Untuk merujuk pada pengertian alam semesta, terdapat juga lafazh al-samāwāt wa al-ardl wa mā baynahumā (السماوات و الأرض و ما بينهما ) yang berulang sebanyak 20 kali yang tersebar pada 15 surat, terbanyak pada surat Al-Maidah dan Shad (masing-masing tiga kali). Tentang lafazh ini Sirajuddin Zar, dengan menolak penafsiran Al-Thabathaba'iy yang menyatakan bahwa lafazh tersebut menunjuk pada pengertian kumpulan alam fisik atau empiris saja, menyimpulkan bahwa alam semesta yang dimaksud pada lafazh tersebut mengandung pengertian seluruh alam, baik fisik maupun non fisik.[6][6] Contoh dari penggunaan lafazh ini dapat disimak di antaranya pada ayat ke 65 dari surat Maryam berikut :
Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?
Dalam pengertian ini, maka penggunaan lafazh al-samāwāt wa al-ardl wa mā baynahumā (السماوات و الأرض و ما بينهما ) lebih memadai untuk diparalelkan dengan pengertian alam semesta atau universe ketimbang lafazh al-'ālamin[7][7].
HUBUNGAN ALAM SEMESTA DENGAN AL QUR'AN
Alam semesta dengan segala peristiwa dan isi yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kenyataan yang sangat mengesankan dan menakjubkan bagi akal dan hati sanubari manusia. Karenanya, sejak zaman dahulu orang telah banyak berupaya untuk menggali rahasia-rahasia dan hukum-hukum alam yang dapat dicapainya, serta mencari-cari hubungannya dengan kebutuhan dan tujuan hidupnya di muka bumi ini. Upaya-upaya tersebut telah banyak melahirkan ahli filsafat kealaman yang mengembangkan beraneka ragam ilmu-ilmu kealaman seperti astronomi, meteorologi, geologi, fisika, kimia, dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya dengan ajaran Islam, hal yang demikian merupakan sifat fithri manusia yang sengaja dicipatakan oleh Allah SWT untuk memudahkan manusia mengenal Sang Penciptanya dan untuk mempermudah fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Karenanya, dapat dipahami bila Al Qur'an memberi perhatian penting pada upaya mentafakkuri dan mengambil pelajaran terhadap alam semesta dan segala isinya. Banyak ayat Al Qur'an yang berisi motivasi dan anjuran untuk melakukan pengamatan dan perenungan terhadap fenomena yang terdapat di alam semesta, yang pada akhirnya menjadi jalan yang langsung menyampaikan manusia pada jalan untuk mengenali Allah.[8][8] Terdapat lebih dari 750 ayat yang menunjuk kepada fenomena alam, dan manusia diminta untuk memikirkan dan merenungkannya agar dapat mengenal Tuhan lewat tanda-tanda kebesaran-Nya.[9][9] Dalam hal ini, dikenal istilah tafakkur dan nazhar sebagai upaya untuk memberi perhatian, mengamati dan mengambil pelajaran dari alam semesta, serta tadabbur yang secara khusus dilekatkan pada upaya perhatian dan perenungan terhadap Al Qur'an.[10][10] Lebih jauh, tentang tafakkur terhadap alam semesta menjadi salah satu parameter kecendekiaan seorang muslim, di samping kontinuitas dzikirnya kepada Allah SWT. Antara tafakkur dan dzikir inilah yang ditegaskan dalam Al Qur'an sebagai salah satu karakter dari golongan Ulil Albaab.[11][11]
Dalam hubungannya dengan Al Qur'an, alam semesta yang berfungsi untuk membantu terpenuhinya kebutuhan hidup manusia, sebagaimana juga Al Qur'an dalam aspek yang berbeda, dapat dimengerti bila keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Al Qur'an dan alam semesta adalah bukti-bukti yang komplementer bagi kebenaran kenabian, kebenaran agama Islam, dan keagungan Allah SWT. Al Qur'an dapat dipandang sebagai bukti perkataan, sedangkan alam semesta dipandang sebagai bukti kejadian. [12][12] Pendapat ini sejalan dengan pandangan yang sudah menjadi pandangan umum di kalangan ummat Islam bahwa Al Qur'an sebagai ayat qauliyah (الأيات القولية ) dan alam semesta sebagai ayat kauniyah (الأيات الكونية ). Secara lebih mendalam, dapat juga ditelusuri bahwa Al Qur'an berfungsi sebagai Isyārah (إشارة ) bagi alam semesta,yang dalam hal ini banyak memuat petunjuk-petunjuk awal dan global tentang alam semesta. Dalam fungsi ini, banyak rahasia-rahasia alam dan hukum-hukum alam yang telah diisyaratkan keberadaannya dalam Al Qur'an, jauh sebelum para ilmuwan menemukannya sebagai fakta-fakta ilmiah.[13][13]
Sebagai contoh, berkaitan dengan isyarah ini dapat ditelaah lebih lanjut sebuah ayat yang terdapat pada surat Al Syura ayat 29 berikut :
Dan di antara ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) -Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya.
Berkaitan dengan ayat tersebut di atas, Al Qurthubi, dengan berpegangan pada perkataan Mujahid, membatasi penafsirannya tentang Dabbah pada malaikat dan manusia. Sementara itu, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Dabbah yang dimaksud pada ayat tersebut meliputi malaikat, manusia, jin, dan seluruh jenis hewan yang beraneka ragam warna, bahasa, karakter, bentuk dan jenisnya yang tersebar di penjuru langit dan bumi.[14][14] Untuk menyimpulkan arti yang dimaksud dengan Dabbah, perlu juga ditelusuri dari ayat-ayat lainnya, yaitu pada Al Nahl : 49, Hud : 6 dan Al Nuur: 45.[15][15] Penafsiran Al Qurthubi terkesan tidak konsisten ketika menfasirkan Dabbah pada Al Nur : 49 dengan hewan-hewan yang melata di muka bumi dan Dabbah pada Al Nahl : 49 dengan segala sesuatu yang melata di bumi, dan hewan yang melata pada Hud : 6. Tampaknya, penafsiran Ibnu Katsir tentang Dabbah memberi ruang bagi penafsiran yang lebih kontemporer dan memenuhi konteks ilmiah kekinian. Dalam buku Al Islam dan Iptek buku ke 2 diungkap bahwa berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa makna Dabbah adalah Makhluk biasa bukan malaikat, makhluk biologis yang diciptakan dari unsur air (sebagaiman hewan dan manusia), dan dapat bergerak/melata. Kesimpulan ini memberi ruang bagi keyakinan sebagian besar ahli astrobiologi dan astrofisika bahwa di luar bumi (planet lain) terdapat makhluk biologis.[16][16]
Dalam pada itu, sebaliknya alam semesta dapat dipandang memiliki fungsi sebagai Burhān ( البرهان ), dimana banyak isyarat-isyarat akan fenomena alam semesta dalam Al Qur'an yang terbukti kebenarannya, yang dengan demikian semakin membuktikan kemukjizatan dan kebenaran Al Qur'an. Ketepatan informasi Al Qur'an tentang alam semesta tidak dapat disangsikan lagi. Fakta-fakta yang ditonjolkannya cocok dengan hasil penemuan sains kekinian. Adalah suatu kenyataan yang menakjubkan, manakala berbagai informasi tentang alam telah diisyaratkan dalam Al Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ummi lebih dari empat belas abad yang lalu, baru mendapatkan konfirmasi ilmiah pada zaman modern ini. [17][17]
Dalam hubungan timbal balik ini, dapat diyakini bahwa tidak terdapat kontradiksi dari dua kebenaran hakiki yang terkandung pada keduanya. Persoalannya adalah, sejauh mana manusia memahaminya dengan cara yang benar. Secara materi kebenaran yang terdapat pada Al Qur'an merupakan kebenaran absolut, sedangkan alam semesta membutuhkan proses pengamatan dan pembuktian, sehingga nilai kebenarannya bersifat eksperimental dan relatif.
TUJUAN DAN CARA MEMAHAMI ALAM
Dalam perspektif Al Qur'an, fenomena alam merupakan tanda-tanda Yang Maha Kuasa, dan suatu pemahaman tentang alam adalah analog dengan pemahaman tentang tanda-tanda yang bisa membawa manusia meraih pengetahuan tentang Tuhan.[18][18]
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir .Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (Q.S. Al Ruum : 21 – 24)
Dari ungkapan ayat-ayat di atas, dapat diungkap bahwa memahami alam bukanlah usaha yang bermakna, kecuali jika ia membantu manusia memahami Penciptanya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan memahami alam, akan dapat mengembangkan wawasan manusia bagi pengenalan Allah dan memungkinkannya untuk dapat lebih baik memanfaatkan pemberian-pemberian Nya demi kebahagiaan dan kesejahteraan dirinya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Al Qur'an menunjukkan bahwa salah satu cara memahami alam semesta dapat dilakukan lewat indera penglihatan, pendengaran, perasa, pencium, perasa dan peraba.[19][19] Semua indera utama tersebut dapat membantu manusia untuk melakukan pengamatan dan eksperimen (Q.S. 5:31 dan 2:260).[20][20] Namun dalam ayat-ayat lain, ditegaskan pula bahwa saluran alat indera utama ini belumlah cukup dan dibutuhkan saluran lain, yakni penalaran atau akal.[21][21] Di samping itu, masih ada cara lain di samping pengamatan dan daya nalar, yaitu melalui wahyu dan ilham[22][22]
KLASIFIKASI MASALAH ALAM DALAM AL QUR'AN
Dari 750 lebih ayat yang memotivasi manusia untuk merenungkan fenomena alam, dan dengan melihat keteraturan dan koordinasi di dalam sistem penciptaan dan keajaiban-keajaibannya manusia kan lebih dekat kepada-Nya. Dalam hal ini Mehdi Ghulsyani membagi ayat-ayat tersebut menjadi beberapa kategori, yaitu :[23][23]
1. Ayat-ayat yang menggambarkan elemen-elemen pokok obyek (fenomena alam) atau menyuruh manusia untuk menyingkap rahasianya. Hal ini antara lain terdapat Q.S. 86 : 5, 24 : 45, 76 : 2 dan lain sebagainya.[24][24]
2. Ayat-ayat yang mencakup masalah cara penciptaan obyek-obyek material, maupun yang menyuruh manusia untuk menyingkap asal-usulnya. Dalam kategori termasuk ayat-ayat antara lain Q.S. 11 : 7, 23 : 12-14, 21 : 30 31 : 10, 88 : 17-20.
3. Ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk menyingkap bagaimana alam fisis ini terwujud dan diciptakan, yang mencakup antara lain Q.S. 29 : 20 dan 29 : 19
4. Ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk mempelajari fenomena alam, yang meliputi antara lain Q.S. 39 : 21, 30 : 48, 2 : 164.
5. Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah bersumpah atas beberapa macam obyek alam, seperti terdapat pada Q.S. 91 : 1-6, 56 : 75-76, dan 86 : 1-3.
6. Ayat-ayat yang dengan merujuk kepada beberapa fenomena alam, kemungkinan terjadinya Hari Kebangkitan dijelaskan. Hal ini terdapat antara lain pada Q.S. 22 : 5, 36:81 dan 30 : 19.
7. Ayat-ayat yang menekankan kelangsungan dan keteraturan penciptaan Allah, sebagaimana ditunjukkan pada Q.S. 27 : 88, 67 : 3-4, 25 : 2, 39 : 5 dan 21 : 16.
8. Ayat-ayat yang menjelaskan keharmonisan keberadaan manusia dengan alam fisis, dan penundukan apa yang ada di langit dan di bumi kepada manusia, seperti terdapat pada Q.S. 2 : 29, 45 : 13, 67 : 15, 16 : 5 , 57 : 25 dan 6 : 97.
Walaupun dalam kacamata Al Qur'an tujuan utama dalam memahami alam adalah untuk memahami dan mendekati Tuhan, Sang Pencipta Alam Semesta, namun terdapat tujuan-tujuan tambahan tertentu. Dalam pengertian ini, tujuan-tujuan tambahan tersebut dipandang sebagai langkah-langkah awal bagi tujuan utama tersebut. Dalam kaitan dengan tujuan-tujuan tambahan tersebut, terdapat beberapa masalah yang ditunjukkan dalam Al Qur'an dan diklasifikasikan oleh Ghulsyani ke dalam tiga kelompok, sebagai berikut :[25][25]
1. Asal-usul dan evolusi[26][26] makhluk-makhluk dan fenomenanya. Ini terdapat antara lain pada Q.S. 21 : 30, 71 : 15-16, 32 : 7-9 dan 88 : 17-20
2. Penemuan Keteraturan, Koordinasi dan Tujuan Alam
a. Sebagian menjelaskan bahwa penciptaan langit dan bumi tidaklah sia-sia, tetapi di balik itu benar-benar memiliki tujuan (Q.S. 6 : 73 dan 21 : 16)
b. Kejadian-kejadian di alam mengikuti suatu jalur alami untuk periode tertentu yang sebelumnya sudah ditentukan (Q.S. 30 : 8 dan 13 : 2)
c. Keseluruhan proses penciptaan dan dan perjalanan kejadian-kejadian di alam mengikuti suatu perhitungan dan ukuran tertentu (Q.S. 55 : 5, 15 : 21, 13 : 8, 55 : 7, dan 25 : 2)
3. Penundukan dan pemanfatan kekayaan alam yang disediakan Tuhan bagi manusia secara sah, seperti terdapat pada Q.S. 45 : 13, 7 : 10, 28 : 73, 30 : 46, dan 6 : 97.
Penciptaan Alam Semesta
Dalam hal penciptaan alam semesta, terdapat beberapa lafazh yang dapat digunakan untuk melacak konsep penciptaan alam semesta menurut Al Qur'an, yaitu : khalaqa, ja'ala, bada'a, fathara, dan shana'a, namun lafazh yang dipakaikan dengan obyek alam semesta (universe) adalah khalaqa.
Kata khalaqa, dengan berbagai perubahan bentuk katanya, dalam Al Qur'an terdapat 261 kali yang tersebar dalam 75 surat, terbanyak pada surat Al-A'raf dan Al-Nahl (masing-masing 11 kali). Adapun kata khalaqa dengan obyek alam semesta ditemukan sebanyak 38 kali yang tersebar dalam 32 surat.[27][27]
Dalam menjelaskan penciptaan alam semesta, Al Qur'an tidak menyebutkan secara tegas apakah alam semesta diciptakan dari tiada atau materi yang sudah ada[28][28], meskipun al-Raghib al-Isfahani dalam Mu'jam nya menyebutkan bahwa kata khalaqa jika dipakaikan kepada alam semesta, ia akan berarti penciptaan sesuatu dari bahan yang belum ada (ibdā' al-syai' min ghair ashl wa lā ihtizā').[29][29] Dalam kaitan dengan proses penciptaan alam semesta, Al Qur'an menyebutkan adanya periodisasi ataupun tahapan-tahapan yang menuju ke arah kesempurnaan[30][30], yang mana dalam ayat lain dijelaskan bahwa proses penciptaan alam semesta tersebut berlangsung dalam enam masa/periode ataupun enam tahapan.[31][31]
Pada awal proses penciptaan alam semesta, ruang alam (al-samā') dan materi (al-ardl) adalah sesuatu yang bersatu padu sebelum dipisahkan Allah. Argumen ini dapat dipahami dari kata ratq dan fatq yang terdapat pada Q.S. Al-Anbiya : 30. Kata ratq berarti suatu bentuk kesatuan yang padu. Dalam rangkaian proses berikutnya, setelah terjadi pemisahan, alam semesta mengalami proses transisi menjadi dukhan (Q.S. Fushshilat : 11). Tentang arti kata dukhan ini, yang arti asalnya adalah asap, Bucaille menafsirkannya sebagai stratum (lapisan-lapisan) gas dengan bagian-bagian yang kecil mungkin memasuki tahap keadaan keras atau cair dan dalam suhu yang rendah atau tinggi.[32][32] Ibnu Katsir menafsirkannya dengan sejenis uap air. Sementara itu, Hanafi Ahmad menafsirkan dukhan memiliki sifat halus dan ringan yang memungkinnya mengalir dan beterbangan seperti al-sahab.(awan).[33][33] Sedangkan Baiquni lebih cenderung mengartikan dukhan sebagai "embun".[34][34]
KONSEP ISLAM TENTANG ALAM
Alam Semesta diciptakan oleh SWT dari air atau dari asap (embun)[35][35] (Q.S. 21:30, 24:39, 41:11) secara bertahap, berkembang dari satu tahap ke tahapan lain selama enam masa (7:54 , 25:5), untuk kemudian terus menerus diatur dan dikembangkan.[36][36] Pengaturan oleh Allah dari atas Arsy Nya, dilakukan melalui para malaikat dan roh kudus. Gerakan bolak-balik para malaikat dan roh kudus dari Allah ke bumi, dikemukakan oleh Al Qur'an dalam relativitas waktu, yakni satu hari berbanding 1000 tahun dan satu hari berbanding 50.000 tahun (32:5, 70:4). Pengaturan ini menggambarkan dua sisi sekaligus, yakni kebesaran alam semesta dan manfaatnya bagi manusia di satu sisi, serta stabilitas dan regularitas fenomena alam pada sisi lain. Kebesaran alam semesta artinya bahwa alam ini merupakan buku besar yang berbicara kepada manusia tentang pengarangnya, Allah SWT (41:53). Sementara kemanfaatannya, lantaran alam ini memang dibuat untuk dimanfaatkan oleh manusia (2:29). Kebesaran, kemanfatan, stabilitas dan regularitas fenomena alam menunjukkan akan adanya hukum sebab dengan ukuran yang pasti antara benda dan kejadian-kejadian, dan bukan berarti adanya predeterminisme yang meniadakan fungsi usaha manusia (8:38, 15:13, 17:77, 33:38, 35:43). Alam bumi diciptakan oleh Allah SWT seluruhnya untuk kesejahteraan umat manusia (2:29), disiapkan sedemikian rupa sehingga manusia sebagai satu spesies mampu mengatur dan memakmurkannya (2:30, 11:61). Secara khusus hal ini juga menunjukkkan bahwa di antara potensi fitrah manusia adalah kemampuan mengurus kehidupan di muka bumi. Mampu dalam arti menguasai secara ilmiah kehidupan dunia secara profesional.[37][37]
Sebagai landasan bagi falsafah pendidikan Islam yang dibangunnya, Al Toumy Al Syaibani menjelaskan prinsip-prinsip dasar pandangan Islam tentang alam semesta yang disederhanakannya menjadi 10 Prinsip dasar sebagai berikut :[38][38]
1. Pendidikan hanya akan berhasil melalui interaksi seseorang dengan alam dan lingkungan di sekitarnya, tempat dimana ia hidup. Makhluk, benda dan lingkungan sekitar adalah sebahagian dari alam semesta. Karenanya proses pendidikan insani dan peningkatan mutu akhlaknya, dipengaruhi tidak hanya oleh lingkungan sosial dimana dia berada, tetapi juga lingkungan material dan lingkungan alam tempat tinggalnya. Perbedaan kondisi alam tempat tinggal ternyata memunculkan cara dan watak hidup tersendiri.[39][39]
2. Yang dimaksud dengan alam adalah segala sesuatu selain Allah, meliputi cakrawala, langit, bumi, bintang, manusia, hewan, tumbuhan, benda dan sifat benda, maklhluk benda dan bukan benda. Manusia adalah makhluk yang terbaharu wujudnya tetapi paling efektif dan berpotensi untuk memakmurkan alam semesta.
3. Alam Wujud ini terdiri dari unsur Ruh dan Materi sekaligus. Prinsip ini mengandung pengertian keseimbangan antara ruh dan materi.
4. Alam semesta dan seluruh isinya senantiasa berubah. Alam berkembang dan bergerak terus sesuai dengan hukum yang telah digariskan oleh penciptanya.
5. Setiap unsur dan bagian dari alam ini senantiasa terikat pada hukum umum yang tertentu dan berdasarkan pada hubungan yang teratur yang menunjukkkan kesatuan koordinasi dan pengaturan.
6. Pada alam semesta berlaku Hukum Umum sebab akibat
7. Alam semesta diciptakan bagi kesejahteraan dan kemajuan manusia.
8. Alam bersifat baharu, yang kemudian mengalami perubahan sampai pada akhirnya menemui saat kehancurannya. Setiap unsur alam memiliki titik permulaan dan titik akhir penghabisan.
9. Penerimaan akan hakikat baharunya alam, berarti menerima Wujud Pencipta alam. Dalam hal ini, berarti alam diciptakan dari tidak ada oleh Penciptanya. Sang Pencipta lah yang menjaga dan memeliharanya
10. Allah SWT adalah Sang Pencipta yang memiliki ciri-ciri keunggulan sebagai Tuhan yang mutlak dan bersifat dengan segala kesempurnaan.
IMPLIKASI KONSEPSI ALAM TERHADAP PENDIDIKAN
Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, tafakkur terhadap alam semesta memiliki relevansi yang kuat dengan penambahan keimanan seorang muslim. Bila Al Qur'an dapat dipandang sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang tertulis dalam bentuk wahyu ilahi, ayat-ayat Qauliyah, maka alam semesta dapat dianggap sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang membentang luas di hadapan manusia, ayat-ayat Kauniyah. Dengan demikian, 'membaca' alam semesta dapat dipandang sebagai komplemen dari membaca Al Qur'an, yang dari keduanya dapat diharapkan pertambahan keimanan pembacanya dan ketundukan kepada Tuhan. Dalam pengertian ini, alam semesta merupakan buku besar yang terbentang luas di hadapan manusia, sebagai sumber pengetahuan yang mesti diambil pelajaran dari padanya. Dengan demikian, alam semesta merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari pendidikan. Dalam konteks ini, dapat dimengerti bila para kebanyakan pakar pendidikan memasukkan aspek alam sebagai satu diantara 4 konsepsi dasar filsafat pendidikan. Konsepsi manusia tentang alam semesta akan mempengaruhi corak pemikiran pendidikan yang akan dilahirkannya.
Upaya untuk memahami ayat-ayat kauniyah (alam semesta), tentunya memiliki pra syarat tersendiri sebagaimana terdapat prasyarat untuk memahami ayat Qauliyah. Upaya membaca ayat-ayat kauniyah bagi para mufassir (manusia) tidaklah dapat hanya dengan mengandalkan bahasa Arab semata dan informasi global yang terdapat dalam ayat Qauliyah. Untuk itu, manusia harus dibekali dengan pengetahuan sains yang memadai. Sementara itu, cara-cara memahaminya harus pula mengikuti cara-cara yang sudah dibakukan para saintis secara rinci. Formulasi saintis tersebut sudah dibuktikan tidak bertentangan dengan kandungan Al Qur'an yang hanya mengatur secara garis besar saja. Jika manusia tidak mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku dalam bidang sains kealaman tersebut, besar kemungkinan kekeliruan yang akan terjadi, yang pada akahirnya akan timbul pula anggapan keliru bahwa penemuan sains bertentangan dengan Al Qur'an.[40][40] Karenanya pengetahuan sains kealaman hendaknya tidak dibatasi menjadi monopoli disiplin ilmu tertentu (IPA), akan tetapi menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap manusia sejalan dengan kebutuhan pengetahuan kehidupannya.
Dalam upaya untuk mengambil pelajaran dari alam semesta, setiap manusia selama melakukan pendekatan yang obyektif akan mudah menemukan kebesaran Tuhan di sana. Hukum-hukum alam berlaku universal di alam, yang dalam Islam dikenal sebagai sunnatulah fi al-kaun/ sunnah kauniyah akan dapat dirasakan oleh setiap manusia tanpa mengenal diskrimasi ras dan golongan. Karakter universal dan obyektif yang dimiliki oleh alam semesta dapat dijadikan sebagai salah satu nilai dasar pendidikan Islam.
Alam semesta pada dasarnya merupakan suatu tatanan yang bekerja dengan hukum-hukum serta potensi-potensi yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya. Manusia sebagai khalifatullah di muka bumi ini ditantang untuk berusaha menemukan, memahami dan menguasai hukum-hukum alam yang sudah digariskan-Nya, sehingga dengan usahanya ia dapat mengeksploitasi alam semesta untuk tujuan-tujuan yang baik. Dengan demikian, berarti alam semesta yang diciptakan Allah ini bukanlah alam semesta yang siap pakai, tetapi siap olah, di mana ia harus diolah dan dibangun oleh manusia menjadi suatu alam yang baik dan berdaya guna. Anggapan bahwa alam semesta merupakan tempat yang siap pakai menupakan suatu kekeliruan dan bertentangan dengan tugas manusia itu sendiri. Dalam konteks pendidikan, maka out-put dari pendidikan sudah selayaknya mampu menghasilkan manusia-manusia yang menyadari kedudukannya sebagai khalifatullah fi al-ardl, yang dengan demikian akan senantiasa berupaya memakmurkan bumi dan mengeksplorasinya tanpa meninggalkan kaidah-kaidah kelestarian dan keseimbangan alam.
Sebagaimana telah diungkap pula pada bagian sebelumnya, alam semesta memiliki sifat berkembang bertahap, bermanfaat, stabil dan reguler (memiliki kepastian hukum sebab akibat) dan dapat diatur oleh manusia. Bertolak dari itu, Pendidikan Islam adalah pendidikan yang memiliki tahapan-tahapan, secara berkesinambungan menuju kesempurnaan, dan output pendidikannya mampu berdaya guna bagi diri dan masyarakatnya (antara lain sebagai pengembangan). Hakikat pendidikan Islam dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pelayanan bagi pengembangan potensi manusia (sampai batas usia terakhirnya), secara bertahap dan berkesinambungan terhadap potensi manusia dalam bidang-bidang yang bermanfaat bagi manusia baik secara individu maupun sosialnya.[41][41]
Prinsip-prinsip di atas meniscayakan perlunya memperhatikan karakter dasar dan watak dari setiap peserta didik, serta lingkungan alam dan sosial yang melingkunginya. Karenanya, secara operasional kebutuhan akan model pendidikan di suatu tempat dan filsafat pendidikan yang melandasinya akan berbeda dengan di tempat lain. Dengan demikian, hal ini mengharuskan adanya kekhasan (muatan lokal) pada setiap kurikulum pendidikan. Nilai relevansi prinsip ini semakin meningkat dengan diberlakukannya desentralisasi kebijakan pendidikan yang berbasis pada otonomi daerah maupun otonomi perguruan tinggi.
Proses pendidikan hendaknya dipandang sebagai upaya menumbuhkembangkan kedua potensi ruh dan materi yang dimiliki setiap manusia. Pengabaian salah satu dari keduanya akan mengganggu keseimbangan yang semestinya senantiasa terpelihara. Pendidikan modern, yang cenderung mengabaikan aspek ruh, justru akan menghasilkan masyarakat modern yang cenderung mengesampingkan aspek spiritualitas dan moralitas dalam kehidupannya. Filsafat pendidikan dan filsafat kealaman[42][42] yang dibangun berdasarkan satu sisi saja, sebagaimana filsafat Barat yang secara umum dibangun atas dasar materialisme, akan membawa manusia pada kehancurannya.
Proses pendidikan sudah sewajarnya ditujukan untuk menghasilkan kemampuan mengoptimalkan nilai manfaat alam semesta. Dalam kerangka itu, Pendidikan juga hendaknya diterapkan secara integratif, dalam pengertian adanya keterpaduan antar berbagai elemen yang menyertainya, dan secara operasional dalam model pengajaran serta kurikulum yang menjadi acuannya.
Dalam kaitan pendidikan dengan sains kealaman, ilmu-ilmu kealaman tidak hanya menjadi bagian dari kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik yang berkecimpung dalam sains kealaman semata. Akan tetapi, setiap peserta didik selayaknya memahami ilmu-ilmu kealaman, dalam proporsi yang memadai untuk memahami fenomena alam secara umum, dalam program studi pendidikan manapun yang mereka tekuni. Bila para peserta didik yang berasal dari disiplin ilmu sains kealaman dilatih untuk memahami hubungan antar (dan peran masing-masing) peubah dalam gejala dan peristiwa alam, serta kondisi yang perlu bagi terjadi atau tidak terjadinya gejala itu melalui mekanisme tertentu, maka peserta didik yang berasal dari disiplin ilmu sosial (termasuk keagamaan), lebih ditujukan untuk memberikan kearifan, menanamkan rasa tanggung jawab dan mendewasakan pertimbangan serta sikap moral etis dalam menyikapi fenomena kealaman. Dengan demikian, pendidikan kealaman perlu menitik beratkan pada pada aspek afektif, ketimbang hanya terfokus pada segi-segi kognitif dan psikomotorik seperti yang berlangsung selama ini.
G. PENUTUP
Alam semesta, sebagaimana diulas pada pembahasan, adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT, baik berupa alam fisik maupun non fisik, yang meliputi cakrawala, langit, bumi, manusia, hewan, tumbuhan, dan makhluk lain baik benda maupun non benda. Dalam Al Qur'an, terdapat dua terminologi yang dapat menjelaskan alam semesta, yaitu kata 'ālamin (عالمين) dan al-samāwāt wa al-ardl wa mā baynahumā (السماوات و الأرض و ما بينهما ).
Sebagai bukti kesempurnaan dan keagungannya, ternyata Al Qur'an memmilki konsepsi yang khas berkaitan dengan alam semesta. Sejalan dengan tujuannya memahami alam, maka konsepsi alam semesta dalam perspektif Al Qur'an dibangun atas dasar prinsip antara lain, pengakuan kekuasaan Allah (keimanan), integrasi, pertumbuhan, kemanfaatan, stabilitas dan regularitas.
Prinsip dasar konsepsi Islam tentang alam semesta tersebut memiliki kaitan yang erat dan implikasi yang penting bagi pendidikan. Pendidikan yang akan dapat merealisir tujuannya adalah pendidikan yang dibangun atas dasar falsafah pendidikan yang sejalan dengan konsepsi Islam tentang alam semesta tersebut. Upaya untuk menterjemahkan konsepsi Islam tentang alam semesta hendaknya mengacu pada prinsip-prinsip dasar antara lain : penumbuhan seluruh potensi secara teratur, bertahap, seimbang dan berkesinambungan, untuk mengoptimalkan kemanfaatannya bagi diri dan lingkungannya, dengan mempertimbangkan watak, karakter dan kekhasan peserta didik.
Secara mendasar, juga perlu dikembangkan pendidikan kealaman bagi seluruh peserta didik, yang tidak hanya menekankan pada aspek kognitif dan psikomotorik, tetapi juga aspek afektif, sehingga proses pendidikan tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu-ilmu kealaman, tetapi juga menumbuhkan kearifan, menanamkan rasa tanggung jawab dan mendewasakan pertimbangan serta sikap moral etis dalam menyikapi fenomena kealaman.
Oleh : Edy Chandra
No comments:
Post a Comment
ini komentar