Qur’an adalah Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad _ sebagai mu’jizat yang ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan
mutawattir serta membacanya adalah ibadah. 1
Diturunkannya kepda jin dan manusia agar bisa
dijadikan petunjuk (hudan)
dan pembeda (furqan) antara kebenaran dan kesesatan, sebagaimana firman Allah
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk i tu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil). (QS. 2:185)
Allah menurunkan al-Qur’an
untuk dibaca dengan penuh penghayatan (Tadabbur), meyakini kebenarannya dan
berusaha untuk mengamalkannya. Allah berfirman,” Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya. (QS. 4:82). Juga
firman Allah , “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati
mereka terkunci (QS. 47:24).
Agar bisa mewujudkan perintah
Allah tersebut, seorang harus bisa memahami makna dan kandungannya. Ibnu Qayyim
al-Jauziyah berkata; Apabila anda ingin mengambil pelajaran dari Al- Qur’an,
maka pusatkanlah hati dan pikiran anda di saat membaca dan mendengarnya. Dan pasanglah
pendengaran anda baik-baik
karena Allah berf irman,”
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi
orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang
dia menyaksikannya”.
Al-Qur’an diturunkan dengan
bahasa Arab, sebagaimana firman Allah,” Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa
Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (QS. 12: 2).
Dengan demikian, orang yang
ingin menafsirkan AL-Qur’an harus memahami bahasa Arab baik qaidah lughawiyahnya
seperti nahwu,sharf (gramatical), maupun ta’biriyah (Linguistic) seperti majaz,
balagah, I’jaz dan lainnya. Juga Ulumul qur’an seperti asbaab annuzul, nasikh
mansukh, qira’ah dan lainnya. Studi interdisipliner
juga diperlukan oleh seorang
Mufassir, mengingat Al-Qur’an tidak hanya berbicara masalah keimanan, ibadah
dan syariah saja, tetapi juga memuat isyarat-isyarat ilmu pengetahuan yang
lainnya. Allah berfirman, » Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab
(QS.6 :38).
Sebagai sebuah metode,
qaidah-qaidah penafsiran telah ada sejak zaman sahabat, namun menjadi sebuah
disiplin ilmu yang berada di dalam ilmu tafsir, penentuan tahunnya agak sulit
dilacak.
Yang jelas ketika ekspansi
dakwah islam masuk wilayah-wilayah ajam (non Arab) dan ajar Islam tersebar luas
terutama abad ketiga hijrah, maka di sini muncul ilmuan muslim yang mengajarkan
Islam termasuk menulis masalah Islam sesuai dengan disiplin mereka
masing-masing. Untuk
memudahkan mereka melakukan penafsiran sekaligus memberikan rambu-rambu agar
tidak terjerumus dalam kesalahan, maka dibakukanlah qaidah-qaidah tersebut.
Secara global penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan oleh Al-Qur’an sendiri.
Ayat-ayat yang di-mujmal-kan pada suatu tempat
akan dijelaskan di tempat
lain, baik itu disebutkan pada tempat
yang sama seperti firman
Allah :
atau disebutkan pada tempat
(surat) yang lain sebagaimana tafsir ayat
adalah ayat :
Artinya,” Dan barangsiapa
yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya),
mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu:
Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati
syahid dan orang-orang saleh.
Dan mereka itulah teman yang sebaikbaiknya.
(QS. 4:69)
Apabila methode ini tidak
ada, maka menafsirkan Al-qur’an dengan Sunnah Rasulullah. Karena ia merupakan
penjelasan bagi al-Qur’an. Rasulullah bersabda, “Aku diberi Al-Qur’an dan
sesuatu yang serupa dengannya (yaitu As-Sunnah) (HR. Muslim ).
Ketika Aisyah ditanya
bagaimana kepribadian (akhlak) Rasulullah , Beliau menjawab: Maksudnya: Akhlak Rasulullah adalah Al-Qu’an
(HR. Muslim ).
Apabila tidak ada tafsiran
dari Sunnah Rasulullah, maka mempergunakan perkataan Sahabat. Karena mereka
melihat fakta dan realita kejadian Sunnah dan menerima ilmu langsung dari
Rasulullah. Abdullah bin Mas’ud berkata; Demi Allah yang tidak ada Tuhan
selain-Nya, tidak ada satu ayat dari Kitabullah, kecuali saya mengetahui untuk
siapa diturunkan dan di mana diturunkan, kalau ada orang yang lebih mengetahui
tentang Kitabullah akan saya datangi sekalipun ada di ujung dunia.
Begitu juga dengan Abdullah
bin Abbas yang dijuluki oleh Rasulullah _ sebagai Tarjuman AL-Qur’an dan sahabat yang lain seperti Said bin
Musayyab, dan lainnya.
Kalau dengan Al-Qur’an,
Sunnah dan perkataan sahabat tidak ada, maka sebagian Ulama mengharuskan merujuk
kepada perkataan Tabi’in. seperti Hasan Bashri, Atha’ bin Rabah, Mujahid bin
Jubair murid Abdullah bin Abbas yang pernah mengemukakan Al-Qur’an dari awal
sampai akhir dan menanyakan tafsir dari setiap
ayat yang dibaca. Sufyan
At-Tsauri berkata; Apabila ada tafsir dari Mujahid maka itu sudah cukup. 3 Ibnu Jarir meriwayatkan
dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, menyebutkan penafsiran itu ada empat macam:
Pertama, Penafsiran yang diketahui oleh orang Arab melalui tuturannya. Kedua,
Penafsiran yang bisa diketahui oleh semua orang yaitu yang menyangkut halal dan
haram. Ketiga, penafsiran yang
hanya diketahui oleh para
Ulama, Keempat, Penafsiran yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Karena Al-Qur’an diturunkan
dengan Bahasa Arab, maka untuk memahami apalagi menafsirkannya dibutuhkan
pemahaman terhadap bahasa Arab dan qaidah-qaidahnya, di samping pemahaman
terhadap ulumul qur’an yang lain, juga fikih, qawaid dan ushulnya, dan disiplin
ilmu yang lain sebagai penunjang.
Menafsirkan ayat-ayat Allah
dengan al-ahwa (napsu) semata tanpa didasari dengan ilmu dan pengetahuan
termasuk kebohongan terhadap Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal
dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.
(QS.16: 116)
Rasulullah dalam banyak
haditsnya mengingatkan untuk tidak menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu, di
antaranya adalah: Maksudnya; Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan
pendapatnya atau tanpa dilandaskan dengan ilmu maka silahkan mengambil
tempatnya di neraka”. Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda;
Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya, maka ia telah
keliru”, (HR. Turmudzi, Abu Daud, dan Nasa’i) Abu Bakar berkata; Langit yang
mana aku bernaung, bumi yang mana aku berpijak, kalau aku menafsirkan
Kitabullah tanpa ilmu. Ini menunjukkan kehati-hatian ulama’ salaf (sahabat,
tabi’in dan erikutnya), untuk menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa berlandaskan
hujjah dan argumentasi yang jelas. Adapun penafsiran
yang dilakukan dengan dasar ilmu dan
pengetahuan, baik syariah maupun lughawiyah maka tidaklah termasuk dalam
ancaman di atas, menafsirakan AL-Qur’an dengan ijtihad ra’yu sudah ditradisikan
sejak zaman Rasulullah, dan itu dilakukan oleh isteri beliau Aisyah yang banyak
menafsirkan masalah-masalah penting dalam agama6. Dan Rasulullah sendiri
merekomendasikan Mu’adz
bin Jabal untuk melakukan
Ijtihad dengan ra’yu, dalam memutuskan permasalahan ummat, apabila dia tidak
mendapatkan jawabannya itu pada al-Qur’an dan Sunnah. Dan hal seperti ini mesti
dilakukan agar Al-Qur’an benar-benar bisa menjadi hudan
(petunjuk) bagi kemaslahatan
hidup manusia di dunia dan di
akhirat. Walllahu A’lam.
No comments:
Post a Comment
ini komentar