Tuesday, 22 December 2015

TEKS QURAN--BAB 19(2) : BEBERAPA MOTIVASI ORIENTALIS: KAJIAN SUBYEKTIVITAS

BAB 19 :   BEBERAPA MOTIVASI ORIENTALIS: KAJIAN SUBYEKTIVITAS
 

4. Tekanan dan Motivasi

Teori-teori Orientalis tidak lahir dari kevakuman, melainkan muncul dari dunia yang terdesak kepentingan politik yang mempolakan dan mewarnai seluruh teori yang ada; marilah kita teliti bagaimana kepentingan itu selalu berubah wajah di segala zaman.

i. Penjajahan dan Demoralisasi Kaum Muslimin

Dalam memahami motivasi Barat, kita dituntut menarik garis ke belakang sejak tahun 1948. Sebelum itu, tujuan utama Orientalisme adalah menyingkap Muhammad sebagai Nabi palsu, AI-Qur'an jiplakan yang mengerikan, hadith rekayasa, dan hukum Islam sangat lunglai, dan cocktail campuran yang diambil dari berbagai unsur budaya lain. Singkat kata, penemuan-penemuan yang bertujuan hendak membuat demoralisasi kaum Muslimin itu (khususnya pemimpin tingkat atas yang, paling mendekati kemungkinan hendak dijadikan sasaran), dan membantu kekuatan penjajah dalam mewujudkan kepatuhan penduduknya dengan menggempur tiap negara yang memiliki sejarah gemilang dan identitas keislaman tersendiri.
Dengan hampir seluruh wilayah kaum Muslimin dikuras oleh berbagai dimensi penjajahan, termasuk Khilafah `Uthmaniyah, waktu sudah cukup matang guna melakukan serangan terhadap nasib rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Para ulama yang memiliki legitimasi ditempatkan ke dalam berbagai jenis hambatan politik; kebanyakan harta wakaf yang jadi urat nadi mencuatnya keilmuan Islam disitu dan diredam.36 Hukum Islam dicampakkan ke luar dan bahkan dibekukan. Sementara bahasa penjajah dan tulisannya melaju melebihi yang lain, suatu dektrit ampuh untuk menikam seluruh bangsa dalam keterpurukan pendidikan yang terlembaga. Ketidakmampuan dalam menguasai bahasa Eropa telah menghempas para 'ulama' ke wilayah pinggiran; jawaban yang ada dibuat, umumnya, dalam bahasa ibu yang tak ubahnya laksana angin lalu yang tak pernah digubris. Orientalis tidak pernah siap untuk berdebat dengan para 'ulama', lebih-lebih lagi untuk menjawab kritikan-kritikan mereka; tujuan satu-satunya ingin menggunakan bahan-bahan penjajah dan bekerja sama dengan badan-badan asing37 untuk dapat meniupkan pengaruh pada generasi baru Muslim elite yang berpendidikan Barat.38 Dengan menggiring para elite ini ke dalam tatanan paham sekulerisme serta meyakinkan mereka bahwa berpegang dengan AI-Qur'an adalah sia-sia, mereka diharap dapat melemahkan prospek hari ini dan masa depan mengenai kekuatan politik kaum Muslimin.
"Pembuktikan" segala bentuk kejahatan Muhammad dan pencurian kitab suci sebelumnya dalam Al-Qur'an, Geiger, Tisdal, dan yang lain-lain ikut berperan aktif menjadi bumper tujuan mereka; kemudian seluruh penglihatan terfokus pada sunnah Nabi Muhammad  , di mana rasa hormat dan kebanggaan dalam upaya pemusnahan dianugerahkan pada Goldziher (1850¬1921), kampiun Orientalis tertinggi pada zamannya. Dalam penilaian Prof. Humphreys, karya Goldziher Muhammadanische Studien telah berhasil,

menunjukkan bahwa kebanyakan hadith yang dapat diterima dalam koleksi kaum Muslimin melalui sistem yang paling ketat itu pun masih dianggap pemalsuan yang dibuat sejak akhir abad ke-2/8 hingga abad ke¬3/9 dan akibatnya, ketelitian jaringan isnad yang memperkuat hadith¬ hadith itu pun terang-terangan masih dianggap fiktif 39

Joseph Schacht mencari kesimpulan gurunya dengan lebih ke depan: isnad dalam pandangannya merupakan sisa peninggalan revolusi Abbasiyah pada pertengahan abad ke dua Hijrah. Dengan semakin sempurnanya sebuah isnad, makin dekat kemungkinan pada pemalsuan. Demikian tingginya mereka mengagungkan teori tersebut sehingga karyanya, Origins of Muhammadan Jurisprudence, telah menjelma sebagai sebuah Injil Orientalis, yang kebal dari sikap penolakan dan kritikan, di mana Gibb membuat prediksi bahwa buku itu akan "menjadi konstruksi dasar studi tentang peradaban dan hukum Islam di masa depan, sekurang-kurangnya di dunia Barat."40 "Boleh jadi kita ber¬kesimpulan bahwa Schacht memang benar," demikian kata Humphreys pula.41 Namun nyatanya, studi kritis tentang karyanya telah terabaikan secara terencana,42 kalau bukan malah dihambat. Apabila almarhum Amin al-Masri memilih studi kritis karya itu dalam tesis doktornya, di mana Universitas London menolak permintaannya; ia juga mendapat perlakuan yang sama di Universitas Cambridge .43 Prof. N. J. Coulson mencoba dengan cara yang lembut untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan tesis Schacht, walau tetap bertahan bahwa secara umum hal itu tidak dapat dibantah; tak lama kemudian ia angkat kaki meninggalkan Universitas Oxford.
Wansbrough, yang membuat teori di atas penemuan Schacht, menyimpulkan bahwa, "dengan sedikit pengecualian, fikih kaum Muslimin, bukan bersumber dari Al-Qur'an." Jadi, status AI-Qur'an dalam sejarah awal Islam, telah disisihkan oleh Wansbrough yang hendak menghapus seluruh AI-Qur'an dari kehidupan komunitas Muslim. Beberapa masalah yang masih tersisa yang dapat dimanfaatkan sebagai dalil yang bersumber dari AI-Qur'an, secara perlahan dinafikan, "Mungkin dapat ditambahkan bahwa beberapa pengecualian yang ada...tidak semestinya menjadi bukti adanya sumber yang lebih awal mengenai kitab suci itu." la menyajikan satu referensi gagasan pemikiran ini. Dalam hal ini siapa saja akan geleng kepala bagaimana karya unggulan ini dapat membangun pernyataan tentang AI-Qur'an sedangkan pada catatan kaki tertulis: Strack, H., Introduction to the Talmud and Midrash,44 yang secara tak langsung menunjukkan bahwa jika segalanya benar apa terjadi pada Talmud dan Midras, maka hal itu akan lebih benar apa yang terjadi pada AI-Qur'an.

ii. Pertanyaan Keyahudian, Penghapusan Sejarah, dan Pemalsuan yang Baru

Sebuah rangsangan baru telah ditambahkan untuk kepentingan Orientalis sejak tahun 1948; perlunya pengamanan perbatasan dan ambisi Israel di wilayah itu. Guna mengkaji motivasi baru menuntut kita pertama kali untuk meneliti apa yang disebut sebagai Jewish Question (Kepentingan Yahudi). Kekejaman inquisisi di Spanyol, yang dilakukan oleh sebuah negara yang mengaku cinta Tuhan, telah menyebabkan mereka `menyikat sampai bersih' jazirah itu dari permukiman kaum Muslimin selain pengusiran orang-orang Yahudi juga. Di antara orang-orang Yahudi yang terusir sebagian mengungsi ke Turki, di bawah proteksi imperium `Uthmani, sementara yang lain kabur ke Eropa dengan menanggung nasib yang selalu tak menentu. Orang Yahudi yang tinggal di Jerman pada awal abad ke 19, misalnya, secara hukum tidak dianggap sebagai manusia: mereka hidup sebagai harta pribadi milik raja.

Layaknya budak belian yang lain, orang-orang Yahudi tidak dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain, kawin, mempunyai anak lebih dari satu melainkan memperoleh izin terlebih dulu. Walau demikian, karena hubungan internasional mereka, orang-orang Yahudi secara resmi dipacu untuk tinggal di Jerman dengan dalih akan dapat memperkuat sendi perdagangan.45

Bagi orang-orang Jerman, kepentingan Yahudi lahir dari kebimbangan sebuah negara Kristen tentang, "bagaimana semestinya memperlakukan semua orang (yang dirasa tidak tepat) untuk dibebaskan."46 Dari sekian pakar teori yang mampu menyajikan jawaban, tak seorang pun yang siap bersaing dengan pengaruh Karl Marx; teorinya dalam membebaskan orang-orang Yahudi sebagai sahabat dekat, adalah dengan cara membebaskan mereka dari identitas agama mereka sendiri, walaupun tetap memberikan dorongan terhadap satu petisi mengenai hak-hak orang Yahudi.47 Dannis Fischman menulis,

Memang benar, analisis terakhir adalah, emansipasi orang-orang Yahudi berarti emansipasi manusia dari agama Yahudi. Orang-orang Yahudi, seperti dikatakan Marx, hanya dapat bebas manakala sifat Yahudinya, tidak lagi dipertahankan.48

Istilah Yahudi ada dua makna, (1) Yahudi sebagai bangsa, dan (2) Yahudi sebagai pengikut agama Yahudi. Marx ingin membebaskan orang-orang Yahudi dan apa yang dia lihat sebagai belenggu pengaruh kedua-duanya; jelasnya pendekatan yang paling mudah dan aman adalah dengan cara memutuskan semua orang dari kebangsaan, harta milik, dan agama. Sosialisme sebagai konsep kerja boleh jadi sebagian besar telah runtuh, tetapi gagasan memusnahkan identitas kebangsaan dan agama demi menciptakan satu tahap lapangan permainan masih tetap hidup. Gagasan ini secara terbuka dikemuka¬kan oleh bekas Perdana Menteri Israel Shimon Peres dalam satu wawancara dengan Sir David Frost. Saat dicecar pertanyaan mengenai sumber anti-Semit, Peres menjawab bahwa pertanyaan yang sama telah mengusik perasaan Yahudi sejak dua ratus tahun yang lalu yang, pada akhirnya, melahirkan dua pandangan yang berbeda.

Satu jawaban adalah, "Karena dunia salah, maka kami harus mengubah dunia." Dan yang lainnya adalah, "Kami salah, maka kami harus meng¬ubah diri kami." Orang Yahudi yang menjadi komunis, misalnya, meng¬ubah dunia, dunia yang membenci (Yahudi). "Mari kita bangun dunia tanpa Negara, tanpa kelas, tanpa agama, dunia tanpa seorang Tuan, yang menyerukan kebencian terhadap orang lain."49

Jean-Paul Satre, pengarang yang menganut paham eksistensialis dan yang juga keturunan Yahudi dari sisi ibu, berkilah dengan nada yang sama: akal mesti menggantikan agama sebagai penyelesaian utama masalah-masalah kehidupan. Bagi Satre kelanjutan beragama berarti penyiksaan kronik terhadap orang-orang Yahudi, dan pemusnahan akan menjadi kunci bagi mengurangi sikap anti-Semitis.50
Ketika membaca buku kecil yang berjudul Great Confrontation in Jewish History,51 saya secara kebetulan hadir dengan tema "Modernity and Judaism" yang disampaikan oleh Dr. Hertzberg, seorang pendeta Yahudi dan asisten Guru Besar Bidang Sejarah Universitas Columbia.52 Ketika meneliti tingkah laku para pemikir Yahudi yang ulung mengenai agama mereka, Hertzberg memberi tumpuan utama terhadap Marx dan Sigmund Freud. Marx muda, menurutnya, memandang orang Yahudi dalam Die Judenfrage (Pertanyaan Keyahudian) sebagai proto-Kapitalis, dan sebagai korban ketegangan dahsyat disebabkan oleh sistem keuangan dan perjalanan ekonomi. guna menyelesaikan kepentingan Yahudi, adalah dengan menghancurkan hierarki kelas dan ekonomi, juga membebaskan orang-orang Kristen dan Yahudi dengan men¬jatuhkan tradisi yang berlaku dalam kapitalisme. Frued di sisi lain memandang agama sebagai obsesi yang bersifat kekanak-kanakan terhadap para tokoh yang memiliki otoritas, yang pada dasarnya merupakan sebuah pesakitan di mana setiap orang harus lebih unggul dalam mencapai kesehatan mental dan kedewasaan.53
Sikap oposisi terhadap pemujaan berhala dan pemberontak hendak melenyapkan norma-norma sejarah, tak terbatas pada Marx dan Frued; "orang¬orang luar" yang memiliki pola pikiran seperti Yahudi juga kebanyakan ber¬pendirian seperti itu. Mengapa? Hertzberg melihatnya sebagai seruan pem¬bebasan: bahwa dengan memisahkan orang-orang Yahudi dari setiap unsur masa lalu di zaman abad pertengahan Eropa, mereka dapat mulai merasakan kesegaran hidup yang setaraf dengan orang-orang bukan Yahudi. Hat ini, menurutnya, merupakan titik awal modernisasi Yahudi. Membangun kedudukan yang kuat ke dalam budaya Barat, menuntut penghapusan sejarah Eropa masa lalu yang penuh dengan kepercayaan dan mitologi Kristen, seperti semua manusia lahir dari debu-debu sejarah yang telah hangus, akan bekerja sama sebagai sahabat di era baru.54
Dalam penilaian Hertzberg, yang anti-Nasionalis dan pro-Universalis pembaruan Yahudi, tak jauh berbeda dengan nasionalis kontemporer yang merasa bangga dengan diri sendiri sebagai Zionis. Sementara keduanya saling berseberangan, namun mereka bersaing demi tujuan yang sama. Bagi pem¬baruan Yahudi abad ke-19, agama dianggap sebagai belenggu yang mesti dimusnahkan demi penegakan persamaan hak. Sebagai perbandingan, Zionisme kontemporer menyatakan bahwa agama tidak lagi memadai sebagai kekuatan menyatukan.

Kecuali untuk golongan keagamaan, mayoritas kaum Zionis, baik yang bersifat politik ataupun kultural, adalah kaum sekularis yang memulai anggapan bahwa agama Yahudi tidak lagi mampu berfungsi sebagai dasar kesatuan dan oleh karenanya kebijakan untuk melangsungkan keberadaan orang Yahudi mesti dibangun di atas beberapa premis yang lain.... Perintah yang paling besar bukan lagi penderitaan untuk mengorbankan diri demi kesucian Nama Tuhan, tapi untuk berjuang demi membangun kembali tanah air.55

Apa yang dikatakan Peres, Hertzberg, Satre, Marx, Freud dan yang lain tampaknya para cendekiawan Yahudi menuntut adanya satu komunitas global tanpa Tuhan, agama, dan juga sejarah-yang merupakan antitesis dari anggapan orang-orang Yahudi bahwa hak mereka terhadap tanah Palestina berpijak pada janji Yahweh.56 Keinginan mereka untuk bersatu ke dalam suatu masyarakat yang lebih luas menuntut pemutusan hubungan masa lalu: menghapus sejarah dan memalsukan pengganti baru. Guna mencapai tujuan ini Wellhausen dan yang lain memulai tugas mencabik-cabik integritas Perjanjian Lama, membuka jalan penyerangan terhadap Perjanjian Baru, yang kemudian merambah kepada Al-Qur'an.
Dalam tahun-tahun suram sewaktu Perang Dunia Kedua, orang-orang Yahudi tak dinafikan menanggung penderitaan dan beban tragedi yang mem¬bakar kemanusiaan. Sambil mengakui penderitaan mereka (yaitu orang-orang Yahudi), para sekutu yang menang, memberi ganti rugi dengan satu anugerah meriah berupa `tanah air' di atas teritorial bukan milik kelompok ini dan ke-lompok itu, yang dalam proses mendapatkannya memaksa jutaan penduduk asli menanggung keberadaan yang mengenaskan sebagai pengungsi. Saat itu, segala upaya sekularisasi agarna Kristen dan Yahudi guna mengubah mereka menjadi lambang-lambang yang diambil dari luar dalam kehidupan sehari-hari, telah mengalami sedikit kemajuan. Akan tetapi, keinginan hendak melenyap¬kan Tuhan, agama, dan sejarah dari jiwa kaum Muslimin hanya membuahkan tantangan yang lebih besar: bahkan ketika proses sekularisasi mulai menapak jalan masuk, kaum Muslimin tidak dapat menoleransi pihak Israel. Ke¬berhasilan dalam bidang ini, sekarang ditujukan untuk membuktikan bahwa seluruh referensi mengenai orang-orang Yahudi atau Palestina yang ada dalam teks-teks Islam adalah palsu,57 sekaligus mengikuti jejak Perjanjian Baru58 dalam menyikat bersih semua ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur'an yang dilihat sebagai anti-Semit.

Sepanjang kaum Muslimin berpegang teguh dengan AI-Qur’an sehagai Kalam Allah yang tak mungkin diubah, isu pembersihan tetap di luar jangkauan mereka; dalam hal ini Wansbrough memperagakan "bukti" bahwa Al ¬Qur'an yang ada sekarang ini bukan lagi semata-mata "karya tulis Muhammad", tetapi karya banyak komunitas yang terpencar-pencar di seluruh dunia Islam yang membangun teks itu sekitar dua ratus tahun lebih.59 Mengutip Humphreys:
Wansbrough berharap bisa menetapkan dua poin utama:
•    Kitab suci Islam - bukan hanya hadith, bahkan Al-Qur'an itu sendiri - dihasilkan oleh sebab kontroversi mazhab yang memakan waktu lebih dari dua abad, yang kemudian secara fiktif ditarik pada satu titik asal penciptaan oleh bangsa Arab.
•    Doktrin ajaran Islam secara umum, bahkan ketokohan Muhammad, di¬bentuk atas prototype kependetaan Yahudi.60
Untuk hal ini dapat kita tambahkan tentang karya kontemporer Yehude Nevo dan J. Koren yang menerapkan pendekatan revisionis dalam studi Islam dengan hasil-hasil yang mengejutkan. Ketika menerangkan survey arkeologi Jordan dan Semenanjung Arabia, mereka mengatakan bahwa walaupun pe¬ninggalan-peninggalan peradaban Hellenistik, Nabatean, Romawi dan Bizantin telah ditemukan, tidak ada indikasi bahwa budaya Arab setempat pada abad ke¬6 dan awal abad ke-7 Masehi telah terwujud.

Secara khusus, wilayah penyembahan berhala Jahiliah pada abad ke enam dan ke tujuh, dan tempat-tempat suci orang-orang musyrik sebagai¬mana dijelaskan oleh sumber-sumber Islam tidak ditemui di Hijaz [bagian barat Arab] dan di tempat-tempat lain yang diteliti.... Lagi pula, hasil penemuan arkeologi mengungkap bahwa tidak ada bekas-bekas kependudukan Yahudi di Madinah, Khaybar atau Wadi al-Qurra. Dua poin itu berlainan srkali dcngan keterangan sumhcr-sumhrr literatur Islam mengenai komposisi dctnografi Hijaz schrlum Islam.61

Koren dan Nevo juga beranggapan bahwa, sebaliknya, bukti yang melimpah tentang penyembahan berhala terdapat di Najaf "Tengah (sebelah utara Palestina), satu wilayah yang tidak disebut dalam sumber-sumber Islam. Penggalian tempat-tempat suci menunjukkan bahwa penyembahan berhala masih ada dijalankan sehingga awal kekuasaan pemerintahan Abbasiyah (pertengahan abad ke delapan Masehi), yang di beberapa wilayah Najaf masih mempertahankan identitas keberhalaan pada permulaan 150 tahun zaman keislatnan. Tempat-tempat suci tersebut dan juga topografi yang terdapat di sekelilingnya, betul-betul sifatnya analogi (mereka menuduh) berlandaskan penjelasan penyembahan berhala di Hijaz seperti dikutip oleh sumber-sumber Muslim.

Jadi bukti arkeologi menunjukkan bahwa tempat-tempat suci berhala seperti ditegaskan dalam sumber-sumber umat Islam tidak terdapat pada masa jahiliah di Hijaz, melainkan tempat-tempat suci yang benar-benar menyerupainya terdapat di Najaf Tengah seketika setelah dinasti Abbasiyah berkuasa. Hal ini, pada gilirannya, menunjukkan bahwa semua cerita mengenai agama Jahiliah di Hijaz dapat diproyeksikan kembali dengan baik tentang satu keberhalaan yang sebenarnya dapat dilacak dari periode kemudian dan dari wilayah lain.62

Jika kita terima pernyataan Koren dan Nevo, bahwa tidak terdapat bukti permukiman Yahudi di Hijaz di zaman Nabi Muhammad saw, hasil yang logis adalah menafikan semua ayat-ayat AI-Qur'an me ngenai Yahudi, karena hal itu tidak mungkin "dikarang" oleh Muhammad. Jadi masyarakat Islam, katanya, telah menambah pada masa berikutnya yang kemudian disebut sebagai Al¬Qur'an; mengembalikan Kitab itu kepada bentuk `aslinya' (yang menurut mereka merupakan tulisan Muhammad) memerlukan penghapusan secara tepat terhadap pemalsuan dan ayat-ayat yang bersifat anti-Semit. Dan, jika kita percaya bahwa keberhalaan pra-jahiliah seperti ditegaskan dalam AI-Qur'an dan Sunnah sebagai proyeksi ke belakang yang bersifat fiktif tentang budaya yang berkembang di sebelah utara Palestina, maka dengan memperluas figure Muhammad semakin dipertanyakan. Memproyeksikan kembali, barangkali, dapat dihubungkan dengan peninggalan-peninggalan kuno tentang keberadaan pendeta Yahudi di Palestina, yang menjadikan ulasan Koren dan Nevo persis sama dengan teori Wansbrough. Dengan cara demikian, kaum Muslimin jadi berutang tarhadap jasa baik agama Yahudi karena menyajikan dasar-dasar yang fiktif bagi identitas dan sejarah asal-usul mereka yang, pada gilirannya, juga berfungsi sebagai motivasi seterusnya dalam memusnahkan ayat-ayat AI¬Qur'an yang mencaci maki perilaku orang-orang Yahudi.

5. Kesimpulan

Kebanyakan negara-negara Islam di sekitar Israel telah diperingatkan akan pentingnya mengubah kurikulum sekolah guna melenyapkan beberapa poin yang dapat meredam rasa benci terhadap orang-orang Yahudi.63 Namun, Al-Qur'an tetap menjadi kendala tujuan ini: sebuah kita suci yang selalu menegaskan mental kepala batu dan tabiat pelanggaran orang-orang Yahudi, di mana ayat-ayat mengenai mereka membasahi bibir anak-anak sekolah, bacaan sewaktu shalat berjamaah di masjid-masjid, rasa kesal orang-orang Islam se¬waktu membaca Mushaf di waktu malam mengenai perilaku buruk yang hampir menjamah semua aspek kehidupan. Oleh sebab itu, memahami motivasi yang mendorong melakukan kajian Al-Qur'an dewasa dianggap suatu kemestian, dengan harapan hasil kajian itu, dapat menyelamatkan para pembaca untuk tidak terperangkap secara tidak sadar.
Kajian Strugnell dan Delitzsch mengenai tema-tema Yahudi, sudah dianggap banci karena tuduhan-tuduhan anti-Semitisme. Israel Antiquity Department mempertimbangkan kualifikasi itu berdasarkan visi yang sesuai dengan ideologinya. Namun sebaliknya, setiap orang Kristen, Yahudi, dan Ateis yang terlibat dalam penipuan disengaja serta merendahkan berbagai ke¬tentuan, keindahan, sejarah, dan masa depan prospek Islam diizinkan menyebut dirinya seorang syekh, agar kaum Muslimin percaya akan kejujuran dan mau menerima penemuan-penemuannya. Pendapat ini tentunya tidak dapat diberi pembelaan. Mengapa penolakan akademis yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang anti-Semit64 tidak dapat diterapkan terhadap mereka yang merusak Islam dengan agenda terselubung? Mengapa ilmuwan non-Muslim harus dianggap sebagai pemegang otoritas guna mengesktradisi ilmuwan Muslim yang mengamalkan ajaran agama mereka? Mengapa para tokoh gereja seperti Mingana, Gullaume, Wait, Anderson, Lammanse, dan masih banyak lagi yang tidak mengharap sesuatu kecuali ingin melihat agama mereka mampu menutupi sinar Islam yang harus dijadikan standar penelitian yang katanya "tidak memihak"? Apa perlunya menganggap Muir sebagai pemegang otoritas dalam sirah Nabi Muhammad, sementara ia menganggap Al-Qur'an sebagai "musuh Peradaban, Kebebasan, dan Kebenaran yang tak kenal kompromi di mana Dunia belum mengetahuinya?"65

No comments:

Post a Comment

ini komentar