Pendapat para Imam
dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris
Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu
bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan
dengan sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah
tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat
tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy
rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka
kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi :
“seburuk-buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah”
(wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud
adalah hal-hal yg tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau
perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal
ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam
islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak
berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg
buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih
Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah
yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin
Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat-buat
hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa
membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat
kebiasaan kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan
pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru
adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah
hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim
juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah
menjadi 5, yaitu
Bid’ah yg wajib,
Bid’ah yg mandub,
bid’ah yg mubah,
bid’ah yg makruh
dan bid’ah yg haram
Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil
pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat
pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat
buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yg
Mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram
sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna
yg umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2
bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
4. Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman
Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun
makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “…
yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak
segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku
untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13),
dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan
bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau
hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat
masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal
189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yg bertentangan
dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati darimanakah
ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yg disebut imam
padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang
yg tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya
tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam? (Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa)
No comments:
Post a Comment
ini komentar