Islam idealis dengan patokan teologi rigid yang
diandaikan Wahabi menjadikannya sebagai sekelompok Serigala berbulu Domba:
menawarkan ke-beradaban dengan cara-cara yang “biadab”. Menyergap kelompok yang
lain dan yang berbeda. Nyatanya, setelah gerakan oposan Wahabi mendapatkan
bekingan dari Inggris, mereka berhasil memisahkan diri dari Dinasti Ottoman,
dan kisah pembantaian terhadap sesama Muslim dimulai. Mekah yang begitu suci
dijadikan tempat jagal penyembelihan orang-orang Muslim, yang dianggap sebagai
pelaku bid’ah. Wahabi merasa tidak puas menghabisi orang-orang Muslim di
kandangnya sendiri (baca; Jazirah Arab), akhirnya Wahabi pun menyembelih
orang-orang Muslim Syi’ah di Karbala.
Jargon pemurnian Islam yang diusung Wahabi menjadi ironi.
Lantaran sejatinya mereka bukan memurnikan Islam, tapi mengeringkan Islam.
Mendesain Islam sebentuk jalan setapak dan sempit. Sejenis cara berfikir
identitas, yang memberikan ukuran-ukuran pasti dan sekematisasi kaku. Siapa pun
harus dibentuk, tidak bisa membentuk. Jika sekema itu berbentuk kotak, maka dia
harus menjadi kotak. Islam ditonjolkan dalam militansi kesalihan-formalis:
bercelana di atas mata kaki, berjenggot, becadar, dll. Hanya dengan itu pula
identitas Wahabi dimanifestasikan. Dada kita akan semakin sesak jika kita
melihat betapa Wahabi menselaraskan agama dan pemikiran keagamaan. Lantaran
Wahabi tak memberikan sedikit pun hak akal dan intuisi untuk didayagunakan
dalam bergumul dengan agama. Sementara kita tahu, bahwa pemikiran keagamaan
adalah produk ijtihadi penalaran manusia hasil pergumulan dengan agama dan
realita. Pemikiran keagamaan akhirnya akan selamanya majemuk.
Wacana teologi yang diusung Wahabi adalah sejenis wacana
yang absen dari percaturan ilmiah, dengan mengembalikannya ke dalam wacana “religius
murni” yang bertumpu pada makna literalisme teks-teks primer agama
(Quran&hadits), yang bersifat univositas. Bahasa metafor (majaz) adalah
barang haram. Berteologi dengan berfikir atau penghayatan-intuitif adalah
tindakan kriminal! Syahdan, Wahabi dalam menyikapi ayat-ayat ketuhanan pun
tetap berpegang pada makna literalisnya. Yadu-Allah, semisal, diartikan bahwa
Tuhan mempunyai tangan, seperti pendapatnya para salaf al-salih, demikian
Wahabi berkata. Sejatinya nama besar dan harum “salaf al-salih” di sini sedang
dijual sebagai alat legitimasinya. Terbukti, para salaf al-salih dalam
menyikapi ayat-ayat ketuhanan, semisal Yadu-Allah, dengan tanpa menentukan
makna, dan menyerahkan maknanya kepada Allah. Wa-llahu A’lam. Sementara kita
tahu bahwa Wahabi telah menentukan makna literalisnya, dan terperosok ke dalam
tajsiem (mempersonifikasi Tuhan yang berjasad). Pengakuan Wahabi sebagai
madzhab salaf menjadi musykil. Bahkan, wacana teologi ala Wahabi yang hendak
mensakralkan Tuhan, tapi berujung pada desakralisasi Tuhan, bisa jadi akan
membawa pada agnostisisme.
Prinsip Wahabi ini tak selaras dengan ujaran Nabi, bahwa:
“al-Quran bagaikan intan permata, yang setiap sisinya memancarkan cahaya yang
beragam”. Ini adalah petanda bahwa bahasa al-Quran adalah bahasa yang ambigu
dan bahkan ekuivositas (kemajemukan makna). Ada lapisan makna yang terkandung
dalam bahasa al-Quran. Karena itu, semisal para teolog, para filsuf dan sufi
dalam merumuskan bangunan teologinya dengan epistemologi filosufis-religius,
yang diistilahkan Immanuel Kant dan Heidegger dengan “onto-teologi”. Piranti
“analogi”, semisal, telah digunakan. Penalaran dan eksperimentasi didayagunakan
untuk menyibak kandungan makna al-Quran yang begitu majemuk, demi meraih
penyucian dan pensakralan Tuhan yang jitu.
Muhammad Abduh sebagai saksi mata menilai Wahabi adalah
gerakan pembaharuan yang paradok: hendak mengibaskan debu taklid yang
mengotori, tapi di saat yang sama menciptakan taklid baru yang lebih
menjijikan. Muhammad Abduh dan Wahabi sejatinya terikat dalam satu mimpi
bersama, yaitu mengembalikan Islam pada masa Islam belum terkotak-kotak dalam
beragam sekte. Biasa diistilahkan sebagai “neo-Salafisme”. Tapi keduanya
memilih jalan yang berbeda: Abduh melalui jalan rasionalis, sehingga diklaim
sebagai neo-Muktazilah; Wahabi melewati jalan literalis, sehingga diklaim
sebagai neo-Khawarij. Pangkal paradoksalitas Wahabi tercium oleh Abduh dalam
menjatuhkan pembaharuannya pada jalan literlisme, yang menghantarkan pada
“taklid baru yang menjijikan”. Berimplikasi pada pendangkalan Islam yang tak
bisa dielakkan: menghempas progresif, mendulang regresif.
awas! Anda juga mungkin dikafirkan oleh Wahhabi!.
Sejarah Ringkas Ajaran WahhabiAjaran Wahhabi diasaskan
oleh Muhammad bin Abdul Wahhab 1206H yang mendorong pengikutnya mengkafirkan
umat islam dan menghalalkan darah mereka. Sudah pasti manusia yang lebih
mengenali perihal Muhammad bin Abdul Wahhab adalah saudara kandungnya dan
bapanya sendiri. Saudara kandungnya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab sering
memberi peringatan kepada umat islam dizamannya agar tidak mengikut ajaran baru
Muhammad bin Abdul Wahhab kerana ajaran itu menghina ulama islam serta
mengkafirkan umat islam. (Sebagai bukti sila rujuk 2 kitab karangan Syeikh
Sulaiman tersebut: “Fashlul Khitob Fir Roddi ‘Ala Muhammad bin Abdul Wahhab”
dan ” Sawaiqul Ilahiyah Fi Roddi ‘Ala Wahhabiyah”).
Bapanya juga yaitu Abdul Wahhab turut memarahi anaknya
iaitu Muhammad kerana enggan mempelajari ilmu islam dan beliau menyatakan
kepada para ulama: “Kamu semua akan melihat keburukan yang dibawa oleh Muhammad
bin Abdul Wahhab ini”. ( Sebagai bukti sila rujuk kitab “As-Suhubul Wabilah
‘Ala Dhoroihil Hanabilah” cetakan Maktabah Imam Ahmad m/s 275). Demikianlah
saudara kandungnya sendiri mengingatkan umat islam agar berwaspada dengan
ajaran TAKFIR yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kenyataan Para Mufti Perihal Wahhabi. Mufti Mazhab
Hambali Muhammad bin Abdullah bin Hamid An-Najdy 1225H menyatakan dalam
kitabnya “As-Suhubul Wabilah ‘Ala Dhoroihil Hanabilah” m/s 276 : “Apabila ulama
menjelaskan hujah kepada Muhammad bin Abdullah Wahhab dan dia tidak mampu
menjawabnya serta tidak mampu membunuhnya maka dia akan menghantar seseorang
untuk membunuh ulama tersebut kerana dianggap sesiapa yang tidak sependapat
dengannnya adalah kafir dan halal darahnya untuk dibunuh”.
Mufti Mazhab Syafi’e Ahmad bin Zaini Dahlan 1304H yang
merupakan tokoh ulama Mekah pada zaman Sultan Abdul Hamid menyatakan dalam
kitabnya ” Ad-Durarus Saniyyah Fir Roddi ‘Alal Wahhabiyah m/s 42: ” Wahhabiyah
merupakan golongan pertama yang mengkafirkan umat islam 600 tahun sebelum
mereka dan Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: Aku membawa kepada kamu semua
agama yang baru dan manusia selain pengikutku adalah kafir musyrik “. Sejarah
membuktikan Wahhabi telah membunuh keturunan Rasulullah serta menyembelih
kanak-kanak kecil di pangkuan ibunya ketikamana mereka mula-mula memasuki Kota
Taif. (Sila rujuk Kitab Umaro’ Al-bilaadul Haram m/s 297 – 298 cetakan Ad-Dar
Al-Muttahidah Lin-Nasyr).
Wahhabi Menghukum Sesat Dan Membid’ahkan Para Ulama’
Islam. Wahhabi bukan sahaja mengkafirkan umat Islam dan menghalalkan darah
mereka tetapi Wahhabi turut membid’ahkan dan menghukum akidah ulama’ Islam
sebagai terkeluar daripada Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Demikian kenyataan Wahhabi
:
1- Disisi Wahhabi Akidah Imam Nawawi Dan Ibnu Hajar
Al-Asqolany Bukan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Tokoh terkemuka ajaran Wahhabi iaitu
Muhammad bin Soleh Al-Uthaimien menyatakan apabila ditanya mengenai Syeikh Imam
Nawawi (Pengarang kitab Syarah Sohih Muslim) dan Amirul Mu’minien Fil Hadith
Syeikh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany (Pengarang Fathul Bari Syarah Sohih Bukhari)
lantas dia menjawab: “Mengenai pegangan Nawawi dan Ibnu Hajar dalam Asma’ Was
Sifat (iaitu akidah)mereka berdua bukan dikalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”.
Rujuk kitabnya Liqa’ Al-Babil Maftuh m/s 42-43 soal-jawab ke 373 cetakan Darul
Watan Lin-Nasyr.
2- Wahhabi Menghukum Al-Asya’iroh Sebagai Sesat Dan
Kafir. Tokoh Wahhabi Abdur Rahman bin Hasan Aal-As-Syeikh mengkafirkan golongan
Al-Asya’iroh yang merupakan pegangan umat islam di Malaysia dan di
negara-negara lain. Rujuk kitabnya Fathul Majid Syarh Kitab Al-Tauhid m/s 353
cetakan Maktabah Darus Salam Riyadh.
Seorang lagi tokoh Wahhabi iaitu Soleh bin Fauzan
Al-Fauzan turut menghukum golongan Al-Asya’iroh sebagai sesat akidah dan bukan
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Rujuk kitabnya Min Masyahir Al-Mujaddidin Fil Islam
m/s 32 cetakan Riasah ‘Ammah Lil Ifta’ Riyadh.
3- Wahhabi Mengkafirkan Umat Islam Yang Mengikut Mazhab.
Dan Mengkafirkan Saidatuna Hawa ( Ibu manusia)Wahhabi bukan sahaja menghukum
sesat terhadap ulama’ Islam bahkan umat islam yang mengikut mazhab pun turut
dikafirkan dan dihukum sebagai musyrik dengan kenyataannya :” Mengikut
mana-mana mazhab adalah syirik “. Dan Wahhabi ini berani juga mengkafirkan Ibu
bani adam iaitu Saidatuna Hawa dengan kenyataannya: ” Sesungguhnya syirik itu
berlaku kepada Hawa “. Tokoh Wahhabi tersebut Muhammad Al-Qanuji antara yang
hampir dengan Muhammad bin Abdul Wahhab. Rujuk kenyataannya dalam kitabnya Ad-Din
Al-Kholis juzuk 1 m/s 140 dan 160 cetakan Darul Kutub Ilmiah.
Saudara Seislamku…! Berwaspadalah dengan ajaran TAKFIR
ini (mengkafirkan umat islam) yang dipelopori oleh golongan Wahhabi!
Fatwa ala Baduwi padang Pasir yang dilontarkan Imam Besar
Wahabi Abdul Aziz ben Bâz ini ternyata disambut oleh rab baduwi degil lain yang
bernama Abdullah Duwaisy dalam buku kecilnya berjudul al Mawrid az Zulâl fi
Tanbîh ‘Ala Akhthâ’ adz Dzilâl.
Nasihat saya yang tulus buat kamu Salafy alias Wahabi
kami tidak keberatan kalian menikmati sajian spesial ajaran Islam ala Ibnu
Taimiah dan Ibnu Qayyim, dan kalian bebas berkata, “Apapun yang datang dari
kedua syeikh; Ibnu Taimiah dan Ibnu Qayyim maka ambilah dan apa-apa yang
dilarang keduannya maka tinggalkan!”tetapi minta tolong ya, biar itu khusus
dalam masalah-masalah agama saja, jangan urusan-urusan perbintangan,
kedokteran, fisika, tata boga atau seni pijit memijit atau ….
Hadits lainnya riwayat Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar:
اِذَا
قَالَ الرَّجُلُ لأِخِهِ: يَا كَافِرُ! فَقَدْ
بَاءَ بِهَا أحَدُهُمَا فَاِنْ
كَانَ
كَمَا
قَالَ وَاِلَى رَجَعَتْ عَلَيْـهِ.
“Barangsiapa yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’
kata-kata itu akan kembali pada salah satu diantara keduanya. Jika tidak
(artinya yang dituduh tidak demikian) maka kata itu kembali pada yang
mengucapkan (yang menuduh)”.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
“Man syahida an Laa ilaha illallahu was taqbala
giblatanaa wa shollaa sholaatana wa akala dzabiihatanaa fa hua al muslimu lahu lil
muslimi ‘alaihi maa ‘alal muslimi”
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah,
menganut kiblat kita (ka’bah), shalat sebagaimana shalat kita, dan memakan
daging sembelihan sebagaimana sembelihan kita, maka dialah orang Islam. Ia
mempunyai hak sebagaimana orang-orang Islam lainnya. Dan ia mempunyai kewajiban
sebagaimana orang Islam lainnya”.
Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah
hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah
saw.pernah memerintahkan:
كُفُّوْا
عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ
إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ
بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ
تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.
“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa
ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka
karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian
mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah
mendengar Rasulallah saw. bersabda:
وَعَنْ
أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ
سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ
: مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ
أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ
وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و
مسلم)
“Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’,
atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan
kembali pada dirinya sendiri”.
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra
berkata:
“Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: Dimanakah
Malik bin Adduch-syum? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka
kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: Jangan berkata demikian,
tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas
karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang
mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah”.
Memahami hadits ini kita disuruh hati-hati untuk
berbicara, karena sepatah kata yang tidak kita perhatikan bisa menjerumuskan
kedalam api neraka. Nah kita tanyakan lagi, bagaimana halnya dengan seseorang
yang sering mensesatkan golongan muslimin yang selalu mengadakan majlis dzikir,
peringatan-peringatan agama yang didalam majlis-majlis tersebut selalu
dikumandangkan tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan lain sebagainya ?
Pikirkanlah !
Didalam surat An-Nisaa [4]: 94 artinya; “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan
janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu ‘Kamu
bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya).. sampai akhir ayat.”
Lihat ayat ini dalam waktu perang pun kita tidak boleh
menuduh atau mengucapkan pada orang yang memberi salam (dimaksud juga orang
yang mengucapkan Lailaaha illallah) sebagai bukan orang mukmin sehingga kita
membunuhnya.
No comments:
Post a Comment
ini komentar