Saturday, 24 October 2015

PRIORITAS FARDHU 'AIN ATAS FARDHU KIFAYAH

PRIORITAS FARDHU 'AIN ATAS FARDHU KIFAYAH


Pengabaian tuntutan fardhu ain dan kifayah punca keruntuhan akhlak ...TIDAK  diperselisihkan  lagi  bahwa   perkara   fardhu   mesti didahulukan   atas   perkara   yang  hukumnya  sunnah;  tetapi perkara-perkara yang  fardhu  itu  sendiri  memiliki  berbagai tingkatan.

Kita  yakin  betul  bahwa  fardhu  ain  harus didahulukan atas fardhu kifayah. Karena fardhu  kifayah  kadangkala  sudah  ada orang  yang melakukannya, sehingga orang yang lain sudah tidak menanggung dosa karena tidak  melakukannya.  Sedangkan  fardhu ain tidak dapat ditawar lagi, karena tidak ada orang lain yang boleh  menggantikan  kewajiban  yang  telah  ditetapkan   atas dirinya.

Banyak   hadits   Nabi   yang  menunjukkan  bahwa  kita  harus mendahulukan fardhu ain atas fardhu kifayah.

Contoh yang paling jelas untuk  itu  ialah  perkara  yang  ada kaitannya  dengan  berbuat  baik  terhadap  kedua orangtua dan berperang membela agama Allah, ketika perang merupakan  fardhu kifayah,  karena  peperangan  untuk  merebut suatu wilayah dan bukan mempertahankan wilayah sendiri; yaitu  peperangan  untuk merebut  suatu  wilayah  yang  diduduki oleh musuh. Kita harus melakukan peperangan ketika tampak tanda-tanda musuh mengintai kita  dan  hendak  merebut  wilayah yang lebih luas dari kita. Dalam hal seperti ini hanya sebagian orang saja yang  dituntut untuk  melakukannya, kecuali bila pemimpin negara menganjurkan semua rakyatnya untuk pergi berperang.

Dalam peperangan seperti ini, berbakti kepada  kedua  orangtua dan berkhidmat kepadanya adalah lebih wajib daripada bergabung kepada  pasukan  tentara  untuk  berperang.  Dan  inilah  yang diingatkan oleh Rasulullah saw.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr bin Ash r.a. berkata bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada  Nabi saw.  Dia  meminta  izin untuk ikut berperang. Maka Rasulullah saw bertanya kepadanya, "Apakah kedua orangtuamu  masih  hidup ?"  Dia  menjawab, "Ya." Rasulullah saw bersabda, "Berjuanglah untuk kepentingan mereka." 10

Dalam riwayat Muslim disebutkan,  ada  seorang  lelaki  datang kepada  Rasulullah  saw kemudian berkata, "Aku hendak berjanji setia  untuk  ikut  hijrah  bersamamu,  dan  berperang   untuk memperoleh pahala dari Allah SWT." Nabi saw berkata kepadanya: "Apakah salah seorang di antara kedua orangtuamu masih hidup?" Dia  menjawab,  "Ya.  Bahkan  keduanya  masih hidup." Nabi saw bersabda, "Engkau  hendak  mencari  pahala  dari  Allah  SWT?" Lelaki   itu  menjawab,  "Ya."  Nabi  saw  kemudian  bersabda, "Kembalilah kepada kedua  orangtuamu,  perlakukanlah  keduanya dengan sebaik-baiknya."

Diriwayatkan  dari  Muslim  bahwa  ada  seorang  lelaki datang kepada Rasulullah saw seraya  berkata,  "Aku  datang  ke  sini untuk  menyatakan  janji  setia  kepadamu untuk berhijrah, aku telah meninggalkan kedua orangtuaku yang menangis  karenanya." Maka  Nabi  saw bersabda, "Kembalilah kepada keduanya, buatlah mereka  tertawa  sebagaimana  engkau  telah   membuat   mereka menangis."

Diriwayatkan  dari  Anas r.a. berkata bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw sambil berkata, "Sesungguhnya aku sangat  ingin  ikut  dalam  peperangan, tetapi aku tidak mampu melaksanakannya." Nabi saw bersabda, "Apakah salah seorang  di antara  kedua  orangtuamu masih ada yang hidup?" Dia menjawab, "Ibuku." Nabi saw bersabda, "Temuilah Allah  dengan  melakukan kebaikan kepadanya. Jika engkau melakukannya, maka engkau akan mendapatkan pahala yang sama  dengan  orang  yang  mengerjakan ibadah haji, umrah, dan berjuang di jalan Allah." 12

Diriwayatkan  dari  Mu'awiyah  bin  Jahimah bahwasanya Jahimah datang kepada Nabi saw kemudian  berkata,  "Wahai  Rasulullah, aku ingin ikut berperang, dan aku datang ke sini untuk meminta pendapatmu." Maka  Rasulullah  saw  bersabda,  "Apakah  engkau masih mempunyai ibu?" Dia menjawab, "Ya." Rasulullah bersabda, "Berbaktilah kepadanya, karena sesungguhnya  surga  berada  di bawah kakinya." 13

Thabrani  meriwayatkan  hadits  itu dengan isnad yang baik, 14 dengan lafalnya sendiri bahwa  Jahimah  berkata,  "Aku  datang kepada  Nabi  saw  untuk meminta pendapat bila aku hendak ikut berperang. Maka Nabi saw bersabda,  'Apakah  kedua  orangtuamu masih  ada?'  Aku  menjawab,  'Ya.'  Maka  Nabi  saw bersabda, 'Tinggallah bersama mereka, karena sesungguhnya  surga  berada di bawah telapak kaki mereka.'"

BEBERAPA TINGKAT FARDHU KIFAYAH
Saya  ingin  menjelaskan  di  sini  bahwa  sesungguhnya fardhu kifayah juga mempunyai beberapa tingkatan. Ada fardhu  kifayah yang  cukup  hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, dan ada pula fardhu kifayah yang dilakukan oleh orang banyak. Ada pula fardhu-fardhu  kifayah  yang  tidak  begitu  banyak orang yang telah  melakukannya,  bahkan   tidak   ada   seorangpun   yang melakukannya.

Pada  zaman  Imam  Ghazali, orang-orang merasa aib bila mereka tidak menuntut ilmu pengetahuan di  bidang  fiqh,  padahal  ia merupakan  fardhu  kifayah,  dan  pada  masa  yang sama mereka meninggalkan wajib kifayah yang lain; seperti ilmu kedokteran. Sehingga  di suatu negeri kadangkala ada lima puluh orang ahli fiqh, dan  tidak  ada  seorangpun  dokter  kecuali  dari  ahli dzimmah.  Padahal  kedokteran pada saat itu sangat diperlukan, di samping ia juga dapat dijadikan sebagai  pintu  masuk  bagi hukum-hukum dan urusan agama.

Oleh  karena  itu,  fardhu kifayah yang hanya ada seorang yang telah melakukannya adalah lebih utama daripada fardhu  kifayah yang  telah  dilakukan oleh banyak orang; walaupun jumlah yang banyak ini belum menutup semua keperluan. Fardhu kifayah  yang belum  cukup  jumlah  orang yang melakukannya, maka ia semakin diperlukan.

Kadangkala fardhu kifayah dapat meningkat  kepada  fardhu  ain untuk kasus Zaid atau Amr, karena yang memiliki keahlian hanya dia seorang, dan dia mempunyai kemungkinan untuk melakukannya, serta  tidak  ada  sesuatupun  yang menjadi penghalang baginya untuk melakukannya.

Misalnya,  kalau  negara   memerlukan   seorang   faqih   yang ditugaskan  untuk  memberi  fatwa,  dan dia seorang yang telah belajar fiqh, atau  dia  sendiri  yang  dapat  menguasai  ilmu tersebut.

Contoh  lainnya  ialah  guru,  khatib,  dokter,  insinyur, dan setiap orang  yang  memiliki  keahlian  tertentu  yang  sangat diperlukan  oleh manusia, dan keahlian ini tidak dimiliki oleh orang lain.

Misal yang lain  ialah  apabila  ada  seorang  yang  mempunyai pengalaman  di  bidang  kemiliteran  yang  sangat  khusus, dan tentara  kaum  Muslimin  memerlukannya,   yang   tidak   dapat digantikan   oleh   orang   lain,  maka  wajib  baginya  untuk mengajukan diri melakukan tugas tersebut.

No comments:

Post a Comment

ini komentar