Proses Terbentuknya Raksasa dan tujuan penciptaan Allah
Dalam Seri 051 ybl telah termaktub bintang-bintang raksasa Betelgeuse,
Razalgethi dan Epsilon Aurigae. Yang sesungguhnya ketiga benda langit itu adalah
matahari-matahari raksasa? Bagaimana Allah memproses ketiganya, yang tentu saja
masih banyak yang lain-lain, sampai menjadi matahari yang raksasa?
Galaxy dan juga ruang antara galaxy tidaklah hampa, melainkan berisi
dukhan yang dikenal dalam ilmu falak sebagai fluida interstellair. Di dalam
galaxy Milkyway fluida interstellair itu beredar mengelilingi pusat Milkyway
bersama-sama dengan bintang-bintang atau matahari-matahari itu. Gerak
berkeliling itu disebut gerak bersama. Dengan demikian galaxy Milkyway itu
ibarat cakra berbentuk lensa cembung, berisikan fluida interstellair dan
matahari-matahari. Fluida interstellair itu walaupun amat renggang dibandingkan
dengan kepadatan massa matahari-matahari, akan tetapi volume fluida itu sangat
besar dibandingkan volume matahari-matahari itu. Maka jumlah massa fluida itu
secara keseluruhan sangat besar. Dengan demikian fluida itu berpengaruh besar
terhadap gerak bersama itu. Fluida interstellair itu mengontrol secara
keseluruhan gerak bersama dari isi Milkyway. Dan begitu pula keadaannnya pada
galaxy-galaxy yang lain.
Adapun kecepatan matahari yang lebih cepat 24 km per detik itu, adalah
kecepatan relatif matahari terhadap fluida interstellair itu. Artinya matahari
berenang dalam fluida interstellair itu dengan kecepatan 24 km per detik.
Demikian pula bintang-bintang atau matahari-matahari yang lain itu berenang
menerobos fluida interstellair. Dan sambil berenang itu bintang-bintang atau
matahari-matahari itu membawa serta (menyedot) fluida interstellair yang
dilaluinya. Makin lambat gerakan berenang itu makin banyak fluida interstellair
yang disedotnya. Apabila kecepatan berenang matahari-matahari itu hanya sekitar
2 sampai 3 km per detik, maka matahari itu akan menjadi matahari-matahari
raksasa, seperti halnnya ketiga raksasa yang disebut di atas itu. Untuk
kecepatan berenang 12 sampai 15 km per detik, walaupun bintang-bintang itu
menyedot fluida interstellair, tidaklah sampai mengalami pertambahan massa yang
berarti, sehingga tidak sempat menjadi raksasa. Demikian pula matahari yang
menjadi pusat tatasurya kita ini termasuk bintang yang tidak dapat menjadi
raksasa, karena kecepatan berenangnya 24 km per detik, jauh di atas 15 km per
detik.
Itu
baru penafsiran atau teori. Tentang adanya fluida interstellair dan proses
penyedotan fluida interstellair oleh bintang-bintang yang berenang itu perlu
diujicoba. Seperti telah pernah dikemukakan dalam seri yang lalu menguji coba
itu harus dirujukkan pada sumber informasi yaitu ayat, baik ayat Al Quran maupun
ayat alam.
Fluida interstellair itu dibenarkan adanya oleh Al Quran, yang disebut
dengan dukhaan (S. Fushshilat 11). Demikian pula tentang keadaan bintang-bintang
yang berenang itu dibenarkan oleh Al Quran, Kullun fie falakin yasbahuwn
semuanya berenang dalam falaknya (S.Al Anbiyaa 33, S.Yasin 40).
Mengenai bintang-bintang itu menyedot fluida interstellair, Allah memberi
kesempatan manusia untuk dapat mengadakan ujicoba. Allah sudah mengatur
sedemikian rupa posisi dan jarak bulan, bumi, matahari, apabila terjadi gerhana
matahari bulan dapat tepat-tepat menutup matahari dilihat dari bumi. Pada waktu
gerhana matahari penuh dapat disaksikan, bahkan telah difoto bahwa matahari
dibungkus oleh lapisan yang disebut corona. Dalam foto itu dapat disaksikan
bahwa pada lapisan terluar dari corona itu terdiri atas fluida interstellair
yang disedot oleh matahari.
Maka
demikianlah bagaimana Allah menjadikan raksasa-raksasa itu. Bintang-bintang itu
berenang melalui fluida interstellair. Sambil berenang bintang-bintang itu
menyedot fluida interstellair. Yang kecepatan berenangnya rendah, antara 2
sampai 3 km per detik, mempunyai kesempatan banyak menyedot. Maka menjadilah ia
raksasa. Yang kecepatannya sedikit tinggi, antara 12 sampai 15 km per detik juga
tetap menyedot, tetapi tidak sempat menjadi raksasa. Dan salah satu di antaranya
ialah matahari kita, yang tidak sempat menjadi raksasa.
Kitapun dapat mengkaji tujuan Allah menjadikan matahari yang tidak sempat
menjadi bintang raksasa. Yaitu bahwa Allah sebagai Ar Rabb, Maha Pengatur,
berkehendak agar kita manusia ini dapat hidup di bumi di tatasurya ini.
Bayangkan jika matahari mempunyai kecepatan berenang 2 sampai 3 km per detik, ia
akan menjadi raksasa. Bumi ini yang pada mulanya berwujud fluida panas, tidak
akan sempat menjadi cair apalagi padat, karena matahari kian membesar. Artinya
jarak matahari dengan bumi kian dekat, bumi malahan makin panas, mana sempat
membeku. Maka dalam proses menjadi raksasa itu akhirnya matahari akan melahap
planet-planetnya. Kalau sudah sebesar raksasa Betelgeuze akan melahap bumi,
sebesar raksasa Razalgethi akan melahap Saturnus dan 1,5 kali sebesar raksasa
Epsilon Aurigae akann melahap Pluto. Allah berkehendak pula supaya manusia
sempat mendapatkan ilmu menguji coba teorinya. Yaitu Allah menetapkan jarak
posisi matahari, bumi dan bulan, sehingga kalau terjadi gerhana matahari penuh,
maka dilihat dari bumi, bulan dapat tepat-tepat menutup matahari. Maka manusia
dapat memfoto corona matahari bahagian luar. Dan dari foto itu manusia dapat
menyaksikan bahwa matahari menyedot fluida innterstellair, manusia dapat
menyaksikan dukhan, dan manusia juga dapat menyaksikan bahwa matahari berenang
dalam dukhan itu. WaLlahu a'lamu bishshawab
***
Makassar, 25 Oktober 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
053. Nabi Yusuf 'Alaihi Ssalam dengan Saudara-Saudaranya
Kita
buat sementara tinggalkan dahulu alam semesta dengan benda-benda langit
supergalaxies, galaxies, matahari-matahari yang biasa dan yang raksasa,
planet-planet untuk buat sementara kembali ke bumi kita ini.
Di
dalam Al Quran banyak sekali kisah yang dikisahkan Allah, utamanya kisah
Nabi-Nabi. Adapun kisah-kisah dalam Al Quran tujuannya bagi yang membacanya
bukan hanya sekadar untuk enak didengar, bukan hanya sekadar bacaan hiburan.
Kisah-kisah dalam Al Quran mendapat predikat dari Allah sebagai ahsanu lqasas,
kisah-kisah yang terbaik, seperti FirmanNya dalam S.Yusuf, 3: Nahnu naqussu
'alaika ahsana lqasasi bimaa awhaynaa ilayka haadza lQuran wa in kunta min
qablihie lamina lghaafilien, artinya, Kami kisahkan kepadamu (hai Muhammad)
kisah-kisah terbaik dengan jalan mewahyukan kepadamu al Quran ini, yang
sesungguhnya engkau sebelumnya (mendapatkan wahyu), belumlah mengetahui
(kisah-kisah terbaik itu).
Salah satu di antara kisah-kisah terbaik itu adalah kisah Nabi Yusuf
'Alaihi Ssalam. Di dalam kisah Nabi Yusuf AS ini banyak pesan-pesan nilai yang
dapat kita simak. Seperti kita ketahui, Nabi Yusuf AS adalah salah seorang dari
dua belas anak Nabi Ya'qub AS, yang anak dari Nabi Ishaq AS, yang anak dari Nabi
Ibrahim AS. Dari kedua belas anak-anak Nabi Ya'qub AS itulah yang menurunkan
kedua belas puak (tribes) Bani Israil. Seperti diketahui dalam sejarah
sepeninggal Raja yang sekaligus Nabi Sulaiman AS, kerajaannya itu pecah dua, 10
puak di Kerajaan Utara, dan 2 puak di Kerajaan Selatan. Yang Utara ditaklukkan
oleh bangsa Asysyiria, dan ke-10 puak itu sudah tidak jelas ke mana rimbanya.
Yang tertinggal hingga sekarang hanyalah 2 puak saja lagi. Itupun mereka, ke-2
puak, yang dari Kerajaan Selatan itu tidak luput dari jarahan kerajaan asing,
dalam hal ini Babilonia, yang menawan mereka semuanya ke Babilon, dan diperbudak
di sana. Inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Babylonische Ballingchap, masa
pembuangan ke Babilonia. Setelah Cyrus, Raja Parsi, penganut agama Zarathustra
yang taat, mengalahkan Babilonia, maka ke-2 puak Bani Israil itu dipulangkan
kembali ke negerinya.
Namun orang-orang Kashmir mengklaim, bahwa mereka itu adalah keturunan
dari The Ten Lost Tribes of Israel. Bahkan ada buku yang pernah saya baca, sudah
lupa siapa penulisnya, bahwa ke-10 puak Israil yang hilang itu adalah orang
Inggeris yang sekarang ini. Dalam The Book of Mormon, Kitab Suci agama Mormon,
yang pendirinya Yoseph Smith, kita dapat baca bahwa ada puak dari The Ten Lost
Tribes itu berhasil luput dari kepungan bangsa Asysyiria dan menyeberangi laut
Atlantik. Orang-orang yang beragama Mormon, yang berpusat di Salt Lake City,
Negara bagian Utah Amerika Serikat berkeyakinan, bahwa di antara orang-orang
Indian adalah keturunan dari salah satu di antara ke-10 puak Bani Israel yang
hilang itu. Dan mereka berkeyakinan, bahwa Nabi 'Isa AS pernah ke Amerika untuk
memenuhi janjinya untuk mencari domba-domba Israel yang hilang. Sebagai tambahan
informasi, Kitab Suci orang-orang Mormon itu saya miliki dalam perpustakaan
pribadi saya, sebagai hadiah dari Prof. DR Ir Richard Toreh M.Sc, itu Guru Besar
Fakultas Teknik, Jurusan Sipil. Beliau tidak beragama Mormon, melainkan beliau
membawa pulang Kitab itu lebih dua puluh tahun lalu setelah menyelesaikan
M.Sc-nya di Utah, Amerika Serikat.
Kembali kita kepada kisah Nabi Yusuf AS. Salah satu pesan nilai dari
kisah Nabi Yusuf AS ini adalah hubungan segi tiga antara Nabi Yusuf AS -
saudara-sadaranya - Nabi Ya'qub AS. Berfirman Allah tentang hal ini dalam
S.Yusuf, ayat 5: La qad kaana fie yuwsufa wa ikhwatihie aayaatun lissaailien,
artinya: Maka adalah dalam hal hubungan Yusuf dengan saudara-saudaranya,
merupakan ayat (informasi) bagi mereka yang suka mencari yang tersirat
(inquirers).
Apa
sesungguhnya nilai yang tersirat dalam kisah Nabi Yusuf AS? Ini dapat kita
ungkapkan, jika membaca pada ayat berikutnya: Idz qaaluw layuwsufu wa akhuwhu
ahabbu ilaa abienaa minnaa wa nahnu ashbatun, artinya: Ingatlah, ketika
(saudara-saudara Yusuf) berkata: Yusuf itu dan saudaranya (Benyamin) lebih
dicintai oleh ayah kita ketimbang kita ini, padahal kita ini berkelompok lebih
kuat (S.Yusuf,8).
Maka
jelaslah bahwa salah satu nilai yang tersirat dalam kisah hubungan segi tiga
Yusuf - saudara-saudaranya - ayahnya, adalah hendaknya seorang ayah ataupun
orang tua, walaupun sudah merasa bertindak adil pada anak-anaknya, perlu
kehati-hatian di dalam bersikap. Yaitu jangan sampai dalam bersikap itu,
anak-anak mempunyai kesan diperlakukan tidak adil, walaupun dari pihak orang tua
tidak ada sama sekali dalam hati nurani dan benaknya untuk berlaku tidak adil.
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari perbincangan ini? Nabi Ya'cub AS
seorang nabi. Walaupun demikian dalam bersikap terhadap anak-anaknya, masih ada
kesan dari anak-anaknya yang 10 orang bahwa mereka itu diperlakukan tidak adil.
Nah, sedangkan seorang nabi masih mendapat kesan yang negatif dari anak-anaknya,
apatah lagi kita ini sebagai manusia biasa. Kalau ada di antara anak-anak kita
mempunyai kesan, bahwa kita sebagai ayahnya tidak memperlakukan mereka dengan
adil, maka perlu introspeksi. Melihat lebih dalam, tidak hanya melihat gejala di
permukaan saja.
Demikian pula dalam hubungannya antara pemerintah sebagai ayah dengan
organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa sebagai anak-anaknya. Adanya protes
terhadap eksistensi KNPI, baik di Palu, yang HMI keluar dari KNPI, maupun
baru-baru ini di Yogyakarta yang menghendaki bubarnya KNPI, perlu disimak lebih
dalam. Apakah hanya sekadar karena soal kepemimpinan dalam tubuh KNPI, ataukah
lebih dalam lagi menukik dalam kejiwaan, sebagaimana halnya dengan ke-10
saudara-saudara Yusuf, bahwa Yusuf itu ahabbu ilaa abienaa minnaa, Yusuf itu
lebih dicintai oleh ayah kita ketimbang kita yang 10 orang ini.
Maka
perlu sekali menyimak lebih dalam, mengintrospeksi baik dari pihak ayah yaitu
pemerintah, maupun dari anak, yaitu dalam hal ini KNPI. Sedangkan Nabi Ya'qub
AS, yang seorang nabi, dalam bersikap memberikan kesan pada anak-anaknya tidak
berlaku adil, apatah pula kita ini cuma manusia biasa saja. Ya, laqad kaana fie
yuwsufa wa ikhwatihie aayaatun lissaailien. WaLlahu a'lamu bishshawab.
***
Makassar, 1 November 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
054. Textual, Kontextual, Konsepsional
Mengenai Keadilan Ada yang bertanya kepada saya. Ini dalam hubungannya
dengan acara rutin da'wah Islamiyah di TPI setiap pagi. Yaitu dalam salah satu
acara rutin tersebut pernah dikemukakan tentang pembagian warisan 2 berbanding
satu antara laki-laki dengan perempuan. Lalu saya berpikir, mungkin banyak yang
bertanya-tanya pula, yaitu dihubungkan dengan nilai keadilan. Dan sayapun masih
ingat beberapa tahun lalu Menteri Agama Munawir Syadzali pernah mengemukakan
pendapatnya pribadi, bahwa dua berbanding satu tidak cocok, artinya dirasa tidak
adil kalau dilihat masyarakat di Jawa Tengah, yang perempuannya aktif mencari
nafkah, sedang laki-lakinya pasif saja di rumah.
Dalam S.Al Baqarah, 208 Allah berfirman: Yaa ayyuha lladziena aamanuw
dkhuluw fissilmi kaaffah, artinya, Hai orang-orang beriman masukilah Islam
secara keseluruhan.
Untuk memasuki Islam secara keseluruhan, haruslah dahulu memahaminya pula
secara keseluruhan, tidak secara berkotak-kotak. Artinya ajaran Islam harus
difahami secara kaffah (keseluruhan, totalitas), secara nizam (sistem),
mempergunakan pendekatan sistem. Secara gampangnya, sistem adalah suatu
totalitas yang mempunyai fungsi dan tujuan, yang terdiri atas komponen-komponen
yang mempunyai kaitan yang tertentu dan erat antara satu dengan yang lain.
Adapun keadilan menurut ajaran Islam, bukanlah sama rata sama rasa, bukan
pula hanya sekadar keseimbangan antara hak dengan kewajiban, melainkan bermakna:
menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan mengeluarkan sesuatu dari yang bukan
tempatnya. Dengan pengertian keadilan seperti itulah, kita akan membahas
mengenai keadilan dalam hubungannya dengan pembahagian harta warisan: dua
bahagian untuk laki-laki dan satu bahagian untuk perempuan, seperti ditegaskan
dalam nash dan adat.
Menurut nash yaitu dalam S. An Nisaa, 11: Yuwshiekumu Lla-hu fie
awlaadikum lidzdzakari mitslu hazhzhi l.untsayayni, Allah mewajibkan dalam hal
anak-anak kamu untuk seorang laki-laki seperti bagian dua orang perempuan. Dan
menurut adat: Laki-laki memikul, perempuan menjunjung.
Masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri atas berbagai komponen. Salah
satu komponennya adalah sub-sistem nilai. Nilai ada yang utama ada yang tidak
utama atau pendukung, instrumental. Nilai utama bersumber dari wahyu dan nilai
yang instrumental berasal dari akar yang historis, yaitu produk akal-budi
manusia. Dengan perkataan lain, nilai utama adalah nilai agama dan nilai yang
instrumental adalah nilai budaya. Menurut istilah Al Quran, nilai utama disebut
Al Furqan (Al Quran 2:185). Nilai agama adalah mutlak, tidak bergeser dan nilai
budaya tidak mutlak dapat bergeser. Nilai budaya dapat saja tidak bergeser, jika
nilai budaya itu larut dalam nilai agama. Sub-sistem nilai sebagai salah satu
komponen masyarakat, menjadi kerangka dasar bagi komponen-komponen lainnya
seperti sub-sistem: politik, ekonomi, hukum, estetika dlsb. Atau dengan
perkataan lain, sub-sistem nilailah yang menentukan corak, mewarnai, memberikan
nada dan irama sub-sistem sub-sistem atau komponen-komponen lainnya.
Salah satu sub-sistem nilai adalah keadilan, dan ini termasuk dalam
klasifikasi nilai utama. Secara pendekatan sistem, nilai ini tidak dapat
dipisahkan dari nilai utama yang lain, yang meyangkut konsep kepemimpinan. Nilai
tersebut tercantum dalam S. An Nisaa, 34: Ar rijaalu qawwaamuwna 'ala nnisaai,
Laki-laki itu adalah pemimpin perempuan. Nilai kepemimpinan di atas itu
memberikan corak dalam sub-sistem hukum faraid: dua bagian untuk anak laki-laki
dan satu bagian untuk anak perempuan. Dengan pendekatan sistem tersebut,
ditambah pula lagi dengan kriteria keadilan yang berupa: tanggung-jawab,
kebutuhan, kesanggupan, prestasi, historis, bahkan selera, kita tidaklah akan
bingung jika menghadapi suatu keadaan yang menurut hasil observasi kita selayang
pandang, perbandingan dua dan satu itu tidak cocok menurut kondisi suatu
masyarakat tertentu. Yaitu suatu keadaan khusus dari masyarakat tertentu yang
menyimpang dari yang normal. Perempuannya mencari nafkah, sedangkan yang
laki-lakinya hanya mempertele burung perkutut di rumah. Kita tidaklah akan
begitu saja jika melihat masyarakat yang tidak normal itu, lalu membuat resep
yang gampangan, yaitu rumus: Jangan lihat ayat itu secara textual, melainkan
lihatlah secara kontextual.
Dengan pendekatan sistem kita tidaklah akan secara gampangan untuk
mempertentangkan yang textual dengan yang kontextual. Dengan pendekatan sistem
kita akan menjangkau bukan hanya sekadar yang kontextual saja, melainkan
jangkauannya adalah yang konsepsional. Dengan konfigurasi ayat di atas rasio,
akal dituntun oleh wahyu dan pendekatan sistem yang konsepsional, kita akan
melihat bahwa nilai keadilan, maupun nilai kepemimpinan yang memberikan corak
pada hukum faraidh, dua berbanding satu, tidak ada pertentangan antara yang
textual dengan yang kontextual.
Menurut nilai utama dalam hal kepemimpinan, laki-laki yang memimpin
perempuan, maka dalam sebuah rumah tangga, laki-lakilah penanggung jawab secara
keseluruhan. Termasuklah di sini antara lain tanggung jawab memberi nafkah anak
isteri. Dan menurut ketentuan hukum Islam, pihak isteri mempunyai hak penuh atas
hak miliknya yang dibawa bersuami. Artinya sang isteri mempunyai kebebasan penuh
dalam mengelola harta miliknya itu tanpa persetujuan suami. Berbeda misalnya
dengan hukum barat, sang isteri tidak bebas untuk mengelola sendiri hak milik
yang dibawanya dalam perkawinan. Sang isteri harus minta persetujuan suaminya.
Kesimpulannya, laki-laki sebagai penanggung jawab rumah tangga, isteri yang
mempunyai hak penuh atas pengelolaan hak milik yang dibawanya, dengan
perbandingan dua untuk laki-laki satu untuk perempuan, maka tercapailah
keadilan, menempatkan hal itu pada tempatnya.
Lalu
bagaimana dengan permasalahan yang pernah dikemukakan Munawir Syadzali di Jawa
Tengah itu? Jawabannya itu adalah distorsi. Masyarakat yang menyimpang itu harus
diluruskan dengan Social Engineering, yang mekanismenya utamanya dalam bidang
hukum, peraturan perundang-undangan. Sekadar tambahan informasi, Social
Engineering, adalah suatu upaya mengubah kondisi masyarakat agar sesuai dengan
tatanan yang diinginkan. Dan ini jangan dikacaukan dengan Societal Engineering,
yaitu engineering yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Jadi Social Engineering
termasuk dalam ruang lingkup Ilmu-Ilmu sosial, sedangkan Societal Engineering
termasuk dalam ilmu-ilmu keteknikan (engineering). WaLlahu a'lamu bishshswab.
No comments:
Post a Comment
ini komentar