Saturday, 24 October 2015

Proses Terbentuknya Raksasa dan tujuan penciptaan Allah

Proses Terbentuknya Raksasa dan tujuan penciptaan Allah 

Dalam Seri 051 ybl telah termaktub bintang-bintang raksasa Betelgeuse, Razalgethi dan Epsilon Aurigae. Yang sesungguhnya ketiga benda langit itu adalah matahari-matahari raksasa? Bagaimana Allah memproses ketiganya, yang tentu saja masih banyak yang lain-lain, sampai menjadi matahari yang raksasa? 
Galaxy dan juga ruang antara galaxy tidaklah hampa, melainkan berisi dukhan yang dikenal dalam ilmu falak sebagai fluida interstellair. Di dalam galaxy Milkyway fluida interstellair itu beredar mengelilingi pusat Milkyway bersama-sama dengan bintang-bintang atau matahari-matahari itu. Gerak berkeliling itu disebut gerak bersama. Dengan demikian galaxy Milkyway itu ibarat cakra berbentuk lensa cembung, berisikan fluida interstellair dan matahari-matahari. Fluida interstellair itu walaupun amat renggang dibandingkan dengan kepadatan massa matahari-matahari, akan tetapi volume fluida itu sangat besar dibandingkan volume matahari-matahari itu. Maka jumlah massa fluida itu secara keseluruhan sangat besar. Dengan demikian fluida itu berpengaruh besar terhadap gerak bersama itu. Fluida interstellair itu mengontrol secara keseluruhan gerak bersama dari isi Milkyway. Dan begitu pula keadaannnya pada galaxy-galaxy yang lain. 
Adapun kecepatan matahari yang lebih cepat 24 km per detik itu, adalah kecepatan relatif matahari terhadap fluida interstellair itu. Artinya matahari berenang dalam fluida interstellair itu dengan kecepatan 24 km per detik. Demikian pula bintang-bintang atau matahari-matahari yang lain itu berenang menerobos fluida interstellair. Dan sambil berenang itu bintang-bintang atau matahari-matahari itu membawa serta (menyedot) fluida interstellair yang dilaluinya. Makin lambat gerakan berenang itu makin banyak fluida interstellair yang disedotnya. Apabila kecepatan berenang matahari-matahari itu hanya sekitar 2 sampai 3 km per detik, maka matahari itu akan menjadi matahari-matahari raksasa, seperti halnnya ketiga raksasa yang disebut di atas itu. Untuk kecepatan berenang 12 sampai 15 km per detik, walaupun bintang-bintang itu menyedot fluida interstellair, tidaklah sampai mengalami pertambahan massa yang berarti, sehingga tidak sempat menjadi raksasa. Demikian pula matahari yang menjadi pusat tatasurya kita ini termasuk bintang yang tidak dapat menjadi raksasa, karena kecepatan berenangnya 24 km per detik, jauh di atas 15 km per detik. 
Itu baru penafsiran atau teori. Tentang adanya fluida interstellair dan proses penyedotan fluida interstellair oleh bintang-bintang yang berenang itu perlu diujicoba. Seperti telah pernah dikemukakan dalam seri yang lalu menguji coba itu harus dirujukkan pada sumber informasi yaitu ayat, baik ayat Al Quran maupun ayat alam. 
Fluida interstellair itu dibenarkan adanya oleh Al Quran, yang disebut dengan dukhaan (S. Fushshilat 11). Demikian pula tentang keadaan bintang-bintang yang berenang itu dibenarkan oleh Al Quran, Kullun fie falakin yasbahuwn semuanya berenang dalam falaknya (S.Al Anbiyaa 33, S.Yasin 40). 
Mengenai bintang-bintang itu menyedot fluida interstellair, Allah memberi kesempatan manusia untuk dapat mengadakan ujicoba. Allah sudah mengatur sedemikian rupa posisi dan jarak bulan, bumi, matahari, apabila terjadi gerhana matahari bulan dapat tepat-tepat menutup matahari dilihat dari bumi. Pada waktu gerhana matahari penuh dapat disaksikan, bahkan telah difoto bahwa matahari dibungkus oleh lapisan yang disebut corona. Dalam foto itu dapat disaksikan bahwa pada lapisan terluar dari corona itu terdiri atas fluida interstellair yang disedot oleh matahari. 
Maka demikianlah bagaimana Allah menjadikan raksasa-raksasa itu. Bintang-bintang itu berenang melalui fluida interstellair. Sambil berenang bintang-bintang itu menyedot fluida interstellair. Yang kecepatan berenangnya rendah, antara 2 sampai 3 km per detik, mempunyai kesempatan banyak menyedot. Maka menjadilah ia raksasa. Yang kecepatannya sedikit tinggi, antara 12 sampai 15 km per detik juga tetap menyedot, tetapi tidak sempat menjadi raksasa. Dan salah satu di antaranya ialah matahari kita, yang tidak sempat menjadi raksasa. 
Kitapun dapat mengkaji tujuan Allah menjadikan matahari yang tidak sempat menjadi bintang raksasa. Yaitu bahwa Allah sebagai Ar Rabb, Maha Pengatur, berkehendak agar kita manusia ini dapat hidup di bumi di tatasurya ini. Bayangkan jika matahari mempunyai kecepatan berenang 2 sampai 3 km per detik, ia akan menjadi raksasa. Bumi ini yang pada mulanya berwujud fluida panas, tidak akan sempat menjadi cair apalagi padat, karena matahari kian membesar. Artinya jarak matahari dengan bumi kian dekat, bumi malahan makin panas, mana sempat membeku. Maka dalam proses menjadi raksasa itu akhirnya matahari akan melahap planet-planetnya. Kalau sudah sebesar raksasa Betelgeuze akan melahap bumi, sebesar raksasa Razalgethi akan melahap Saturnus dan 1,5 kali sebesar raksasa Epsilon Aurigae akann melahap Pluto. Allah berkehendak pula supaya manusia sempat mendapatkan ilmu menguji coba teorinya. Yaitu Allah menetapkan jarak posisi matahari, bumi dan bulan, sehingga kalau terjadi gerhana matahari penuh, maka dilihat dari bumi, bulan dapat tepat-tepat menutup matahari. Maka manusia dapat memfoto corona matahari bahagian luar. Dan dari foto itu manusia dapat menyaksikan bahwa matahari menyedot fluida innterstellair, manusia dapat menyaksikan dukhan, dan manusia juga dapat menyaksikan bahwa matahari berenang dalam dukhan itu. WaLlahu a'lamu bishshawab 
*** Makassar, 25 Oktober 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman] 
[BACK]  [HOME]

053. Nabi Yusuf 'Alaihi Ssalam dengan Saudara-Saudaranya 

Kita buat sementara tinggalkan dahulu alam semesta dengan benda-benda langit supergalaxies, galaxies, matahari-matahari yang biasa dan yang raksasa, planet-planet untuk buat sementara kembali ke bumi kita ini. 
Di dalam Al Quran banyak sekali kisah yang dikisahkan Allah, utamanya kisah Nabi-Nabi. Adapun kisah-kisah dalam Al Quran tujuannya bagi yang membacanya bukan hanya sekadar untuk enak didengar, bukan hanya sekadar bacaan hiburan. Kisah-kisah dalam Al Quran mendapat predikat dari Allah sebagai ahsanu lqasas, kisah-kisah yang terbaik, seperti FirmanNya dalam S.Yusuf, 3: Nahnu naqussu 'alaika ahsana lqasasi bimaa awhaynaa ilayka haadza lQuran wa in kunta min qablihie lamina lghaafilien, artinya, Kami kisahkan kepadamu (hai Muhammad) kisah-kisah terbaik dengan jalan mewahyukan kepadamu al Quran ini, yang sesungguhnya engkau sebelumnya (mendapatkan wahyu), belumlah mengetahui (kisah-kisah terbaik itu). 
Salah satu di antara kisah-kisah terbaik itu adalah kisah Nabi Yusuf 'Alaihi Ssalam. Di dalam kisah Nabi Yusuf AS ini banyak pesan-pesan nilai yang dapat kita simak. Seperti kita ketahui, Nabi Yusuf AS adalah salah seorang dari dua belas anak Nabi Ya'qub AS, yang anak dari Nabi Ishaq AS, yang anak dari Nabi Ibrahim AS. Dari kedua belas anak-anak Nabi Ya'qub AS itulah yang menurunkan kedua belas puak (tribes) Bani Israil. Seperti diketahui dalam sejarah sepeninggal Raja yang sekaligus Nabi Sulaiman AS, kerajaannya itu pecah dua, 10 puak di Kerajaan Utara, dan 2 puak di Kerajaan Selatan. Yang Utara ditaklukkan oleh bangsa Asysyiria, dan ke-10 puak itu sudah tidak jelas ke mana rimbanya. Yang tertinggal hingga sekarang hanyalah 2 puak saja lagi. Itupun mereka, ke-2 puak, yang dari Kerajaan Selatan itu tidak luput dari jarahan kerajaan asing, dalam hal ini Babilonia, yang menawan mereka semuanya ke Babilon, dan diperbudak di sana. Inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Babylonische Ballingchap, masa pembuangan ke Babilonia. Setelah Cyrus, Raja Parsi, penganut agama Zarathustra yang taat, mengalahkan Babilonia, maka ke-2 puak Bani Israil itu dipulangkan kembali ke negerinya. 
Namun orang-orang Kashmir mengklaim, bahwa mereka itu adalah keturunan dari The Ten Lost Tribes of Israel. Bahkan ada buku yang pernah saya baca, sudah lupa siapa penulisnya, bahwa ke-10 puak Israil yang hilang itu adalah orang Inggeris yang sekarang ini. Dalam The Book of Mormon, Kitab Suci agama Mormon, yang pendirinya Yoseph Smith, kita dapat baca bahwa ada puak dari The Ten Lost Tribes itu berhasil luput dari kepungan bangsa Asysyiria dan menyeberangi laut Atlantik. Orang-orang yang beragama Mormon, yang berpusat di Salt Lake City, Negara bagian Utah Amerika Serikat berkeyakinan, bahwa di antara orang-orang Indian adalah keturunan dari salah satu di antara ke-10 puak Bani Israel yang hilang itu. Dan mereka berkeyakinan, bahwa Nabi 'Isa AS pernah ke Amerika untuk memenuhi janjinya untuk mencari domba-domba Israel yang hilang. Sebagai tambahan informasi, Kitab Suci orang-orang Mormon itu saya miliki dalam perpustakaan pribadi saya, sebagai hadiah dari Prof. DR Ir Richard Toreh M.Sc, itu Guru Besar Fakultas Teknik, Jurusan Sipil. Beliau tidak beragama Mormon, melainkan beliau membawa pulang Kitab itu lebih dua puluh tahun lalu setelah menyelesaikan M.Sc-nya di Utah, Amerika Serikat. 
Kembali kita kepada kisah Nabi Yusuf AS. Salah satu pesan nilai dari kisah Nabi Yusuf AS ini adalah hubungan segi tiga antara Nabi Yusuf AS - saudara-sadaranya - Nabi Ya'qub AS. Berfirman Allah tentang hal ini dalam S.Yusuf, ayat 5: La qad kaana fie yuwsufa wa ikhwatihie aayaatun lissaailien, artinya: Maka adalah dalam hal hubungan Yusuf dengan saudara-saudaranya, merupakan ayat (informasi) bagi mereka yang suka mencari yang tersirat (inquirers). 
Apa sesungguhnya nilai yang tersirat dalam kisah Nabi Yusuf AS? Ini dapat kita ungkapkan, jika membaca pada ayat berikutnya: Idz qaaluw layuwsufu wa akhuwhu ahabbu ilaa abienaa minnaa wa nahnu ashbatun, artinya: Ingatlah, ketika (saudara-saudara Yusuf) berkata: Yusuf itu dan saudaranya (Benyamin) lebih dicintai oleh ayah kita ketimbang kita ini, padahal kita ini berkelompok lebih kuat (S.Yusuf,8). 
Maka jelaslah bahwa salah satu nilai yang tersirat dalam kisah hubungan segi tiga Yusuf - saudara-saudaranya - ayahnya, adalah hendaknya seorang ayah ataupun orang tua, walaupun sudah merasa bertindak adil pada anak-anaknya, perlu kehati-hatian di dalam bersikap. Yaitu jangan sampai dalam bersikap itu, anak-anak mempunyai kesan diperlakukan tidak adil, walaupun dari pihak orang tua tidak ada sama sekali dalam hati nurani dan benaknya untuk berlaku tidak adil. Pelajaran apa yang dapat kita petik dari perbincangan ini? Nabi Ya'cub AS seorang nabi. Walaupun demikian dalam bersikap terhadap anak-anaknya, masih ada kesan dari anak-anaknya yang 10 orang bahwa mereka itu diperlakukan tidak adil. Nah, sedangkan seorang nabi masih mendapat kesan yang negatif dari anak-anaknya, apatah lagi kita ini sebagai manusia biasa. Kalau ada di antara anak-anak kita mempunyai kesan, bahwa kita sebagai ayahnya tidak memperlakukan mereka dengan adil, maka perlu introspeksi. Melihat lebih dalam, tidak hanya melihat gejala di permukaan saja. 
Demikian pula dalam hubungannya antara pemerintah sebagai ayah dengan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa sebagai anak-anaknya. Adanya protes terhadap eksistensi KNPI, baik di Palu, yang HMI keluar dari KNPI, maupun baru-baru ini di Yogyakarta yang menghendaki bubarnya KNPI, perlu disimak lebih dalam. Apakah hanya sekadar karena soal kepemimpinan dalam tubuh KNPI, ataukah lebih dalam lagi menukik dalam kejiwaan, sebagaimana halnya dengan ke-10 saudara-saudara Yusuf, bahwa Yusuf itu ahabbu ilaa abienaa minnaa, Yusuf itu lebih dicintai oleh ayah kita ketimbang kita yang 10 orang ini. 
Maka perlu sekali menyimak lebih dalam, mengintrospeksi baik dari pihak ayah yaitu pemerintah, maupun dari anak, yaitu dalam hal ini KNPI. Sedangkan Nabi Ya'qub AS, yang seorang nabi, dalam bersikap memberikan kesan pada anak-anaknya tidak berlaku adil, apatah pula kita ini cuma manusia biasa saja. Ya, laqad kaana fie yuwsufa wa ikhwatihie aayaatun lissaailien. WaLlahu a'lamu bishshawab. 
*** Makassar, 1 November 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman] 
[BACK]  [HOME]

054. Textual, Kontextual, Konsepsional 

Mengenai Keadilan Ada yang bertanya kepada saya. Ini dalam hubungannya dengan acara rutin da'wah Islamiyah di TPI setiap pagi. Yaitu dalam salah satu acara rutin tersebut pernah dikemukakan tentang pembagian warisan 2 berbanding satu antara laki-laki dengan perempuan. Lalu saya berpikir, mungkin banyak yang bertanya-tanya pula, yaitu dihubungkan dengan nilai keadilan. Dan sayapun masih ingat beberapa tahun lalu Menteri Agama Munawir Syadzali pernah mengemukakan pendapatnya pribadi, bahwa dua berbanding satu tidak cocok, artinya dirasa tidak adil kalau dilihat masyarakat di Jawa Tengah, yang perempuannya aktif mencari nafkah, sedang laki-lakinya pasif saja di rumah. 
Dalam S.Al Baqarah, 208 Allah berfirman: Yaa ayyuha lladziena aamanuw dkhuluw fissilmi kaaffah, artinya, Hai orang-orang beriman masukilah Islam secara keseluruhan. 
Untuk memasuki Islam secara keseluruhan, haruslah dahulu memahaminya pula secara keseluruhan, tidak secara berkotak-kotak. Artinya ajaran Islam harus difahami secara kaffah (keseluruhan, totalitas), secara nizam (sistem), mempergunakan pendekatan sistem. Secara gampangnya, sistem adalah suatu totalitas yang mempunyai fungsi dan tujuan, yang terdiri atas komponen-komponen yang mempunyai kaitan yang tertentu dan erat antara satu dengan yang lain. 
Adapun keadilan menurut ajaran Islam, bukanlah sama rata sama rasa, bukan pula hanya sekadar keseimbangan antara hak dengan kewajiban, melainkan bermakna: menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan mengeluarkan sesuatu dari yang bukan tempatnya. Dengan pengertian keadilan seperti itulah, kita akan membahas mengenai keadilan dalam hubungannya dengan pembahagian harta warisan: dua bahagian untuk laki-laki dan satu bahagian untuk perempuan, seperti ditegaskan dalam nash dan adat. 
Menurut nash yaitu dalam S. An Nisaa, 11: Yuwshiekumu Lla-hu fie awlaadikum lidzdzakari mitslu hazhzhi l.untsayayni, Allah mewajibkan dalam hal anak-anak kamu untuk seorang laki-laki seperti bagian dua orang perempuan. Dan menurut adat: Laki-laki memikul, perempuan menjunjung. 
Masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri atas berbagai komponen. Salah satu komponennya adalah sub-sistem nilai. Nilai ada yang utama ada yang tidak utama atau pendukung, instrumental. Nilai utama bersumber dari wahyu dan nilai yang instrumental berasal dari akar yang historis, yaitu produk akal-budi manusia. Dengan perkataan lain, nilai utama adalah nilai agama dan nilai yang instrumental adalah nilai budaya. Menurut istilah Al Quran, nilai utama disebut Al Furqan (Al Quran 2:185). Nilai agama adalah mutlak, tidak bergeser dan nilai budaya tidak mutlak dapat bergeser. Nilai budaya dapat saja tidak bergeser, jika nilai budaya itu larut dalam nilai agama. Sub-sistem nilai sebagai salah satu komponen masyarakat, menjadi kerangka dasar bagi komponen-komponen lainnya seperti sub-sistem: politik, ekonomi, hukum, estetika dlsb. Atau dengan perkataan lain, sub-sistem nilailah yang menentukan corak, mewarnai, memberikan nada dan irama sub-sistem sub-sistem atau komponen-komponen lainnya. 
Salah satu sub-sistem nilai adalah keadilan, dan ini termasuk dalam klasifikasi nilai utama. Secara pendekatan sistem, nilai ini tidak dapat dipisahkan dari nilai utama yang lain, yang meyangkut konsep kepemimpinan. Nilai tersebut tercantum dalam S. An Nisaa, 34: Ar rijaalu qawwaamuwna 'ala nnisaai, Laki-laki itu adalah pemimpin perempuan. Nilai kepemimpinan di atas itu memberikan corak dalam sub-sistem hukum faraid: dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan. Dengan pendekatan sistem tersebut, ditambah pula lagi dengan kriteria keadilan yang berupa: tanggung-jawab, kebutuhan, kesanggupan, prestasi, historis, bahkan selera, kita tidaklah akan bingung jika menghadapi suatu keadaan yang menurut hasil observasi kita selayang pandang, perbandingan dua dan satu itu tidak cocok menurut kondisi suatu masyarakat tertentu. Yaitu suatu keadaan khusus dari masyarakat tertentu yang menyimpang dari yang normal. Perempuannya mencari nafkah, sedangkan yang laki-lakinya hanya mempertele burung perkutut di rumah. Kita tidaklah akan begitu saja jika melihat masyarakat yang tidak normal itu, lalu membuat resep yang gampangan, yaitu rumus: Jangan lihat ayat itu secara textual, melainkan lihatlah secara kontextual. 
Dengan pendekatan sistem kita tidaklah akan secara gampangan untuk mempertentangkan yang textual dengan yang kontextual. Dengan pendekatan sistem kita akan menjangkau bukan hanya sekadar yang kontextual saja, melainkan jangkauannya adalah yang konsepsional. Dengan konfigurasi ayat di atas rasio, akal dituntun oleh wahyu dan pendekatan sistem yang konsepsional, kita akan melihat bahwa nilai keadilan, maupun nilai kepemimpinan yang memberikan corak pada hukum faraidh, dua berbanding satu, tidak ada pertentangan antara yang textual dengan yang kontextual. 
Menurut nilai utama dalam hal kepemimpinan, laki-laki yang memimpin perempuan, maka dalam sebuah rumah tangga, laki-lakilah penanggung jawab secara keseluruhan. Termasuklah di sini antara lain tanggung jawab memberi nafkah anak isteri. Dan menurut ketentuan hukum Islam, pihak isteri mempunyai hak penuh atas hak miliknya yang dibawa bersuami. Artinya sang isteri mempunyai kebebasan penuh dalam mengelola harta miliknya itu tanpa persetujuan suami. Berbeda misalnya dengan hukum barat, sang isteri tidak bebas untuk mengelola sendiri hak milik yang dibawanya dalam perkawinan. Sang isteri harus minta persetujuan suaminya. Kesimpulannya, laki-laki sebagai penanggung jawab rumah tangga, isteri yang mempunyai hak penuh atas pengelolaan hak milik yang dibawanya, dengan perbandingan dua untuk laki-laki satu untuk perempuan, maka tercapailah keadilan, menempatkan hal itu pada tempatnya. 
Lalu bagaimana dengan permasalahan yang pernah dikemukakan Munawir Syadzali di Jawa Tengah itu? Jawabannya itu adalah distorsi. Masyarakat yang menyimpang itu harus diluruskan dengan Social Engineering, yang mekanismenya utamanya dalam bidang hukum, peraturan perundang-undangan. Sekadar tambahan informasi, Social Engineering, adalah suatu upaya mengubah kondisi masyarakat agar sesuai dengan tatanan yang diinginkan. Dan ini jangan dikacaukan dengan Societal Engineering, yaitu engineering yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Jadi Social Engineering termasuk dalam ruang lingkup Ilmu-Ilmu sosial, sedangkan Societal Engineering termasuk dalam ilmu-ilmu keteknikan (engineering). WaLlahu a'lamu bishshswab. 

No comments:

Post a Comment

ini komentar