Air Bah, Erosi dan Sedekah
Masih ingat Daur Hidrologik? Air bah dan erosi ini berhubungan dengan
daur tersebut. Kalau dalam pembicaraan mengenai penaburan awan, bagian daur itu
menyangkut perjalanan air dari awan turun ke bumi, maka dalam hal ini bagian
daur itu menyangkut perjalanan air di atas permukaan bumi. Pembagian kwantitas
air yang masuk ke dalam tanah dengan air yang di atas pemukaan tanah, tergantung
dari keadaan permukaan bumi. Jika lapisan tanah tebal dan banyak akar-akar
pepohonan di dalamnya, lebih banyak air yang masuk meresap ketimbang air yang
tertinggal di atas permukaan tanah.
Apabila air di atas tanah sedikit yang tertinggal, air yang mengumpul di
sungai-sungai mengalir dengan jinak. Tetapi sebaliknya apabila lapisan tanah
tipis, lagi pula di dalamnya tidak terdapat akar pepohonan yang mampu meresapkan
dan menahan air, maka air yang tertinggal di atas permukaan bumi menjadi banyak.
Jika terjadi hal yang demikian itu, air tidak hanya menempati lekuk dan alur
sungai, melainkan melimpah dan menyapu secara menyeluruh. Itulah yang disebut
banjir. Pada dataran rendah di hilir, banjir itu berwujud genangan air dan di
udik di tempat yang miring utamanya di lereng-lereng gunung, air itu mengalir
menjadi menjadi ganas, dan itulah yang disebut air bah. Jadi supaya hujan itu
membawa Rahmat Allah, lapisan tanah harus tebal, dan harus banyak akar pepohonan
di dalamnya. Itulah gunanya hutan. Daun-daunan yang gugur menjadi busuk menjadi
bunga-tanah. Itu mempertebal lapisan tanah. Hutan yang lebat menghasilkan
bunga-tanah yang tebal dan banyak akar di dalamnya. Walhasil hutan lebat
mencegah banjir. Itu di udik, di pegunungan yang berhutan.
Bagaimana kalau di hilir? Pada umumnya di hilir terdapat hutan jenis
lain, hutan rekayasa, hutan yang dibangun oleh teknologi, Yaitu hutan yang bukan
dari pepohonan, melainkan hutan dari bangunan-bangunan menjulang, dengan
akar-akarnya berupa tiang-tiang pancang dari beton, ataupun dari jenis cakar
ayam.
Permukaan tanah ditutupi pelataran-pelataran parker, jalan-jalan
beraspal, ataupun trotoar dari batu. Apa hasilnya jika dilihat dari segi
berwawasan lingkungan? Pembagian air hujan yang meresap ke dalam tanah dengan
yang tertinggal di atas permukaan tanah, sebaliknya dari di udik. Lebih banyak
di atas tanah, karena air tidak diberi kesempatan masuk meresap ke dalam.
Artinya kalau turun hujan lebat akan terjadi banjir. Maka digalilah kanal,
seperti misalnya di kota Makassar ini untuk menanggulangi luapan air hujan yang
disebut banjir itu. Hasilnya? Tergantung
kalkulasi, hitung menghitung dari para pakar berdasarkan perkiraan curah hujan yang langsung dan banjir kiriman hujan dari hulu dan terobosan air pasang dari laut. Kalau Allah murka kepada penduduk kota karena terlalu banyak melakukan maksiat, maka Allah akan menurunkan hujan lebat di hulu bersamaan dengan hujan lebat di kota, bersamaan dengan pasangnya air laut di bulan penuh, maka kanal yang digali itu percayalah tidak akan mampu menampung limpahan air itu. Tidak banjirpun kalau air kanal tidak mengalir dengan baik, akan menjadi semacam laut hitam, seperti di belakang salah satu panti asuhan di Pannampu. Istilah laut hitam ini saya pinjam dari istilah sindiran penduduk di sekitar tempat itu.
kalkulasi, hitung menghitung dari para pakar berdasarkan perkiraan curah hujan yang langsung dan banjir kiriman hujan dari hulu dan terobosan air pasang dari laut. Kalau Allah murka kepada penduduk kota karena terlalu banyak melakukan maksiat, maka Allah akan menurunkan hujan lebat di hulu bersamaan dengan hujan lebat di kota, bersamaan dengan pasangnya air laut di bulan penuh, maka kanal yang digali itu percayalah tidak akan mampu menampung limpahan air itu. Tidak banjirpun kalau air kanal tidak mengalir dengan baik, akan menjadi semacam laut hitam, seperti di belakang salah satu panti asuhan di Pannampu. Istilah laut hitam ini saya pinjam dari istilah sindiran penduduk di sekitar tempat itu.
Jadi
dilihat dari segi berwawasan lingkungan, maka di udik harus lebat hutan
pepohonan, tetapi sebaliknya di hilir harus dikurangi pertumbuhan hutan rekayasa
teknologi. Kalau di udik hutan-hutan dibabat secara liar apakah itu berupa lahan
perkebunan secara liar, ataupun dibabat dengan sah melalui jalur hukum berupa
HPH untuk industri kayu, maka hasilnya adalah banjir di udik dan banjir di
hilir.
***
Erosi berhubungan dengan banjir yang berwujud air bah di udik.
Gunung-gunung yang hampir gundul, menghampiri bahkan sudah mencapai keadaan
kritis, keadaan pemukaan bumi menyedihkan. Bunga-tanah berkurang, akar-akar
berkurang, akibatnya lereng gunung dikikis air yang mengalir. Pengikisan tanah
oleh air mengalir dengan ganas inilah yang disebut erosi. Pengikisan yang terus
menerus menghabiskan lapisan tanah di lereng-lereng gunung. Tanah-tanah ini
dibawa air ke sungai-sungai yang menyebabkan pendangkalan sungai-sungai di
hilir.
Di
dalam Al Quran pengikisan air yang menggundulkan permukaan bumi dan yang
tertinggal hanyalah batu karang yang licin, dinformasikan sebagai bahan kiasan.
Firman Allah menyangkut erosi itu tidaklah difokuskan benar kepada pengikisan
tanah, melainkan dikiaskan kepada erosi amal sedakah. Adapun erosi pada
permukaan bumi itu hanyalah sekadar berupa penjelasan bandingan dari erosi amal
sedekah seseorang.
Berirman Allah dalam S. Albaqarah, 264: Yaa ayyuha lladziena aamanuw laa
tubthiluw shadaqaatikum bi lmanni wa l-adzaa kalladzie yunfiqu maalahu riyaa
nnaasi wa laa yu'minu bi Llaahi wa lyauwmi l-aakhiri, famatsaluhu kamatsali
shafwaanin 'alayhi turaabun fa ashaabahu waabilun fa tarakahu shaldan laa
yuqdiruwna 'alaa syayin mimmaa kasabuw artinya, Hai orang-orang beriman,
anganlah kamu batalkan amal sedekahmu, dengan cara menyiarkan (kepada umum) dan
melukai perasaan (yang diberi sedekah), seperti cara menyumbang dengan
penampilan (riya) dari orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari
Akhirat. Adapun cara yang demikian itu ibarat batu karang licin yang di atasnya
terdapat lapisan tanah diguyur oleh curahan hujan yang lebat yang memberikan
bekas tanah hanyut dan tinggallah batu karang licin yang gundul, maka demikian
pulalah keadaan amal sedekahnya hilang tidak ada yang tinggal.
Sedikit catatan tambahan. Adapun kebiasaan mengumumkan di masjid-masjid
nama-nama penyumbang masjid menjelang shalat Jum'at, itu bukanlah termasuk riya,
karena tujuannya bukanlah untuk penampilan, melainkan sebagai
pertanggung-jawaban keuangan dari panitia atau pengelola masjid. Lain hal
misalnya ada Dharma Wanita yang menyumbang panti asuhan, kemudian di-shooting
untuk disiarkan di TV, itulah yang termasuk pengertian al mannu,
menyebut-nyebut, menyiarkan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
***
Makassar, 9 Agustus 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
042. Setengah Gelas Kopi, Proses dan Hasil Akhir
Ada
ciri khas yang menunjukkan perbedaan antara eksakta dengan non-eksakta. Di
bidang eksakta apabila A tidak sama dengan B, jika A benar, maka B mesti salah.
Akan tetapi dalam bidang non-eksakta jika A tidak sama dengan B, apabila A
benar, maka B belum tentu salah. Contohnya: Menanak beras dengan menanak nasi.
Itu adalah ungkapan dalam berbahasa, jadi termasuk yang non-eksakta. Sehingga
jika menanak beras yang betul, maka menanak nasi belum tentu salah. Ungkapan di
atas itu kedua-duanya benar. Jika orientasinya proses, maka yang relevan adalah
menanak beras, yaitu membuat supaya beras itu dapat dimakan dengan jalan
menanak. Akan tetapi jika orientasinya adalah output, hasil yang ingin dicapai,
objective, maka yang relevan adalah menanak nasi.
Setengah gelas air kopi. Kita dapat katakan, bahwa gelas itu setengah
penuh. Juga tidak salah jika dikatakan setengah kosong. Tetapi dari segi proses
itu berbeda. Apabila pada mulanya gelas itu kosong kemudian diisi kopi sampai
setengahnya, maka itu adalah setengah penuh. Lain halnya jika pada mulanya gelas
itu penuh dengan kopi, kemudian kopinya diminum setengahnya, maka gelas itu
setengah kosong. Walaupun proses berbeda, namun hasil akhir sama. Jadi jika
orientasinya adalah proses, maka setengah penuh tidak sama dengan setengah
kosong. Gelas dengan setengah penuh dengan kopi, bukan sisa. Tetapi gelas yang
setengah kosong, berarti kopi yang di dalamnya adalah sisa. Dalam hal yang
terakhir ini umumnya mubazzir, kopi itu dibuang, karena umumnya orang tidak mau
minum sisa. Sedangkan kalau orientasinya pada hasil akhir, output, setengah
penuh dengan setengah kosong tidak berbeda. Kedua umgkapan itu disederhanakan
menjadi setengah gelas kopi.
Ada
pepatah Belanda yang berbunyi: Het gaat niet om de knikker, maar om 't spel.
Bukan masalah kelerengnya, melainkan cara mainnya. Pepatah itu berorientasi pada
proses. Namun dalam MBO, Management By Objectives, yang penting adalah hasil
akhir, objective. Proses tidak begitu penting. Cara mencapainya diserahkan
kepada pelaksana. Dan tentu ini dapat saja menjurus kepada yang negatif, yaitu
prinsip Machiavelli: Tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam hal Undang-Undang No.14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
kelihatannya lembaga-lembaga pembuat undang-undang tersebut, yaitu lembaga
legislatif dan eksekutif, nampaknya berorientasi utamanya kepada objective,
hasil yang ingin dicapai, pokoknya tujuan UU Lantas itu baik. Kalau
dipikir-pikir, kelihatannya pola pikir ini logik. Pembuatan undang-undang itu,
tidak perlu berorientasi pada proses. Mengapa? Bukankah melalui pemilu aspirasi
rakyat diwakilkan kepada para wakil yang dipilihnya? Apapun produk lembaga hasil
pilihan rakyat itu logikanya mesti diterima oleh rakyat. Kenapa mesti
ribut-ribut. Mestinya yang ribut itu adalah golput, yang merasa aspirasinya
tidak diwakili oleh lembaga hasil pemilu itu, karena mereka memang tidak ikut
memilih. Yang bukan golput, logikanya ya diam saja, tidak perlu ribut-ribut.
Namun undang-undang itu bukan bidang eksakta, melainkan non-eksakta. Kalau dalam
bidang eksakta, maka itu tunduk pada hukum-hukum logika. Di bidang non-eksakta
hukum-hukum logika tidak berlaku secara umum. Buktinya? Ya apa yang dibahas di
atas itu. Sekiranya hukum logika itu berlaku secara umum dalam bidang
non-eksakta, maka orang-orang yang ikut memilih dalam pemilu tidak akan ribut.
Kenyataannya ribut, jadi logika di sini tidak berlaku.
Oleh
sebab itu proses sama pentingnya dengan hasil akhir. Sudah ada contoh
sebelumnya, yaitu Undang-Undang Peradilan Agama. Sebelum diundangkan, artinya
pada waktu masih dalam taraf rancangan, dilempar dahulu secara terbuka kepada
masyarakat. Masyarakat ikut dilibatkan dalam proses. Seperti apa yang dilakukan
oleh Rasulullah dalam persiapan atau prolog Perang Uhud. Masyarakat Madinah
diikut sertakan dalam tahapan proses. Seharusnya proses pembentukan UU Lantas
ini bercermin pada pembentukan Undang-Undang Peradilan Agama. Sudah ada cermin
proses yang bagus. Mengapa mesti lagi buat terobosan baru, diputuskan secara
tertutup dahulu, ada hasil baru dibuka. Nah, ributlah orang. Untung saja menurut
para pakar hukum masih ada reserve, yaitu Peraturan Pemerintah. Hal-hal yang
masih kurang dalam undang-undang itu masih dapat ditanggulangi dalam Peraturan
Pemerintah. Syukurlah, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerinah Pengganti
Undang Undang No.1, tahun 1992, untuk menunda pelaksanaan UU Lantas itu selama
setahun. Itu berarti bahwa pemerintah bersikap terbuka dalam proses pembuatan
Peraturan Pemerintah yang sementara digodok itu. Sayangnya proses pembuatan UU
Lantas dengan proses tertutup itu telah mengeluarkan energi, yang semestinya
tidak perlu dikeluarkan, tidak efisien. Sama halnya dengan hanya melihat hasil
akhir, kopi setengah gelas. Belakangan ketahuan bahwa setengah gelas itu adalah
setengah kosong, artinya setengahnya habis diminum. Dan itu sisa, lalu kopinya
dibuang, jadi tidak efisien. Tetapi tentu saja ini lebih baik dari: Sesal
kemudian tidak berguna.
Jadi
pada pokoknya, dua-duanya penting. Materi keputusan sebagai tujuan penting, dan
juga proses tidak kurang pentingnya. Dalam Al Quran hal tersebut jelas
disebutkan. Misalnya materi tentang larangan makan harta orang dengan batil.
Bagaimana proses makan harta orang itu? Yakni dengan proses membawanya ke dalam
sidang pengadilan, ke muka hakim, yang dewasa ini sudah mempunyai kecenderungan
dalam taraf mendekati globalisasi, dengan ungkapan mafia peradilan. Sekadar
data, di Indonesia saja menurut Menkeh Ismail Saleh, sudah 266 hakim nakal yang
ditindak.
Firman Allah: Wa laa ta'kuluw amwalakum baynakum bi lbaathili, wa tudluw
bihaa ila lhukkaami lita'kuluw farieqan min amwaali nnaasi bi l-ismi, wa antum
ta'lamuwn, artinya: Dan janganlah kamu makan harta orang di antaramu dengan
batil, yaitu dengan membawanya di depan para hakim, dan dengan demikian dapatlah
kamu makan harta orang lain dengan berdosa, padahal kamu mengetahuinya (S. Al
Baqarah, 188). WaLlahu a'lamu bishshawab.
***
Makassar, 16 Agustus 1992 [H.Muh. Nur Abdurrahman]
043. Memanfaatkan Kesempatan Sekilas
Ungkapan judul di atas jauh dari pengertian yang mempunyai konotasi yang
negatif: mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Ungkapan judul di atas tidak
menjurus kepada konotasi yang negatif itu, melainkan ke arah yang positif, yang
baik-baik.
Masih ingat pertemuan tiga tokoh di telaga Mawang? Lu'muka ri Antang
attunu kaluru' battu ri saraungna (menyulut rokok pada titik air tudungnya),
Datoka ri Pa'gentungang attunu kaluru' ri kila' ta'bebea (menyulut rokok pada
kilat yang menyambar) dan Tuanta Salamaka attunu kaluru' irawa je'ne ri
tamparang la'bayya Mawang (menyulut rokok ke dalam air telaga Mawang). Di balik
cerita yang berbungkus mistik itu tersirat ibarat sebuah pesan yang penting dari
pengarang "Pau-pauanna Tuanta Salamaka (Hikayat Tuan nan Selamat). Datoka ri
Pa'gentungang adalah personifikasi seorang atau sekelompok orang, atau suatu
bangsa yang sigap memanfaatkan sekilas peristiwa yang terlintas di depannya.
Bangsa Indonesia telah memanfaatkan sekilas peristiwa kevakuman kekuasaan untuk
memaklumkan proklamasi kemerdekaan.
Dalam skala yang kecil, yaitu perorangan Sir Isaac Newton tergolong di
dalamnya. Dia memanfaatkan sekilas peristiwa jatuhnya appel dari pohonnya. Dia
dapat menangkap makna appel yang jatuh itu dari segi fisika. Appel jatuh karena
ditarik bumi. Bumi dan semua benda mempunyai kekuatan menarik. Inilah pangkal
mula terungkapnya salah satu TaqdiruLlah yang mengontrol alam semesta:
gravitasi.
Bahkan ada seorang lain memanfaatkan sekilas peristiwa yang bukan nyata,
melainkan dari mimpi. Jangan dikacaukan dengan penafsiran mimpi untuk menebak
nomor perjudian SDSB. Orang itu bernama Singer, seorang tukang jahit. Menjelang
akhir tahun bertumpuk pesanan jahitan untuk keperluan tahun baru. Dalam keadaan
pusing bagaimana ia dapat menyelesaikan pesanan jahitan yang bertumpuk itu, ia
bermimpi dikejar-kejar orang yang mengancamnya dengan tombak. Dalam mimpinya ia
ingat betul melihat ujung tombak itu berlubang. Setelah terjaga esok paginya ia
menangkap makna ujung tombak yang berlubang itu. Singer lalu membuat jarum bukan
pada pangkalnya seperti yang lazim, melainkan pada ujungnya yang runcing seperti
tombak berlubang itu. Dan inilah kisah awal mula mesin jahit Singer.
Sebenarnya setiap orang pernah mengalami pemanfaatan sekilas peristiwa
ini sekurang-kurangnya untuk dirinya sendiri, di luar bidang bisnis dan politik,
seperti Newton dan Singer itu. Saya juga mempunyai pengalaman memanfaatkan
sekilas peristiwa dalam bidang pemahaman ayat Al Quran, untuk memenuhi hasrat
kepuasan intektual.
Di
dalam kehidupan beragama ketenteraman batin dan kepuasan intelektual keduanya
merupakan satu kesatuan. Bahkan, ketenteraman batin tidak mungkin akan tercapai
puncaknya, jika kepuasan intelektual tidak terpenuhi, karena manusia itu adalah
makhluk berpikir. Pribadi yang telah mencapai puncak ketenteraman batin disebut
muthmainnah. Dialog antara Allah dengan Nabi Ibrahim AS memberikan gambaran yang
jelas tentang ketenteraman qalbu harus didahului oleh terpenuhinya hasrat
intelektual itu.
Wa
idz qaala Ibrahiemu Rabbi arinie kayfa tuhyi lmautaa, qaala awalam tu'min, qaala
balaa walaakin liyuthmainna qalbie artinya, Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata:
"Wahai Maha Pengatur, perlihatkan padaku bagaimana Engkau menghidupkan yang
mati". (Allah) berkata: "apakah engkau tidak percaya?" Berkata (Ibrahim): "Saya
percaya, hanya saja untuk menenteramkan qalbuku".
Dalam ayat di atas pernyataan Ibrahim "bagaimana Engkau menghiduupkan yang mati" adalah tuntutan hasrat kepuasan intelektualnya untuk mendapatkan ketenteraman (liyuthmainna) qalbunya. Orang yang telah mendapatkan ketenteraman qalbu melalui pemenuhan hasrat intelektual disebut "rusyd".
Dalam ayat di atas pernyataan Ibrahim "bagaimana Engkau menghiduupkan yang mati" adalah tuntutan hasrat kepuasan intelektualnya untuk mendapatkan ketenteraman (liyuthmainna) qalbunya. Orang yang telah mendapatkan ketenteraman qalbu melalui pemenuhan hasrat intelektual disebut "rusyd".
***
Kembali kepada hal cerita tentang pengalaman saya memanfaatkan sekilas
peristiwa dalam bidang pemahaman ayat Al Quran. Ada sebuah ayat yang
penjelasannya dalam kitab-kitab tafsir yang sempat saya baca, belum memenuhi
betul hasrat kepuasan inteketual saya. Yaitu S. Luqman, 29, yang bunyinya
demikian: "Alam tara annaLlaaha yuwliju llayla fi nnahaari wa yuwliju nnahaara
fi llayli", artinya: Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah
memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Ada tafsir
yang menjelaskan makna ayat itu dengan ayat pula: "Yukawwiru llayla 'ala
nnahaari, wa yukawwiru nnahaara 'ala llayli." Kata yukawwiru dalam ayat di atas
asal katanya kawwara artinya menggulung sorban. Jadi kata kuncinya menggulung.
Maka arti ayat di atas itu: (Allah) Menggulung malam atas siang dan menggulung
siang atas malam (S. Az Zumar 5). Jadi tafsirnya adalah: Terjadinya siang dan
malam karena proses menggulung. Kita manusia yang ada di permukaan bumi bergerak
menggulung mengikuti gerak perpusingan bumi pada sumbunya. Pada waktu kita
berada pada permukaan bumi yang separuh kena cahaya matahari, maka itulah siang.
Dan sebaliknya pada waktu kita berada pada separuh permukaan bumi yang gelap
karena tidak kena cahaya matahari, itulah malam.
Tafsir itu memang memenuhi hasrat kepuasan inteletual. Namu hanya untuk
penjelasan S. Az Zumar 5 saja. Agak sukar kita terima untuk dijadikan pula
penjelasan bagi S. Luqman 29 di atas itu. Tidak ada jembatan kesinambungan
antara pengertian menggulung siang atas malam dengan memasukkan siang ke dalam
malam. Artinya ada missing link diantara kedua pengertian menggulung dan
memasukkan itu.
Akhirnya saya memahami dengan puas makna ayat dalam S.Luqman 29 itu. Dan
prosesnya sangat sederhana. Artinya bukan dengan jalan mengkaji kitab-kitab
tafsir. Melainkan dengan memanfaatkan sekilas peristiwa, yang pada waktu itu
saya dalam keadaan "relax". Pada musim panas di negeri Belanda tahun 1973,
seorang Belanda manula, yang sama-sama menempati gedung pemukiman H.T.O. di Den
Haag, menyapa saya dengan ucapan goeden avond yang berarti malam yang baik, atau
selamat malam. Pada hal waktu itu matahari masih tinggi di atas ufuk, sekitar 30
derajat. Maklumlah di musim panas siang lebih panjang dari malam. Orang Belanda
itu menyapa saya selamat malam pada hal hari masih siang. Buat saya inilah
penjelasan memasukkan siang pada malam.
Ya,
selama ini sudah lama saya tahu dalam musim panas di daerah yang 4-musim, siang
lebih panjang dari malam. Tetapi tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bahwa
inilah penjelasan S. Luqman 29. Sangat sederhana penjelasannya, dan memenuhi
hasrat kepuasan intelektual saya. Sama dengan Newton, tentu sudah lama ia pernah
menyaksikan buah yang jatuh, tetapi baru waktu berbaring bersantai menyaksikan
appel jatuh, terus terlintas dipikirannya sebagai penjelasan tentang penyebab
appel itu jatuh. Yaitu kekuatan menarik bumi, gravitasi.
Ya,
menyulut rokok pada kilat yang berkilas, seperti yang dilakukan oleh Datoka ri
Pa'gentungang dalam "Pau-pauanna Tuanta Salamaka (Hikayat Tuan nan Selamat).
Mendapatkan jawaban pertanyaan dalam keadaan relax, yang telah dipikrkan selama
ini. WaLlahu a'lamu bishshawab.
***
Makassar, 23 Agustus 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
044. Kemanusiaan, Kebangsaan dan Keetnikan
Baiklah kita mulai dengan yang ringan-ringan dahulu, yaitu cerita silat.
Tokohnya seorang pendekar pedang yang buta Zato Ichi. Film ini terdiri atas
beberapa seri. Ilmu silat pendekar buta ini lain dari yang lain. Caranya
memegang pedang seperti memegang pisau, lebih banyak menusuk ketimbang menebas.
Dalam salah satu seri Zato Ichi berkerja sama dengan dengan seorang samurai,
yang tentu saja pendekar pedang juga, ya pendekar samurai. Keduanya mencari
seorang pelukis yang diculik oleh sekelompok pengacau. Walaupun keduanya bekerja
sama tetapi dengan motif sendiri-sendiri. Motivasi Zato Ichi adalah kemanusiaan,
mempertemukan seorang balita dengan ayahnya, si pelukis itu. Balita itu anak
yatim, ibunya meninggal, ayahnya diculik. Pendekar samurai itu adalah petugas
kerajaan, mencari pelukis itu karena melanggar ketertiban. Lukisannya yang porno
menyebar diperjual-belikan.
Setelah keduanya berhasil melumpuhkan kelompok pengacau itu, terjadi
pertikaian antara Zato Ichi dengan petugas itu. Zato Ichi ingin agar pelukis itu
bebas. Alasannya ia melukis yang porno karena dipaksa. Lagi pula ada anaknya
yang masih balita yang mesti dipelihara. Petugas kerajaan ingin menangkap
pelukis itu untuk diadili, karena sudah melanggar hukum. Pertikaian diselesaikan
dengan pedang. Akhirnya petugas kerajaan mengalah, walaupun keduanya sama-sama
unggul bermain pedang.
Dalam cerita silat itu terjadi pertentangan antara kemanusiaan dengan
rule of law, bagian dari disiplin nasional, salah satu unsur dari kesadaran
berbangsa. Ringkasnya pengarang mempertentangkan kemanusiaan dengan kebangsaan,
walaupun aklhirnya pengarang memenangkan kemanusiaan.
Sebuah cerita lagi, Taras Bulba, seorang pemimpin dan panglima perang
dari etnik Kazak. Yang berperang untuk membebaskan etniknya dari Kerajaan
Polandia. Cerita ini difokuskan pada pengepungan sebuah benteng Polandia oleh
Taras Bulba. Seperti lazimnya waktu itu benteng tidak hanya dihuni oleh para
serdadu, tetapi juga orang-orang sipil bermukim di dalamnya. Anak
Taras
Bulba yang ditugaskan menyusup ke dalam benteng tidak tahan melihat penderitaan, anak-anak, perempuan, orang-orang jompo yang memperebutkan tikus yang baru berhasil ditangkap, untuk dimakan. Mereka itu kelaparan, korban perang, yang mereka tidak tahu menahu tentang perang itu. Lalu tanpa memberitahu ayahnya, ia menghalau sekawan ternak mendekati benteng keesokan harinya. Orang-orang Polandia di dalam benteng berhasil mendapatkan ternak potong itu. Akhir cerita Taras Bulba mengeksekusi anaknya karena pengkhianatan. Dalam cerita Taras Bulba ini kemanusiaan dipertentangkan dengan keetnikan, dan yang dimenangkan adalah keetnikan.
Bulba yang ditugaskan menyusup ke dalam benteng tidak tahan melihat penderitaan, anak-anak, perempuan, orang-orang jompo yang memperebutkan tikus yang baru berhasil ditangkap, untuk dimakan. Mereka itu kelaparan, korban perang, yang mereka tidak tahu menahu tentang perang itu. Lalu tanpa memberitahu ayahnya, ia menghalau sekawan ternak mendekati benteng keesokan harinya. Orang-orang Polandia di dalam benteng berhasil mendapatkan ternak potong itu. Akhir cerita Taras Bulba mengeksekusi anaknya karena pengkhianatan. Dalam cerita Taras Bulba ini kemanusiaan dipertentangkan dengan keetnikan, dan yang dimenangkan adalah keetnikan.
Dalam cerita Ramayana lain lagi. Rahwana menculik Shita, isteri Rama.
Terjadi perang. Adik Rahwana yang bernama Kumbakarna, walaupun tahu dan mengakui
kakaknya salah, ia tetap membela kakaknya. Prinsip Kumbakarna, right or wrong my
country. Tidak sama dengan adik yang paling bungsu Wibiksana. Ia mengkhianati
kakaknya dan memihak Rama. Ya untuk membela keadilan dan kebenaran, unsur
penting dalam kemanusiaan. Dalam Ramayana ini kemanusiaan dipertentangkan dengan
kebangsaan.
Semestinya ketiga pengertian dalam judul di atas berjenjang turun
bertangga naik. Ruang lingkup dan kedudukan kemanusiaan harus lebih luas dan
lebih tinggi dari kebangsaan. Demikian pula kebangsaan harus lebih luas dan
lebih tinggi dari keetnikan. Inilah yang disebut berjenjang turun. Sebaliknya
keetnikan tidak boleh memecah kebangsaan dan demikian pula kebangsaan tidak
boleh menginjak-injak kemanusiaan. Inilah yang disebut dengan bertangga
naik.
Dalam Dasar Negara Republik Indonesia, Kemanusiaan yang adil dan beradab
kedudukaannya lebih tinggi dari Persatuan Indonesia. Nilai kemanusiaan lebih
tinggi dari nilai kebangsaan. Kebanggaan berbangsa dan bertanah air Indonesia
tidak boleh melampaui batas daerah ruang lingkup nilai kemanusiaan, bahwa
bangsa-bangsa di dunia ini bersaudara, bahwa bangsa Indonesia tidak lebih dan
tidak kurang dari bangsa lain. Selanjutnya nilai keetnikan diterima sebagai
suatu kenyataan. Tetapi bukan keetnikan yang liar, melainkan keetnikan dalam
ruang lingkup kebangsaan, Persatuan Indonesia. Nilai keetnikan itu dinyatakan
dalam ungkapan: Binneka Tunggal Ika. Yang dalam nilai budaya etnik Makassar
a'bulo sibatang, membuluh sebatang. Ruas-ruas dalam sebatang buluh melambangkan
etnik yang berbeda-beda, tetapi merupakan sebuah kesatuan dalam sebatang buluh.
Atau dalam ungkapan etnik Selayar: a'munte sibatu, melimau sebiji. Biji-biji
limau melambangkan etnik-etnik yang berdempet diikat kesatuan oleh kulit
limau.
Kalau dalam ketiga cerita di atas itu terjadi pertentangan antara
kemanusiaan, kebangsan dan keetnikan, ya itu hanya dalam cerita. Tapi dalam
zaman modern ini, pertentangan itu betul-betul dalam kenyataan. Etnik Serbia
menginjak-injak kemanusiaan, dan celakanya pula yang menjadi korban keganasan
etnik Serbia ini adalah ummat Islam Bosnia-Herzegovina. Hitler, Fuehrer Nazi
Jerman, menempatkan kebangsaan di atas kemanusiaan dengan kalimat terkenal:
Deutchland ueber alles. Hitler ini menginjak-injak kemanusiaan dan korbannya
adalah orang-orang Yahudi yang hidup secara eksklusif, yang mempunyai kebanggaan
etnik, yang menganggap etniknya adalah etnik pilihan Tuhan.
Semestinya Yugoslavia (baca: Serbia Monte Negro) tidak perlu diundang
untuk menghadiri KTT GNB, yang pada mulanya menyatakan tidak akan ikut KTT GNB,
yang dengan tiba-tiba pula kemudian menyatakan akan menghadirinya juga. Alasan
bahwa negara ini mempunyai hak diundang karena masih anggota GNB, sebenarnya
bertolak dari asumsi yang lemah. Hak itu didapatkan dengan memenuhi kewajiban.
Yugoslavia (baca: Serbia- Monte Negro) telah lalai melakukan kewajiban
kemanusiaan, itu berarti dia sendiri telah menggugurkan haknya.
Akhirnya ada suatu catatan sejarah yang kiranya sukar untuk dilampaui
begitu saja. Yaitu pidato Bung Karno dalam forum Sidang Majelis Umum PBB pada 1
September 1960, yang merupakan picu terbentuknya GNB setahun kemudian. Pidato
Bung Karno itu berjudul To build the world anew. Dalam permulaan pidatonya itu
Bung Karno mengutip Firman Allah, S. Al Hjuraat, 13:
-- Yaa ayyuhanaas innaa khalaqnaakum min zakarin wa untsaa wa ja'alnaakum syu'uwban wa qabaaila lita'aarafuw inna akramakum 'inda Llaahi atqaakum,....
-- Yaa ayyuhanaas innaa khalaqnaakum min zakarin wa untsaa wa ja'alnaakum syu'uwban wa qabaaila lita'aarafuw inna akramakum 'inda Llaahi atqaakum,....
artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan
perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling
mengenal. Bahwa sesungghnya yang paling mulia di antaramu ialah mereka yang
lebih taqwa,....
S.
Al Hjuraat, 13 menjelaskan ansinitas bertangga turun, paling atas nilai
Ketaqwaan, turun kebawah nilai Kemanusiaan, turun ke bawah nilai Kebangsaan,
turun ke bawah nilai Keetnikan.
Dua
hari lagi KTT GNB akan dibuka di Jakarta. Mudah-mudahan Allah berkenan, sehingga
membawa manfaat utamanya untuk kemanusiaan. WaLlahu a'lamu
bishshawab.
***
Makassar, 30 Agustus 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
045. Kemasan, Kejiwaan dan Sekat
Obat-obat paten lebih mahal dari obat-obat generik. Penyebabnya yang
utama adalah kemasan. Dengan kemasan ongkos produksi bertambah, sehingga harga
jual lebih tinggi, mahal. Demikian pula barang dagangan yang lain, kemasan
dibuat untuk menarik pembeli. Rumah-rumah pelacuran dikemas dengan label panti
hiburan, untuk mendapatkan izin. Dalam hal ini ada istilah yang khas, pelacuran
berselubung.
Itulah yang trjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yang asli acapkali
sengaja disembunyikan di balik kemasan. Oleh sebab itu perlu betul berhati-hati
dalam hidup ini. Ada nasihat orang-orang tua dahulu, yang masih relevan hingga
kini. Kalau ingin melihat keaslian wajah seorang gadis, lihatlah pada waktu baru
bangun tidur, pada waktu sedang menuju sumur atau pancuran untuk
mandi.
Ilmu
jiwa menurut Al Quran, yang tentu saja berbeda dengan ilmu jiwa menurut Sigmund
Freud, atau yang lain-lain, membuat klasifikasi kejiwaan dalam tiga tingkatan.
Tingkat yang paling rendah adalah nafsun ammarah (S.Yusuf,53), tingkat menengah
nafsun lawwamah (S.Al Qiyamah,2) dan tingkat tertinggi adalah nafsun muthmainnah
(S.Al Fajr 27). Adapun nafsun ammarah adalah suatu kejiwaan (nafsun) yang
bringas, yang primitif, yang merusak, yang umumnya menyangkut kepentingan
biologis. Nafsun ammarah inilah yang menyebabkan malaikat protes ketika Allah
bersabda kepada para malaikat: innie jaa'ilun fi l-ardhi khalifah, sesungguhnya
akan kujadikan pengelola di atas bumi. Maka para malikat dalam nada protes
menjawab: ataj'alu fiehaa, man yufsidu fiehaa, wa yasfiqu ddimaa, apakah Engkau
menjadikan (manusia sebagai khalifah) di atasnya, yang merusak dan menumpahkan
darah?
Dalam kehidupan sehari-hari kejiwaan jenis terendah ini dikenal dengan
ungkapan hidup untuk makan. Dalam bahasa Indonesia istilah nafsu mempunyai
konotasi yang negatif. Asal muasal konotasi negatif ini dari kejiwaan nafsun
ammarah tersebut. Menurut bahasa Al Quran pengertian nafsun tidaklah berkonotasi
negatif. Nafsun lawwamah adalah suatu kejiwaan yang dapat mengontrol diri untuk
melawan, meredam, mengalahkan nafsun ammarah. Seorang pribadi dengan kejiwaan
lawwamah ini, tidak mencuri bukan karena takut kepada polisi, melainkan karena
kesadaran bahwa mencuri itu perbuatan jahat. Nasun lawwamah adalah sikap
kejiwaan yang telah penuh dengan kesadaran. Adapun tingkat kejiwaaan yang
tertinggi, nafsun muthmainnah, adalah suatu pribadi dengan sikap kejiwaan yang
tenang, ibarat laut yang dalam. Nafsun ammarah sudah tidak dapat menembusnya ke
atas.
Nafsun ammarah tidak boleh diberi lahan untuk bertumbuh. Harus diciptakan
lingkungan yang tidak memungkinkan nafsun ammarah ini bergerak. Akan tetapi
dalam kehidupan kampus malahan nafsun ammarah ini diberi lahan untuk bergerak.
Yaitu dikemas dengan apa yang kita kenal dengan Mapram, Opspek. Adapun kemasan
yang berwujud opspek ini tampaknya bagus, akan tetapi apa yang ada dalam kemasan
adalah lahan untuk nafsun ammarah, kebringasan, keprimitifan.
Setiap orang, setiap kelompok, mempunyai kebanggaan tentang identitas kelompoknya. Apakah kelompok itu suatu bangsa, akan mempunyai kebanggan nasional. Apakah itu kelompok pakar, akan mempunyai kebanggaan disiplin ilmu. Namun kebanggaan itu, apakah itu kebanggaan nasional, ataupun kebanggaan disiplin ilmu, jangan sampai kebanggaan itu menjadi sekat. Kebanggaan nasional tidak boleh menjadi sekat di antara bangsa-bangsa, karena bangsa-bangsa itu bersaudara dalam ruang lingkup kemanusian. Demikian pula kebanggaan disiplin ilmu itu tidak boleh menjadi sekat di antara disiplin-disiplin ilmu, karena disiplin-disiplin ilmu itu bersaudara dalam ruang lingkup keilmuan.
Dalam pembangunan memang penting iptek. Tetapi dengan iptek saja tujuan pembangunan tidak akan dicapai. Sebab yang dibangun bukanlah melulu bangunan-bangunan fisik. Adapun bangunan-bangunan fisik yang memerlukan iptek itu, hanyalah tujuan antara. Tujuan pembangunan adalah membangun manusia yang beradab, yang utuh. Dengan iptek saja tidak mungkin sampai kepada tujuan tercapainya manusia yang beradab dan utuh. Perlu disiplin ilmu yang lain, ya kesehatan, ya ekonomi, ya pertanian, ya sosial, ya politik, ya hukum, ya budaya, ya dan lain-lain. Semuanya penting, semuanya membentuk satu sistem. Tidak boleh ada sekat di antaranya.
Setiap orang, setiap kelompok, mempunyai kebanggaan tentang identitas kelompoknya. Apakah kelompok itu suatu bangsa, akan mempunyai kebanggan nasional. Apakah itu kelompok pakar, akan mempunyai kebanggaan disiplin ilmu. Namun kebanggaan itu, apakah itu kebanggaan nasional, ataupun kebanggaan disiplin ilmu, jangan sampai kebanggaan itu menjadi sekat. Kebanggaan nasional tidak boleh menjadi sekat di antara bangsa-bangsa, karena bangsa-bangsa itu bersaudara dalam ruang lingkup kemanusian. Demikian pula kebanggaan disiplin ilmu itu tidak boleh menjadi sekat di antara disiplin-disiplin ilmu, karena disiplin-disiplin ilmu itu bersaudara dalam ruang lingkup keilmuan.
Dalam pembangunan memang penting iptek. Tetapi dengan iptek saja tujuan pembangunan tidak akan dicapai. Sebab yang dibangun bukanlah melulu bangunan-bangunan fisik. Adapun bangunan-bangunan fisik yang memerlukan iptek itu, hanyalah tujuan antara. Tujuan pembangunan adalah membangun manusia yang beradab, yang utuh. Dengan iptek saja tidak mungkin sampai kepada tujuan tercapainya manusia yang beradab dan utuh. Perlu disiplin ilmu yang lain, ya kesehatan, ya ekonomi, ya pertanian, ya sosial, ya politik, ya hukum, ya budaya, ya dan lain-lain. Semuanya penting, semuanya membentuk satu sistem. Tidak boleh ada sekat di antaranya.
Apa
yang terjadi dalam tragedi Kampus Unhas Tamalanrea yang sangat memalukan, sangat
memilukan, sangat disesalkan, adalah berpangkal dari adanya lahan bagi nafsun
ammarah yang dikemas dengan opspek, dan dari adanya sekat di antara
disiplin-disiplin ilmu, adanya dinding-dinding di antara
fakultas-fakultas.
Maka
untuk menghindari terulangnya kembali tragedi itu, opspek harus dihapus, sekat
harus dihilangkan. Secara teknis dalam tahun pertama dibuat struktur gugus untuk
menghilangkan sekat. Para mahasiswa dari bermacam-macam disiplin ilmu dicampur
baur, tidak ada sekat. Struktur gugus dipertahankan hingga penyajian materi
universitas, sebagai orientasi pengenalan kampus. Kemudian struktur gugus ini
dilanjutkan dalam semester selanjutnya. Mata Kuliah Dasar Umum. Dalam MKDU ini
para mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu dicampur, terjadi sosialisasi di
antara para mahasiswa dari berbagai jenis disiplin ilmu. Kalau perlu dalam
kurikulum diberikan semacam Studium Generale atas dasar kijken tussen de bomen,
melihat di celah-celah pohon. Setiap disiplin ilmu saling melihat di antara
celah-celah.
Akhirulkalam marilah kita simak Firman Allah: -- FattaquLlaaha washlihuw
dzaata baynikum, Maka taqwalah kepada Allah dan benahilah, perbikilah bengkalai
yang ada di antara kamu. (S. Al Anfaal, 1). WaLlahu a'lamu
bishshawab.
***
Makassar, 6 September 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
046 MAWLID
Walaupun Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada 12 Rabiulawwal, namun
kelaziman di Indonesia hari lahir (mawlid) RasululLah diperingati dalam 3 bulan
berturut-turut: Rabiulawwal, Rabiulakhir dan Jumadilawwal, yaitu dalam bulan
ke-3, ke-4 dan ke-5 penanggalan Hijriyah. Bentuk peringatan itu juga
bermacam-macam, seperti misalnya mulai dari bentuk membaca riwayat Nabi karya
Ja'far Al Barzanji, ataupun dalam bentuk ceramah, sampai kepada diskusi-diskusi.
Tidak ketatnya waktu dan bentuk peringatan itu dapat dimaklumi oleh karena dalam
Al Quran tidak ada suruhan untuk memperingati kelahiran RasululLah, demikian
pula di dalam sunnah, beliau tidak pernah menyuruh ummatnya untuk aktivitas
tersebut.
Walaupun tidak ada dalam Al Quran maupun dalam sunnah Nabi, kelahiran
RasululLah itu diperingati juga, karena dalam Al Quran dan sabda Nabi tidak ada
larangan untuk memperingati mawlid.*) Lagi pula sesungguhnya
dalam peringatan itu disampaikan pesan-pesan yang bernilai Islam. Dan itu
berarti peringatan mawlid itu merupakan sub-sistem dari sistem pendidikan Islam,
yaitu pendidikan informal yang termasuk dalam jenis pendidikan lingkungan.
Adapun pendidikan informal itu, suatu sistem pendidikan yang tidak menuntut
persyaratan formal, baik bagi yang menyampaikan pesan, maupun khalayak yang akan
menerima pesan. Demikian pula tidak ada kurikulum tertentu, juga tidak mesti
pada tempat yang tertentu.
Meskipun peringatan mawlid yang sifatnya informal itu tidak mempunyai
kurikulum tertentu, namun biasanya ada dua thema sentral dari pesan-pesan dalam
peringatan-peringatan itu. Yang pertama adalah dari S. Al Ahzab 21, laqad kaana
lakum fie rasulilLahi uswatun hasanah, adalah bagi kamu pada diri RasululLah
terdapat teladan yang baik. Dan thema yang kedua adalah dari S. Al Anbiyaa' 157,
wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil'aalamien, dan tidaklah Kuutus engkau (hai
Muhammad) untuk rahmat bagi beberapa alam (alam sekitar, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup).
Sebenarnya ada thema lain yang kurang begitu diperhatikan dalam
peringatan mawlid ini. Rasulullah SAW pada waktu hijrah tiba di Madinah dalam
bulan Rabiulawwal. Dengan demikian dilihat dari segi bulan, yaitu Rabiulawwal,
mawlid Nabi tidak dapat dilepaskan dari thema hijrah. Memang seperti kita telah
maklumi bersama dilihat dari segi tahun, peristiwa hijrah itu dijadikan patokan
perhitungan tahun dalam sistem Penanggalan Hijriyah. Akan tetapi RasululLah pada
waktu hijrah tidaklah sampai di Madinah dalam bulan Muharram, melainkan dalam
bulan Rabiulawwal.
Dalam menyambut mawlid Nabi SAW, maka isi tulisan ini mengambil thema
hijrah. Hijrah adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam da'wah risalah
(message) RasululLah SAW. Perjuangan Nabi SAW untuk menegakkan kebenaran,
membawa risalah, berlangsung dalam dua tahap, yaitu tahap Makkiyah dan tahap
Madaniyah. Dalam tahap yang pertama yaitu di Makkah, adalah tahap pembinaan
aqiedah, pembinaan pribadi Muslim. Ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Makkah,
yang disebut dengan ayat-ayat Makkiyah, kalimatnya pendek-pendek berisikan
materi keimanan. Dalam periode Makkah ini ummat Islam menjadi maf'ulun bih,
obyek, bulan-bulanan. Yaitu ummat Islam hidup dalam suasana lingkungan yang
penuh tekanan, siksaan dan terror. Keadaan lingkungan yang demikian itu ibarat
palu godam yang menempa pribadi-pribadi Muslim di Makkah itu menjadi mantap
aqiedahnya, tahan uji, tahan derita, bermental baja. Ujian akhir pembinaan
aqiedah itu terlaksana 20 bulan sebelum hijrah, yaitu peristiwa Isra-Mi'raj
RasululLah SAW. Keimanan ummat Islam di Makkah diuji, percaya atau tidak,
beriman atau kafir terhadap peristiwa itu. Maka terjadilah kristalisasi ummat
Islam. Ada yang lulus dalam ujian keimanan ini, tetapi tidak kurang pula kembali
menjadi kafir. Ummat Islam secara kwantitas menurun, namun secara kwalitas
meningkat. Mereka inilah yang menjadi kaum Muhajirin, orang-orang berhijrah, 20
bulan kemudian.
Peristiwa hijrah merupakan titik balik perjuangan RasululLah dan ummat
Islam. Yaitu dari keadaan yang maf'ulun bih, obyek, di Makkah berbalik menjadi
faa'il, subyek, pelaku di Madienah. Kaum Anshar di Madinah bersama-sama dengan
kaum Muhajirin yang dari Makkah membina masyarakat dan Negara Islam di Madinah.
Ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Madinah, yang disebut dengan ayat-ayat
Madaniyah, kalimatnya panjang-panjang dan berisikan pedoman-pedoman tentang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seruan-seruan ayat-ayat bukan lagi ya
ayyuhalladziena aamanuw, hai orang-orang beriman, melainkan menjadi ya
ayyuhannaas, hai manusia.
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara disebutkan bahwa Pembangunan
Nasional pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya dan
Pembangunan Masyarakat Indonesia. Maka secara intuitif Bangsa Indonesia
mencontoh metode yang telah dilaksnakan oleh RasuluLlah SAW seperti yang dibahas
di atas: pembangunan aqiedah, yaitu pemabangunan manusia seutuhnya di Makkah,
yang disusul dengan pembangunan masyarakat di Madinah. Itu persamaannya.
Perbedaannya ialah metode pembangunan Nabi SAW dilaksanakan secara beruntun,
seri, pembangunan manusia lebih dahulu. Setelah manusianya selesai dibangun,
barulah dilaksanakan pembangunan masyarakat. Artinya manusia-manusia yang akan
membangun masyarakat itu telah siap dan matang untuk membangun. Sedangkan yang
kita lakukan sekarang, pembangunan manusia dengan pembangunan masyarakat
dilaksanakan secara serempak, paralel. Dengan demikian ada manusia yang sudah
siap dan matang untuk membangun, namun tentu ada pula yang belum siap dan matang
untuk membangun, disuruh juga membangun. Maka akibatnya Badan Pengawas Keuangan,
Irjen, dan pengadilan menjadi sibuk dibuatnya. Inilah efek sampingan dari
berpacu dengan waktu. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*)
Catatan dari Webmaster: mengenai "peringatan" (yang pada kenyataannya sudah
mengarah ke "perayaan") Mawlid, kami ingin menegaskan fatwa para Ulama' yang
terpercaya (misalnya Komisi Fatwa di Saudi Arabia) bahwa semua bentuk perayaan
Mawlid adalah haram karena merupakan bid'ah (perkara agama yang diadakan-adakan
dan tidak dicontohkan oleh Sunnah Nabi maupun praktek pengamalan para sahabat
Rasulullah SAW). Kami katakan sebagai "perayaan" karena selalu diadakan pada
waktu tertentu yang berulang setiap tahun. Karena kalau dikatakan sekedar untuk
"peringatan" maka sesungguhnya mengingat Nabi, kehidupan dan perjuangannya harus
senantiasa dilakukan kapan dan dimana saja tanpa perlu ditentukan waktunya.
Peringatan dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW itu diwujudkan dalam bentuk
banyak bershalawat dan mengamalkan Sunnahnya. Bila dikatakan bahwa peringatan
Mawlid itu hanyalah untuk memanfaatkan salah satu momentum (dalam hal ini hari
atau bulan kelahiran Nabi) untuk lebih menajamkan ingatan kita kepadanya dengan
mengadakan kegiatan ceramah, nasehat atau pengajaran. Alasan ini sepertinya ada
benarnya, namun perlu kita camkan bahwa mengambil kelahiran Nabi sebagai
momentum untuk "peringatan" tersebut (kalau tidak dianggap "perayaan") adalah
suatu cara, sistim atau tradisi dalam urusan agama yang tidak pernah dicontohkan
sama sekali oleh para sahabat beliau, orang-orang yang paling memahami ajaran
beliau, paling taat mengerjakan amal kebaikan dan paling mencintai Rasulullah
SAW. Oleh karenanya, merupakan sikap dan cara beragama yang paling benar dan
selamat adalah senantiasa menyegarkan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW
dan sunnahnya di setiap waktu dan tempat, dan tidak mengaitkannya dengan
kelahiran beliau. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa tradisi peringatan
kelahiran Nabi dan tokoh-tokoh lainnya banyak dijalankan oleh golongan dan agama
di luar Islam. Sedangkan kita dilarang menyerupai kaum kafir dan diperintahkan
untuk berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan generasi pelanjutnya.
047. Semestinya dan Sebaiknya
Dalam kehidupan sehari-hari kedua pengertian di atas itu biasanya tidak
jelas atau kabur batasnya. Lazimnya yang sebaiknya itu meningkat menjadi
seharusnya. Contoh yang sangat sederhana, beberapa tahun yang lalu para pelamar
pekerjaan dimestikan melampirkan misalnya keterangan berkelakuan baik,
keterangan dokter dll. Belakangan ini kedua keterangan itu baru dimestikan jika
para pelamar itu telah diterima. Jadi sesungguhnya beberapa tahun yang lalu itu
keterangan berkelakuan baik dan keterangan dokter itu bagi para pelamar
sesungguhnya bukanlah yang semestinya melainkan hanya sebaiknya saja. Artinya
apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu itu pengertian sebaiknya ditingkatkan
menjadi semestinya.
Demikian pula pada waktu tragedi yang sangat memalukan di kampus Unhas
yang baru lalu. Kelihatannya yang sebaiknya itu telah meningkat menjadi
semestinya. Penanggung jawab keamanan, yaitu polisi sebaiknya menunggu rektor
memberikan green light baru bertindak, itu kalau dilihat dari segi tatakrama, ya
seperti berpakaian daulu baru sarapan. Tetapi karena negara kita ini
negara hukum, maka tentu saja peraturan perundang-undangan itu lebih kuat dari hanya sekadar tatakrama saja. Jadi semestinya penanggung jawab keamanan tidak perlu menunggu green light dari rektor. Dengan demikian alat negara dapat cepat bertindak, sehingga perang antara bom molotov dengan lemparan genting tidak sampai terjadi. Menunggu green light dari rektor dari sebaiknya ditingkatkan menjadi semestinya, pada hal waktu dalam hal ini sangat menentukan, tidak boleh terlambat.
negara hukum, maka tentu saja peraturan perundang-undangan itu lebih kuat dari hanya sekadar tatakrama saja. Jadi semestinya penanggung jawab keamanan tidak perlu menunggu green light dari rektor. Dengan demikian alat negara dapat cepat bertindak, sehingga perang antara bom molotov dengan lemparan genting tidak sampai terjadi. Menunggu green light dari rektor dari sebaiknya ditingkatkan menjadi semestinya, pada hal waktu dalam hal ini sangat menentukan, tidak boleh terlambat.
Dalam Hukum Islam ada klasifikasi yang berjenjang turun bertangga naik,
yang dikaji dalam Ilmu Fiqh. Paling atas adalah semestinya. Setingkat di
bawahnya sebaiknya. Setingkat di bawahnya terserah. Setingkat di bawahnya
sebaiknya tidak. Dan tingkat paling bawah semestinya tidak. Inilah yang disebut
hukumnya wajib, hukumnya sunnat, hukumnya mubah, hukumnya makruh dan hukumnya
haram. Yang wajib hukumnya, berpahala kalau dikerjakan, berdosa kalau
ditinggalkan. Yang sunnat hukumnya, berpahala kalau dikerjakan tidak berdosa
kalau ditinggalkan. Yang mubah hukumnya, dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak
berpahala dan tidak berdosa. Yang makruh hukumnya, tidak berdosa kalau
dikerjakan berpahala kalau ditinggalkan. Yang haram hukumnya, berpahala kalau
ditinggalkan berdosa kalau dikerjakan. Maka pola pikir dalam Ilmu Fiqh bukanlah
pola yang black and white thinking, melainkan pola pikir yang berjenjang turun
bertangga naik dengan 5 anak tangga. WaLlahu a'lamu bishshawab.
***
Makassar, 20 September 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
048 Musyawarah Cendekiawan Antar Agama
Insya Allah mulai besok, Senin 28 September 1992 sampai dengan hari Kamis
1 Oktober 1992 di Kota Makassar ini akan berlangsung musyawarah cendekiawan
antar agama yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
Sulawesi Selatan bertempat di Wisma Nur, Jalan Onta Baru. Suatu musyawarah agar
efektif, perlu sekali kejelasan dasar dan ruanglingkup musyawarah itu. Ini untuk
menghindarkan silang pendapat yang bertele-tele, apa lagi ini menyangkut yang
berpredikat antar agama, walaupun para pesertanya dikalangan kaum
cendekiawan.
Yang
pertama, harus disadari bahwa setiap agama mempunyai identitas yang merupakan
ciri khas yang membedakan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Jadi
pada dasarnya setiap penganut agama yang dalam hal ini setiap peserta musyawarah
perlu bertitik tolak dari kesepakatan tentang ketidak-samaan. Suatu kesepakatan
tentang lakum dienukum wa liya dien. Bagimu agama kamu dan bagi kami agama
kami.
Pertama, masing-masing agama punya identitas. Identitas Islam adalah
tawhied, seperti dalam S.Al Ikhlash. Qul huwa Llahu ahad. Allahu ssamaad.Lam
yalid wa lam yuwlad. Wa lam yakun lahu qufuwan ahad. Katakanlah, Allah Maha Esa.
Allah tempat bergantung. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tak suatu
juapun yang setara denganNya. Identitas Nasrani apakah itu Katholik ataupun
Kristen Protestan, adalah trinitas, Tuhan itu Esa, namun terdiri atas tiga
oknum: Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Suci. Identitas Hindu adalah trimurti,
Tuhan itu Esa, namun terdiri atas tiga wujud: Brahma, Wisynu dan Syiwa. Inilah
keragaman, pluralitas ummat beragama di Indonesia yang sebaiknya disadari
sebagai suatu kenyataan.
Yang
kedua, walaupun pokok-pokok kepercayaan yang berbeda, yang merupakan identitas
agama itu masing-masing, sebaiknya pula disadari suatu kenyataan bahwa dalam
aspek etika, moral, ada kesamaan di antara agama yang berbeda identitasnya itu.
Tidak ada satu agamapun di Indonesia ini yang membenarkan perbuatan-perbuatan
mencuri, merampok, memperkosa, berhubungan sex secara liar, membunuh, menipu,
berdusta, berkhianat, menzalimi sesama manusia, berjudi, mabuk-mabukan dll. yang
sejenisnya. Semua agama yang ada di Indonesia mengatakan bahwa semua perbuatan
itu adalah tercela, harus dijauhi. Dalam hal yang sama inilah ummat beragama di
Indonesia dapat bekerja sama sehingga terjadi kerukunan hidup.
Yang
ketiga, dalam soal menjalankan ibadah yang ritual. Inilah yang peka. Karena
pekanya itu perlu sekali kesadaran tentang saling menghormati, saling tidak
mengganggu dalam pelaksanaan ibadah yang ritual masing-masing. Saling
menghormati, artinya tidak demonstratif. Di komplex yang hanya dihitung jari
jumlah Islam di situ didirikan mesjid di tengah-tengah ummat Nasrani,
dan setiap Jum'at ummat Islam dari tempat lain diangkut ke sana untuk shalat Jum'at. Yang ini tidak pernah terjadi di Indonesia. Ataupun sebaliknya ditengah-tengah pemukiman ummat Islam yang hanya dihitung jari jumlah ummat Nasrani di situ didirikan gereja dan setiap hari Ahad ummat Nasrani dikerahkan ketempat itu. Yang ini biasa terjadi. Nah inilah yang dimaksud dengan demontratif, inilah yang peka. Inilah yang perlu dihindarkan, untuk kerukunan hidup. Saling tidak menganggu pelaksanaan ibadah yang ritual, artinya ummat yang beragama lain tidak boleh datang bercampur ke tengah-tengah ummat yang sedang melaksanakan ibadah ritual. Dalam melaksanakan ibadah Natalan misalnya, ummat Islam sebaiknya tidak datang bercampur yang sudah jelas dapat mengganggu pelaksanaan ibadah Natalan itu. Atau sebaliknya, seorang pejabat beragama Islam disuruh bakar lilin, yang merupakan rangkaian ibadah yang ritual. Itu artinya pejabat yang beragama Islam itu dilibatkan dalam ibadah ritual Natalan, yang biasanya dianggap sebagai suatu kehormatan dalam membakar lilin. Kasihanlah pejabat itu, karena dilihat dari segi agama sang pejabat yang Islam itu, adalah suatu perbuatan yang terlarang untuk ikut serta dalam sistem peribadatan yang ritual di luar Islam. Dan ini juga termasuk peka. Supaya kita saling menghindarkan diri dari perbuatan yang peka ini, demi kerukunan hidup antar ummat beragama.
dan setiap Jum'at ummat Islam dari tempat lain diangkut ke sana untuk shalat Jum'at. Yang ini tidak pernah terjadi di Indonesia. Ataupun sebaliknya ditengah-tengah pemukiman ummat Islam yang hanya dihitung jari jumlah ummat Nasrani di situ didirikan gereja dan setiap hari Ahad ummat Nasrani dikerahkan ketempat itu. Yang ini biasa terjadi. Nah inilah yang dimaksud dengan demontratif, inilah yang peka. Inilah yang perlu dihindarkan, untuk kerukunan hidup. Saling tidak menganggu pelaksanaan ibadah yang ritual, artinya ummat yang beragama lain tidak boleh datang bercampur ke tengah-tengah ummat yang sedang melaksanakan ibadah ritual. Dalam melaksanakan ibadah Natalan misalnya, ummat Islam sebaiknya tidak datang bercampur yang sudah jelas dapat mengganggu pelaksanaan ibadah Natalan itu. Atau sebaliknya, seorang pejabat beragama Islam disuruh bakar lilin, yang merupakan rangkaian ibadah yang ritual. Itu artinya pejabat yang beragama Islam itu dilibatkan dalam ibadah ritual Natalan, yang biasanya dianggap sebagai suatu kehormatan dalam membakar lilin. Kasihanlah pejabat itu, karena dilihat dari segi agama sang pejabat yang Islam itu, adalah suatu perbuatan yang terlarang untuk ikut serta dalam sistem peribadatan yang ritual di luar Islam. Dan ini juga termasuk peka. Supaya kita saling menghindarkan diri dari perbuatan yang peka ini, demi kerukunan hidup antar ummat beragama.
Yang
keempat, tidak boleh ummat beragama lain disuruh meninggalkan agamanya secara
paksa. Laa ikraaha fie ddien. Tidak boleh memaksa artinya tidak boleh agresif.
Baik dalam hal informasi yang dikomunikasikan, berupa publikasi yang disebarkan.
Ataupun dalam hal bentuk pemberian uang, berupa materi, kepada orang-orang
miskin dalam bentuk kemasan sumbangan kemanusiaan dengan iming-iming konversi
agama. Inilah yang disebut agresif.
Maka
demikianlah adanya. Inilah aturan berlalu-lintas dalam kehidupan beragama di
Indonesia. Supaya tidak terjadi tabrakan di antara dinamika ummat beragama yang
pluralistis itu. WaLlahu a'lamu bishshawab.
***
Makassar, 27 September 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
049 Pengajaran dan Pendidikan
Tulisan ini diangkat dari diskusi tentang pendidikan dalam Musyawarah
Cendekiawan Antar Agama yang baru lalu. Diskusi yang oleh penyaji DR Makkulau
dari IKIP mempergunakan model masukan, (input), proses, luaran (output), dengan
beberapa masukan instrumen, antara lain kurikulum. Peristiwa tragis di Unhas
tidak luput dari sorotan dalam diskusi itu. Bahkan penyaji makalah
itu
menjadi saksi mata. Pasalnya waktu itu ia menjemput anaknya yang sedang diopspek di Fakultas Teknik. Sempatlah dia menyaksikan tragedi itu. Dan buat seorang pendidik seperti dia, dalam menyaksikan apa yang di depan matanya itu, dirasakannya sebagai ada sesuatu yang hilang dalam sistem pendidikan kita.
menjadi saksi mata. Pasalnya waktu itu ia menjemput anaknya yang sedang diopspek di Fakultas Teknik. Sempatlah dia menyaksikan tragedi itu. Dan buat seorang pendidik seperti dia, dalam menyaksikan apa yang di depan matanya itu, dirasakannya sebagai ada sesuatu yang hilang dalam sistem pendidikan kita.
Saya
sebagai salah seorang penanggap dalam diskusi itu ikut mengemukakan pendapat
tentang pernyataan pemakalah mengenai sesuatu yang hilang itu. Sebenarnya dalam
beberapa seri yang lalu saya telah menulis tentang hal ini tetapi dilihat dari
segi model yang berbeda, yaitu model nafsun ammarah, kemasan dan
sekat.
Salah satu etika yang penting dalam suatu diskusi ialah penanggap
sebaiknya ikut masuk dalam model penyaji, walaupun si penanggap punya model
sendiri. Demikianlah dalam menanggapi itu saya kesampingkan model saya sendiri,
dan mengikuti model input, proses, output. Saya melihat bahwa sesuatu yang
hilang itu dapat kita ungkit dari kurikulum dan proses itu sendiri. Proses itu
dikenal, bahkan sangat dikenal dengan ungkapan proses belajar mengajar. Ada
pepatah yang berbunyi: bahasa menunjukkan bangsa. Saya ubah sedikit: ungkapan
menunjukkan pola pikir. Dalam ungkapan itu tidak ada sama sekali kata kunci yang
sangat penting: pendidikan. Jadi di sinilah sesuatu yang hilang itu, yaitu
bermula dari pola pikir yang mencuekkan pendidikan. Bahwa apa yang penting
adalah mentransfer ilmu belaka dalam proses itu. Pada hal dalam suatu konsep
teoritik suatu kurikulum yang bulat dan utuh adalah harus mengandung:
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Mentransfer pengetahuan dan keterampilan
itulah yang pengajaran, sedangkan mentransfer yang akan membuahkan sikap, yaitu
meneruskan pesan nilai-nilai, itulah yang pendidikan.
Karena ungkapan proses belajar mengajar yang menunjukkan pola pikir yang
mencuekkan pendidikan itu, kurikulum yang dijabarkan dalam silabus, TIU ke TIK,
dicuekkanlah pesan-pesan tentang nilai yang akan membentuk sikap dan watak anak
didik. Tidak terkecuali tentang sikap yang dimulai mencintai alma mater,
meningkat kepada mencintai sesama manusia dan seterusnya mencintai Allah dan
RasulNya. Kurikulum yang dijabarkan dalam silabus, TIU dan TIK yang menghasilkan
anak didik yang mencintai alma maternya tidaklah akan sampai hatinya akan
membakar salah satu gedung dalam universitasnya. Anak didik yang mencintai dan
menghormati alma maternya akan menjaga baik-baik alma maternnya itu. Tidaklah
akan terjadi tragedi yang sangat memalukan itu. Memalukan oleh karena tidak
pernah terjadi dalam sejarah di mana saja, mahasiswa sampai hati membakar,
merusak kampusnya sendiri.
Walhasil, ungkapan proses belajar mengajar harus diperbaiki, dengan
memasukkan ke dalamnya kata kunci pendidikan. Lalu menjadilah ia dengan ungkapan
proses mendidik dan belajar mengajar. Maka dengan demikian kurikulum itu akan
dijabarkanlah secara sadar dalam keadaan keseimbangan penekanannya pada ketiga
unsur: pengetahuan, keterampilan dan sikap, atau dan ini yang lebih baik: sikap,
pengetahuan dan keterampilan. Suatu pekerjaan rumah bagi para pendidik, yang
tentu saja bukan hanya dalam ruang lingkup pedidikan tinggi, melainkan dalam
ruang lingkup yang lebih luas, mulai dari pendidikan taman kanak-kanak, sampai
dengan pendidikan tinggi.
Diskusi yang diceritakan di atas itu hanya terbatas dalam sistem
pendidikan yang formal. Jikalau ini lebih diperluas ke dalam arena sistem
pendidikan yang innformal, yang dalam hal ini difokuskan pada da'wah, maka apa
yang terjadi keadaannya hampir sama. Dalam da'wah kelihatannya sekarang ini
bobotnya hanya pada mentransfer pengetahuan tentang keIslaman. Tidaklah
kita
bermaksud mengatakan bahwa mentransfer pengetahuan keIslaman dalam da'wah itu tidak penting. Itu penting, tetapi belumlah cukup. Ingat, dalam Al Quran ada ungkapan: yad'uwna ila lkhayr menyeru, mengajak kepada nilai-nilai kebaikan, menyampaikan pesan-pesan nilai yang dapat membentuk sikap yang baik.
bermaksud mengatakan bahwa mentransfer pengetahuan keIslaman dalam da'wah itu tidak penting. Itu penting, tetapi belumlah cukup. Ingat, dalam Al Quran ada ungkapan: yad'uwna ila lkhayr menyeru, mengajak kepada nilai-nilai kebaikan, menyampaikan pesan-pesan nilai yang dapat membentuk sikap yang baik.
Contohnya mengenai shalat. Pengetahuan mengenai shalat yang betul menurut
fiqh itu perlu untuk tertibnya shalat. Tetapi jangan hanya berhenti sampai di
situ, karena shalat bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan. Apa
tujuan shalat?, tanha 'ani lfahsyaai wa lmunkar, mencegah perbuatan keji dan
munkar.
Jadi
da'wah itu bukan hanya sekadar untuk yang kognitif (pengetahuan), keterampilan
menurut fiqh, melainkan harus dan ini yang terpenting, menyentuh hati nurani
yang akan menghasilkan pola pikir yang Islami, yang selanjutnya sikap yang
Islami dan selanjutnya lagi tingkah laku yang Islami. WaLlahu a'lamu
bishshawab.
***
Makassar, 4 Oktober 1992 [H.Mih.Nur Abdurrahman]
050 Manusia Sebagai Khalifah Allah
Dalam tulisan mengenai Mawlid ada beberapa orang bertanya kepada saya
tentang terjemahan ayat: Wa maa arslnaaka ilaa rahmatan li l'aalamien, dan
tidaklah Kuutus engkau (hai Muhammad) selain rahmat bagi beberapa alam (alam
sekitar, sumberdaya alam dan lingkungan hidup). Yang dipertanyakan ialah
terjemahan al 'alamien yaitu bentuk jamak dari al 'aalam, yaitu keterangan dalam
kurung, pengertian tentang alam sekitar, sumberdaya alam dan lingkungan
hidup.
Alam
sekitar (surrounding) adalah alam yang belum dijamah manusia, kecuali untuk
sumber informasi bagi sains. Tetapi itu tidak berarti bebas nilai, oleh karena
sudah menyentuh keinginan manusia, yaitu dipilih sebagai sumber informasi untuk
sains. Jadi sejak semula sains itu tidaklah bebas nilai. Awan di udara adalah
alam sekitar, sumber informasi, dipelajari oleh sains bagaimana terjadinya
hujan. Tidak bebas nilai oleh karena dipilih untuk dikaji, yang menghasilkan
teknologi menabur awan guna kepentingan manusia. Di sini ada aliran informasi
dari alam sekitar ke sains ke pengungkapan TaqdiruLlah ke teknologi.
Sumberdaya alam, juga adalah alam yang sudah sarat dengan nilai, dengan
keinginan manusia untuk dimanfaatkan. Awan yang bergumpal-gumpal di udara yang
ditabur dengan es kering atau iodida perak adalah sumberdaya alam, hujan
dimanfaatkan untuk kebutuhan air manusia. Di sini terjadi aliran pemanfaatan
dari sumberdaya alam ke sistem sosial, atau lengkapnya sistem politik ekonomi
sosial budaya pertahanan keamanan (poleksosbudhankam).
Lingkungan hidup, juga alam yang mempunyai ciri yang disebut hidup.
Pengertian hidup di sini jangan dikacaukan dengan makna hidup yang hakiki.
Sangat sederhana pengertiannya, yaitu makhluk Allah yang dapat makan (termasuk
minum dan bernafas), mengeluarkan kotoran, bertumbuh dan berkembang biak. Maka
termasuklah di dalamnya tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. di sini terjadi
aliran dampak negatif, pengrusakan, dari teknologi ke lingkungan
hidup.
Di
samping aliran-aliran yang disebut di atas, ada pula aliran pemanfaatan dari
teknologi ke sistem sosial, aliran pemberian nilai dari sistem sosial ke sains.
Aliran terbalik dari sistem sosial ke teknologi yang sifatnya mengubah teknologi
yang kita sebut teknologi tepat guna. Aliran terbalik dari teknologi ke sains
yang sifatnya sebagai tekanan dari teknologi ke sains. Artinya teknologi
membutuhkan pengungkapan TaqdiruLlah oleh sains untuk efisiensi. Misalnya
setelah ditemukannya mesin uap oleh James Watt, dibutuhkan ilmu baru untuk
efisiensi mesin uap itu. Lalu didapatkanlah ilmu termodinamika (thermodynamics)
dan ilmu pengantar kalor (heat transfer). Aliran terbalik dari sains ke sistem
sosial, berupa pengaruh. Sains yang maju dapat memberi pengaruh kepada
masyarakat untuk menjadi masyarakat ilmiyah. Makin maju sains makin meningkat
kecenderungan suatu masyarakat menjadi masyarakat ilmiyah, minimal masyarakat
kampus.
Demikianlah, dengan model di atas itu kita perkenalkan tiga macam aliran:
aliran satu arah yang terbuka, aliran satu arah yang tertutup, dan aliran
tertutup yang melingkar. Aliran satu arah yang terbuka: alam sekitar ke sains ke
teknologi ke lingkungan hidup. Aliran satu arah yang tertutup: sumberdaya alam
ke sistem sosial. Aliran tertutup yang melingkar: sistem sosial - sains ke
teknologi kembali ke sistem sosial dan arus baliknya dari sistem sosial ke
teknolgi ke sains kembali ke sistem sosial.
Aliran-aliran itu saling mempengaruhi. Misalnya makin intensif aliran
dari sumberdaya alam ke sistem sosial, makin gencar pula aliran dari teknologi
ke lingkungan hidup. Contohnya, makin banyak sistem sosial menguras bahan bakar,
makin gencar pula teknologi mengirim gas CO2 ke lingkungan hidup. Makin serakah
sistem sosial menghabiskan bahan bakar (termasuk balap mobil dalam olah raga),
makin menebal lapisan CO2, yang berakibat globalisasi pencemaran thermal, oleh
efek rumah kaca. Suhu bumi naik, es di kutub mencair, air laut naik. Walhasil
makin serakah pemakain bahan bakar dapat menyebabkan banjir seperti di zamannya
Nabi Nuh alaihissalaam.
Dan
dimanakah letak manusia dalam model di atas itu? Pertama, manusia menempati alam
sekitar sebagai sumber informasi bagi sains. Misalnya pengkajian pembuahan
sperma terhadap sel telur di luar rahim manusia, yang menghasilkan teknologi
bayi tabung. Kedua, manusia menempati sumberdaya alam, karena tenaga otak dan
ototnya dimanfaatkan untuk sistem sosial. Ketiga, manusia menempati lingkungan
hidup, karena manusia adalah makhluk hidup yang menderita dampak negatif dari
teknologi. Keempat, manusia menempati sistem sosial, karena manusia adalah
anggota sistem tersebut. Dan yang kelima, inilah yang terpenting, manusia
menempati aliran tertutup yang melingkar. Di situlah spesi manusia berfungsi
sebagai khalifah Allah di atas permukaan bumi. Memberikan nilai pada aliran
tersebut. Misalnya dalam pemilihan tentang sumber informasi dari alam yang mana
sajakah yang bernilai untuk dikaji. Apakah ada nilainya pengkajian pembuahan sel
telur oleh sperma di luar rahim, yamg menghasilkan teknologi bayi tabung dan
teknologi bank sperma. Sikap hidup yang bagaiamana yang harus dipilih sehingga
sistem sosial dapat berhemat sumberdaya alam. Teknologi yang bagaimana yang
harus diterapkan sehingga dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup dapat
diperkecil sekecil-kecil mungkin dan lain lain dan lain.
Dan
jawabannya sangat sederhana, yaitu nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh
kitab suci, nilai-nilai yang diajarkan oleh para Rasul, mulai dari Rasul
permulaan, Nabi Adam 'Alaihissalaam sampai kepada Rasul yang terakhir, Nabi
Muhammad SallaLlahu 'Alaihi wa Sallam. Dan inilah makna dari wa maa arsalnaaka
illaa rahmatan li l'aalamien. WaLlahu a'lamu bishshawab.
No comments:
Post a Comment
ini komentar