Saturday, 24 October 2015

Air Bah, Erosi dan Sedekah

Air Bah, Erosi dan Sedekah

Masih ingat Daur Hidrologik? Air bah dan erosi ini berhubungan dengan daur tersebut. Kalau dalam pembicaraan mengenai penaburan awan, bagian daur itu menyangkut perjalanan air dari awan turun ke bumi, maka dalam hal ini bagian daur itu menyangkut perjalanan air di atas permukaan bumi. Pembagian kwantitas air yang masuk ke dalam tanah dengan air yang di atas pemukaan tanah, tergantung dari keadaan permukaan bumi. Jika lapisan tanah tebal dan banyak akar-akar pepohonan di dalamnya, lebih banyak air yang masuk meresap ketimbang air yang tertinggal di atas permukaan tanah. 
Apabila air di atas tanah sedikit yang tertinggal, air yang mengumpul di sungai-sungai mengalir dengan jinak. Tetapi sebaliknya apabila lapisan tanah tipis, lagi pula di dalamnya tidak terdapat akar pepohonan yang mampu meresapkan dan menahan air, maka air yang tertinggal di atas permukaan bumi menjadi banyak. Jika terjadi hal yang demikian itu, air tidak hanya menempati lekuk dan alur sungai, melainkan melimpah dan menyapu secara menyeluruh. Itulah yang disebut banjir. Pada dataran rendah di hilir, banjir itu berwujud genangan air dan di udik di tempat yang miring utamanya di lereng-lereng gunung, air itu mengalir menjadi menjadi ganas, dan itulah yang disebut air bah. Jadi supaya hujan itu membawa Rahmat Allah, lapisan tanah harus tebal, dan harus banyak akar pepohonan di dalamnya. Itulah gunanya hutan. Daun-daunan yang gugur menjadi busuk menjadi bunga-tanah. Itu mempertebal lapisan tanah. Hutan yang lebat menghasilkan bunga-tanah yang tebal dan banyak akar di dalamnya. Walhasil hutan lebat mencegah banjir. Itu di udik, di pegunungan yang berhutan.
Bagaimana kalau di hilir? Pada umumnya di hilir terdapat hutan jenis lain, hutan rekayasa, hutan yang dibangun oleh teknologi, Yaitu hutan yang bukan dari pepohonan, melainkan hutan dari bangunan-bangunan menjulang, dengan akar-akarnya berupa tiang-tiang pancang dari beton, ataupun dari jenis cakar ayam. 
Permukaan tanah ditutupi pelataran-pelataran parker, jalan-jalan beraspal, ataupun trotoar dari batu. Apa hasilnya jika dilihat dari segi berwawasan lingkungan? Pembagian air hujan yang meresap ke dalam tanah dengan yang tertinggal di atas permukaan tanah, sebaliknya dari di udik. Lebih banyak di atas tanah, karena air tidak diberi kesempatan masuk meresap ke dalam. Artinya kalau turun hujan lebat akan terjadi banjir. Maka digalilah kanal, seperti misalnya di kota Makassar ini untuk menanggulangi luapan air hujan yang disebut banjir itu. Hasilnya? Tergantung
kalkulasi, hitung menghitung dari para pakar berdasarkan perkiraan curah hujan yang langsung dan banjir kiriman hujan dari hulu dan terobosan air pasang dari laut. Kalau Allah murka kepada penduduk kota karena terlalu banyak melakukan maksiat, maka Allah akan menurunkan hujan lebat di hulu bersamaan dengan hujan lebat di kota, bersamaan dengan pasangnya air laut di bulan penuh, maka kanal yang digali itu percayalah tidak akan mampu menampung limpahan air itu. Tidak banjirpun kalau air kanal tidak mengalir dengan baik, akan menjadi semacam laut hitam, seperti di belakang salah satu panti asuhan di Pannampu. Istilah laut hitam ini saya pinjam dari istilah sindiran penduduk di sekitar tempat itu.
Jadi dilihat dari segi berwawasan lingkungan, maka di udik harus lebat hutan pepohonan, tetapi sebaliknya di hilir harus dikurangi pertumbuhan hutan rekayasa teknologi. Kalau di udik hutan-hutan dibabat secara liar apakah itu berupa lahan perkebunan secara liar, ataupun dibabat dengan sah melalui jalur hukum berupa HPH untuk industri kayu, maka hasilnya adalah banjir di udik dan banjir di hilir. 
***
Erosi berhubungan dengan banjir yang berwujud air bah di udik. Gunung-gunung yang hampir gundul, menghampiri bahkan sudah mencapai keadaan kritis, keadaan pemukaan bumi menyedihkan. Bunga-tanah berkurang, akar-akar berkurang, akibatnya lereng gunung dikikis air yang mengalir. Pengikisan tanah oleh air mengalir dengan ganas inilah yang disebut erosi. Pengikisan yang terus menerus menghabiskan lapisan tanah di lereng-lereng gunung. Tanah-tanah ini dibawa air ke sungai-sungai yang menyebabkan pendangkalan sungai-sungai di hilir.
Di dalam Al Quran pengikisan air yang menggundulkan permukaan bumi dan yang tertinggal hanyalah batu karang yang licin, dinformasikan sebagai bahan kiasan. Firman Allah menyangkut erosi itu tidaklah difokuskan benar kepada pengikisan tanah, melainkan dikiaskan kepada erosi amal sedakah. Adapun erosi pada permukaan bumi itu hanyalah sekadar berupa penjelasan bandingan dari erosi amal sedekah seseorang. 
Berirman Allah dalam S. Albaqarah, 264: Yaa ayyuha lladziena aamanuw laa tubthiluw shadaqaatikum bi lmanni wa l-adzaa kalladzie yunfiqu maalahu riyaa nnaasi wa laa yu'minu bi Llaahi wa lyauwmi l-aakhiri, famatsaluhu kamatsali shafwaanin 'alayhi turaabun fa ashaabahu waabilun fa tarakahu shaldan laa yuqdiruwna 'alaa syayin mimmaa kasabuw artinya, Hai orang-orang beriman, anganlah kamu batalkan amal sedekahmu, dengan cara menyiarkan (kepada umum) dan melukai perasaan (yang diberi sedekah), seperti cara menyumbang dengan penampilan (riya) dari orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Adapun cara yang demikian itu ibarat batu karang licin yang di atasnya terdapat lapisan tanah diguyur oleh curahan hujan yang lebat yang memberikan bekas tanah hanyut dan tinggallah batu karang licin yang gundul, maka demikian pulalah keadaan amal sedekahnya hilang tidak ada yang tinggal.
Sedikit catatan tambahan. Adapun kebiasaan mengumumkan di masjid-masjid nama-nama penyumbang masjid menjelang shalat Jum'at, itu bukanlah termasuk riya, karena tujuannya bukanlah untuk penampilan, melainkan sebagai pertanggung-jawaban keuangan dari panitia atau pengelola masjid. Lain hal misalnya ada Dharma Wanita yang menyumbang panti asuhan, kemudian di-shooting untuk disiarkan di TV, itulah yang termasuk pengertian al mannu, menyebut-nyebut, menyiarkan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 9 Agustus 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
[BACK]  [HOME]

042. Setengah Gelas Kopi, Proses dan Hasil Akhir 

Ada ciri khas yang menunjukkan perbedaan antara eksakta dengan non-eksakta. Di bidang eksakta apabila A tidak sama dengan B, jika A benar, maka B mesti salah. Akan tetapi dalam bidang non-eksakta jika A tidak sama dengan B, apabila A benar, maka B belum tentu salah. Contohnya: Menanak beras dengan menanak nasi. Itu adalah ungkapan dalam berbahasa, jadi termasuk yang non-eksakta. Sehingga jika menanak beras yang betul, maka menanak nasi belum tentu salah. Ungkapan di atas itu kedua-duanya benar. Jika orientasinya proses, maka yang relevan adalah menanak beras, yaitu membuat supaya beras itu dapat dimakan dengan jalan menanak. Akan tetapi jika orientasinya adalah output, hasil yang ingin dicapai, objective, maka yang relevan adalah menanak nasi.
Setengah gelas air kopi. Kita dapat katakan, bahwa gelas itu setengah penuh. Juga tidak salah jika dikatakan setengah kosong. Tetapi dari segi proses itu berbeda. Apabila pada mulanya gelas itu kosong kemudian diisi kopi sampai setengahnya, maka itu adalah setengah penuh. Lain halnya jika pada mulanya gelas itu penuh dengan kopi, kemudian kopinya diminum setengahnya, maka gelas itu setengah kosong. Walaupun proses berbeda, namun hasil akhir sama. Jadi jika orientasinya adalah proses, maka setengah penuh tidak sama dengan setengah kosong. Gelas dengan setengah penuh dengan kopi, bukan sisa. Tetapi gelas yang setengah kosong, berarti kopi yang di dalamnya adalah sisa. Dalam hal yang terakhir ini umumnya mubazzir, kopi itu dibuang, karena umumnya orang tidak mau minum sisa. Sedangkan kalau orientasinya pada hasil akhir, output, setengah penuh dengan setengah kosong tidak berbeda. Kedua umgkapan itu disederhanakan menjadi setengah gelas kopi.
Ada pepatah Belanda yang berbunyi: Het gaat niet om de knikker, maar om 't spel. Bukan masalah kelerengnya, melainkan cara mainnya. Pepatah itu berorientasi pada proses. Namun dalam MBO, Management By Objectives, yang penting adalah hasil akhir, objective. Proses tidak begitu penting. Cara mencapainya diserahkan kepada pelaksana. Dan tentu ini dapat saja menjurus kepada yang negatif, yaitu prinsip Machiavelli: Tujuan menghalalkan segala cara. 
Dalam hal Undang-Undang No.14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kelihatannya lembaga-lembaga pembuat undang-undang tersebut, yaitu lembaga legislatif dan eksekutif, nampaknya berorientasi utamanya kepada objective, hasil yang ingin dicapai, pokoknya tujuan UU Lantas itu baik. Kalau dipikir-pikir, kelihatannya pola pikir ini logik. Pembuatan undang-undang itu, tidak perlu berorientasi pada proses. Mengapa? Bukankah melalui pemilu aspirasi rakyat diwakilkan kepada para wakil yang dipilihnya? Apapun produk lembaga hasil pilihan rakyat itu logikanya mesti diterima oleh rakyat. Kenapa mesti ribut-ribut. Mestinya yang ribut itu adalah golput, yang merasa aspirasinya tidak diwakili oleh lembaga hasil pemilu itu, karena mereka memang tidak ikut memilih. Yang bukan golput, logikanya ya diam saja, tidak perlu ribut-ribut. Namun undang-undang itu bukan bidang eksakta, melainkan non-eksakta. Kalau dalam bidang eksakta, maka itu tunduk pada hukum-hukum logika. Di bidang non-eksakta hukum-hukum logika tidak berlaku secara umum. Buktinya? Ya apa yang dibahas di atas itu. Sekiranya hukum logika itu berlaku secara umum dalam bidang non-eksakta, maka orang-orang yang ikut memilih dalam pemilu tidak akan ribut. Kenyataannya ribut, jadi logika di sini tidak berlaku. 
Oleh sebab itu proses sama pentingnya dengan hasil akhir. Sudah ada contoh sebelumnya, yaitu Undang-Undang Peradilan Agama. Sebelum diundangkan, artinya pada waktu masih dalam taraf rancangan, dilempar dahulu secara terbuka kepada masyarakat. Masyarakat ikut dilibatkan dalam proses. Seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam persiapan atau prolog Perang Uhud. Masyarakat Madinah diikut sertakan dalam tahapan proses. Seharusnya proses pembentukan UU Lantas ini bercermin pada pembentukan Undang-Undang Peradilan Agama. Sudah ada cermin proses yang bagus. Mengapa mesti lagi buat terobosan baru, diputuskan secara tertutup dahulu, ada hasil baru dibuka. Nah, ributlah orang. Untung saja menurut para pakar hukum masih ada reserve, yaitu Peraturan Pemerintah. Hal-hal yang masih kurang dalam undang-undang itu masih dapat ditanggulangi dalam Peraturan Pemerintah. Syukurlah, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerinah Pengganti Undang Undang No.1, tahun 1992, untuk menunda pelaksanaan UU Lantas itu selama setahun. Itu berarti bahwa pemerintah bersikap terbuka dalam proses pembuatan Peraturan Pemerintah yang sementara digodok itu. Sayangnya proses pembuatan UU Lantas dengan proses tertutup itu telah mengeluarkan energi, yang semestinya tidak perlu dikeluarkan, tidak efisien. Sama halnya dengan hanya melihat hasil akhir, kopi setengah gelas. Belakangan ketahuan bahwa setengah gelas itu adalah setengah kosong, artinya setengahnya habis diminum. Dan itu sisa, lalu kopinya dibuang, jadi tidak efisien. Tetapi tentu saja ini lebih baik dari: Sesal kemudian tidak berguna. 
Jadi pada pokoknya, dua-duanya penting. Materi keputusan sebagai tujuan penting, dan juga proses tidak kurang pentingnya. Dalam Al Quran hal tersebut jelas disebutkan. Misalnya materi tentang larangan makan harta orang dengan batil. Bagaimana proses makan harta orang itu? Yakni dengan proses membawanya ke dalam sidang pengadilan, ke muka hakim, yang dewasa ini sudah mempunyai kecenderungan dalam taraf mendekati globalisasi, dengan ungkapan mafia peradilan. Sekadar data, di Indonesia saja menurut Menkeh Ismail Saleh, sudah 266 hakim nakal yang ditindak. 
Firman Allah: Wa laa ta'kuluw amwalakum baynakum bi lbaathili, wa tudluw bihaa ila lhukkaami lita'kuluw farieqan min amwaali nnaasi bi l-ismi, wa antum ta'lamuwn, artinya: Dan janganlah kamu makan harta orang di antaramu dengan batil, yaitu dengan membawanya di depan para hakim, dan dengan demikian dapatlah kamu makan harta orang lain dengan berdosa, padahal kamu mengetahuinya (S. Al Baqarah, 188). WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 16 Agustus 1992 [H.Muh. Nur Abdurrahman] 
[BACK]  [HOME]

043. Memanfaatkan Kesempatan Sekilas

Ungkapan judul di atas jauh dari pengertian yang mempunyai konotasi yang negatif: mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Ungkapan judul di atas tidak menjurus kepada konotasi yang negatif itu, melainkan ke arah yang positif, yang baik-baik.
Masih ingat pertemuan tiga tokoh di telaga Mawang? Lu'muka ri Antang attunu kaluru' battu ri saraungna (menyulut rokok pada titik air tudungnya), Datoka ri Pa'gentungang attunu kaluru' ri kila' ta'bebea (menyulut rokok pada kilat yang menyambar) dan Tuanta Salamaka attunu kaluru' irawa je'ne ri tamparang la'bayya Mawang (menyulut rokok ke dalam air telaga Mawang). Di balik cerita yang berbungkus mistik itu tersirat ibarat sebuah pesan yang penting dari pengarang "Pau-pauanna Tuanta Salamaka (Hikayat Tuan nan Selamat). Datoka ri Pa'gentungang adalah personifikasi seorang atau sekelompok orang, atau suatu bangsa yang sigap memanfaatkan sekilas peristiwa yang terlintas di depannya. Bangsa Indonesia telah memanfaatkan sekilas peristiwa kevakuman kekuasaan untuk memaklumkan proklamasi kemerdekaan.
Dalam skala yang kecil, yaitu perorangan Sir Isaac Newton tergolong di dalamnya. Dia memanfaatkan sekilas peristiwa jatuhnya appel dari pohonnya. Dia dapat menangkap makna appel yang jatuh itu dari segi fisika. Appel jatuh karena ditarik bumi. Bumi dan semua benda mempunyai kekuatan menarik. Inilah pangkal mula terungkapnya salah satu TaqdiruLlah yang mengontrol alam semesta: gravitasi. 
Bahkan ada seorang lain memanfaatkan sekilas peristiwa yang bukan nyata, melainkan dari mimpi. Jangan dikacaukan dengan penafsiran mimpi untuk menebak nomor perjudian SDSB. Orang itu bernama Singer, seorang tukang jahit. Menjelang akhir tahun bertumpuk pesanan jahitan untuk keperluan tahun baru. Dalam keadaan pusing bagaimana ia dapat menyelesaikan pesanan jahitan yang bertumpuk itu, ia bermimpi dikejar-kejar orang yang mengancamnya dengan tombak. Dalam mimpinya ia ingat betul melihat ujung tombak itu berlubang. Setelah terjaga esok paginya ia menangkap makna ujung tombak yang berlubang itu. Singer lalu membuat jarum bukan pada pangkalnya seperti yang lazim, melainkan pada ujungnya yang runcing seperti tombak berlubang itu. Dan inilah kisah awal mula mesin jahit Singer.
Sebenarnya setiap orang pernah mengalami pemanfaatan sekilas peristiwa ini sekurang-kurangnya untuk dirinya sendiri, di luar bidang bisnis dan politik, seperti Newton dan Singer itu. Saya juga mempunyai pengalaman memanfaatkan sekilas peristiwa dalam bidang pemahaman ayat Al Quran, untuk memenuhi hasrat kepuasan intektual. 
Di dalam kehidupan beragama ketenteraman batin dan kepuasan intelektual keduanya merupakan satu kesatuan. Bahkan, ketenteraman batin tidak mungkin akan tercapai puncaknya, jika kepuasan intelektual tidak terpenuhi, karena manusia itu adalah makhluk berpikir. Pribadi yang telah mencapai puncak ketenteraman batin disebut muthmainnah. Dialog antara Allah dengan Nabi Ibrahim AS memberikan gambaran yang jelas tentang ketenteraman qalbu harus didahului oleh terpenuhinya hasrat intelektual itu.
Wa idz qaala Ibrahiemu Rabbi arinie kayfa tuhyi lmautaa, qaala awalam tu'min, qaala balaa walaakin liyuthmainna qalbie artinya, Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: "Wahai Maha Pengatur, perlihatkan padaku bagaimana Engkau menghidupkan yang mati". (Allah) berkata: "apakah engkau tidak percaya?" Berkata (Ibrahim): "Saya percaya, hanya saja untuk menenteramkan qalbuku".
Dalam ayat di atas pernyataan Ibrahim "bagaimana Engkau menghiduupkan yang mati" adalah tuntutan hasrat kepuasan intelektualnya untuk mendapatkan ketenteraman (liyuthmainna) qalbunya. Orang yang telah mendapatkan ketenteraman qalbu melalui pemenuhan hasrat intelektual disebut "rusyd". 
***
Kembali kepada hal cerita tentang pengalaman saya memanfaatkan sekilas peristiwa dalam bidang pemahaman ayat Al Quran. Ada sebuah ayat yang penjelasannya dalam kitab-kitab tafsir yang sempat saya baca, belum memenuhi betul hasrat kepuasan inteketual saya. Yaitu S. Luqman, 29, yang bunyinya demikian: "Alam tara annaLlaaha yuwliju llayla fi nnahaari wa yuwliju nnahaara fi llayli", artinya: Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Ada tafsir yang menjelaskan makna ayat itu dengan ayat pula: "Yukawwiru llayla 'ala nnahaari, wa yukawwiru nnahaara 'ala llayli." Kata yukawwiru dalam ayat di atas asal katanya kawwara artinya menggulung sorban. Jadi kata kuncinya menggulung. Maka arti ayat di atas itu: (Allah) Menggulung malam atas siang dan menggulung siang atas malam (S. Az Zumar 5). Jadi tafsirnya adalah: Terjadinya siang dan malam karena proses menggulung. Kita manusia yang ada di permukaan bumi bergerak menggulung mengikuti gerak perpusingan bumi pada sumbunya. Pada waktu kita berada pada permukaan bumi yang separuh kena cahaya matahari, maka itulah siang. Dan sebaliknya pada waktu kita berada pada separuh permukaan bumi yang gelap karena tidak kena cahaya matahari, itulah malam. 
Tafsir itu memang memenuhi hasrat kepuasan inteletual. Namu hanya untuk penjelasan S. Az Zumar 5 saja. Agak sukar kita terima untuk dijadikan pula penjelasan bagi S. Luqman 29 di atas itu. Tidak ada jembatan kesinambungan antara pengertian menggulung siang atas malam dengan memasukkan siang ke dalam malam. Artinya ada missing link diantara kedua pengertian menggulung dan memasukkan itu. 
Akhirnya saya memahami dengan puas makna ayat dalam S.Luqman 29 itu. Dan prosesnya sangat sederhana. Artinya bukan dengan jalan mengkaji kitab-kitab tafsir. Melainkan dengan memanfaatkan sekilas peristiwa, yang pada waktu itu saya dalam keadaan "relax". Pada musim panas di negeri Belanda tahun 1973, seorang Belanda manula, yang sama-sama menempati gedung pemukiman H.T.O. di Den Haag, menyapa saya dengan ucapan goeden avond yang berarti malam yang baik, atau selamat malam. Pada hal waktu itu matahari masih tinggi di atas ufuk, sekitar 30 derajat. Maklumlah di musim panas siang lebih panjang dari malam. Orang Belanda itu menyapa saya selamat malam pada hal hari masih siang. Buat saya inilah penjelasan memasukkan siang pada malam. 
Ya, selama ini sudah lama saya tahu dalam musim panas di daerah yang 4-musim, siang lebih panjang dari malam. Tetapi tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bahwa inilah penjelasan S. Luqman 29. Sangat sederhana penjelasannya, dan memenuhi hasrat kepuasan intelektual saya. Sama dengan Newton, tentu sudah lama ia pernah menyaksikan buah yang jatuh, tetapi baru waktu berbaring bersantai menyaksikan appel jatuh, terus terlintas dipikirannya sebagai penjelasan tentang penyebab appel itu jatuh. Yaitu kekuatan menarik bumi, gravitasi. 
Ya, menyulut rokok pada kilat yang berkilas, seperti yang dilakukan oleh Datoka ri Pa'gentungang dalam "Pau-pauanna Tuanta Salamaka (Hikayat Tuan nan Selamat). Mendapatkan jawaban pertanyaan dalam keadaan relax, yang telah dipikrkan selama ini. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 23 Agustus 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
[BACK]  [HOME]

044. Kemanusiaan, Kebangsaan dan Keetnikan

Baiklah kita mulai dengan yang ringan-ringan dahulu, yaitu cerita silat. Tokohnya seorang pendekar pedang yang buta Zato Ichi. Film ini terdiri atas beberapa seri. Ilmu silat pendekar buta ini lain dari yang lain. Caranya memegang pedang seperti memegang pisau, lebih banyak menusuk ketimbang menebas. Dalam salah satu seri Zato Ichi berkerja sama dengan dengan seorang samurai, yang tentu saja pendekar pedang juga, ya pendekar samurai. Keduanya mencari seorang pelukis yang diculik oleh sekelompok pengacau. Walaupun keduanya bekerja sama tetapi dengan motif sendiri-sendiri. Motivasi Zato Ichi adalah kemanusiaan, mempertemukan seorang balita dengan ayahnya, si pelukis itu. Balita itu anak yatim, ibunya meninggal, ayahnya diculik. Pendekar samurai itu adalah petugas kerajaan, mencari pelukis itu karena melanggar ketertiban. Lukisannya yang porno menyebar diperjual-belikan. 
Setelah keduanya berhasil melumpuhkan kelompok pengacau itu, terjadi pertikaian antara Zato Ichi dengan petugas itu. Zato Ichi ingin agar pelukis itu bebas. Alasannya ia melukis yang porno karena dipaksa. Lagi pula ada anaknya yang masih balita yang mesti dipelihara. Petugas kerajaan ingin menangkap pelukis itu untuk diadili, karena sudah melanggar hukum. Pertikaian diselesaikan dengan pedang. Akhirnya petugas kerajaan mengalah, walaupun keduanya sama-sama unggul bermain pedang.
Dalam cerita silat itu terjadi pertentangan antara kemanusiaan dengan rule of law, bagian dari disiplin nasional, salah satu unsur dari kesadaran berbangsa. Ringkasnya pengarang mempertentangkan kemanusiaan dengan kebangsaan, walaupun aklhirnya pengarang memenangkan kemanusiaan.
Sebuah cerita lagi, Taras Bulba, seorang pemimpin dan panglima perang dari etnik Kazak. Yang berperang untuk membebaskan etniknya dari Kerajaan Polandia. Cerita ini difokuskan pada pengepungan sebuah benteng Polandia oleh Taras Bulba. Seperti lazimnya waktu itu benteng tidak hanya dihuni oleh para serdadu, tetapi juga orang-orang sipil bermukim di dalamnya. Anak Taras
Bulba yang ditugaskan menyusup ke dalam benteng tidak tahan melihat penderitaan, anak-anak, perempuan, orang-orang jompo yang memperebutkan tikus yang baru berhasil ditangkap, untuk dimakan. Mereka itu kelaparan, korban perang, yang mereka tidak tahu menahu tentang perang itu. Lalu tanpa memberitahu ayahnya, ia menghalau sekawan ternak mendekati benteng keesokan harinya. Orang-orang Polandia di dalam benteng berhasil mendapatkan ternak potong itu. Akhir cerita Taras Bulba mengeksekusi anaknya karena pengkhianatan. Dalam cerita Taras Bulba ini kemanusiaan dipertentangkan dengan keetnikan, dan yang dimenangkan adalah keetnikan.
Dalam cerita Ramayana lain lagi. Rahwana menculik Shita, isteri Rama. Terjadi perang. Adik Rahwana yang bernama Kumbakarna, walaupun tahu dan mengakui kakaknya salah, ia tetap membela kakaknya. Prinsip Kumbakarna, right or wrong my country. Tidak sama dengan adik yang paling bungsu Wibiksana. Ia mengkhianati kakaknya dan memihak Rama. Ya untuk membela keadilan dan kebenaran, unsur penting dalam kemanusiaan. Dalam Ramayana ini kemanusiaan dipertentangkan dengan kebangsaan. 
Semestinya ketiga pengertian dalam judul di atas berjenjang turun bertangga naik. Ruang lingkup dan kedudukan kemanusiaan harus lebih luas dan lebih tinggi dari kebangsaan. Demikian pula kebangsaan harus lebih luas dan lebih tinggi dari keetnikan. Inilah yang disebut berjenjang turun. Sebaliknya keetnikan tidak boleh memecah kebangsaan dan demikian pula kebangsaan tidak boleh menginjak-injak kemanusiaan. Inilah yang disebut dengan bertangga naik. 
Dalam Dasar Negara Republik Indonesia, Kemanusiaan yang adil dan beradab kedudukaannya lebih tinggi dari Persatuan Indonesia. Nilai kemanusiaan lebih tinggi dari nilai kebangsaan. Kebanggaan berbangsa dan bertanah air Indonesia tidak boleh melampaui batas daerah ruang lingkup nilai kemanusiaan, bahwa bangsa-bangsa di dunia ini bersaudara, bahwa bangsa Indonesia tidak lebih dan tidak kurang dari bangsa lain. Selanjutnya nilai keetnikan diterima sebagai suatu kenyataan. Tetapi bukan keetnikan yang liar, melainkan keetnikan dalam ruang lingkup kebangsaan, Persatuan Indonesia. Nilai keetnikan itu dinyatakan dalam ungkapan: Binneka Tunggal Ika. Yang dalam nilai budaya etnik Makassar a'bulo sibatang, membuluh sebatang. Ruas-ruas dalam sebatang buluh melambangkan etnik yang berbeda-beda, tetapi merupakan sebuah kesatuan dalam sebatang buluh. Atau dalam ungkapan etnik Selayar: a'munte sibatu, melimau sebiji. Biji-biji limau melambangkan etnik-etnik yang berdempet diikat kesatuan oleh kulit limau. 
Kalau dalam ketiga cerita di atas itu terjadi pertentangan antara kemanusiaan, kebangsan dan keetnikan, ya itu hanya dalam cerita. Tapi dalam zaman modern ini, pertentangan itu betul-betul dalam kenyataan. Etnik Serbia menginjak-injak kemanusiaan, dan celakanya pula yang menjadi korban keganasan etnik Serbia ini adalah ummat Islam Bosnia-Herzegovina. Hitler, Fuehrer Nazi Jerman, menempatkan kebangsaan di atas kemanusiaan dengan kalimat terkenal: Deutchland ueber alles. Hitler ini menginjak-injak kemanusiaan dan korbannya adalah orang-orang Yahudi yang hidup secara eksklusif, yang mempunyai kebanggaan etnik, yang menganggap etniknya adalah etnik pilihan Tuhan.
Semestinya Yugoslavia (baca: Serbia Monte Negro) tidak perlu diundang untuk menghadiri KTT GNB, yang pada mulanya menyatakan tidak akan ikut KTT GNB, yang dengan tiba-tiba pula kemudian menyatakan akan menghadirinya juga. Alasan bahwa negara ini mempunyai hak diundang karena masih anggota GNB, sebenarnya bertolak dari asumsi yang lemah. Hak itu didapatkan dengan memenuhi kewajiban. Yugoslavia (baca: Serbia- Monte Negro) telah lalai melakukan kewajiban kemanusiaan, itu berarti dia sendiri telah menggugurkan haknya. 
Akhirnya ada suatu catatan sejarah yang kiranya sukar untuk dilampaui begitu saja. Yaitu pidato Bung Karno dalam forum Sidang Majelis Umum PBB pada 1 September 1960, yang merupakan picu terbentuknya GNB setahun kemudian. Pidato Bung Karno itu berjudul To build the world anew. Dalam permulaan pidatonya itu Bung Karno mengutip Firman Allah, S. Al Hjuraat, 13:
-- Yaa ayyuhanaas innaa khalaqnaakum min zakarin wa untsaa wa ja'alnaakum syu'uwban wa qabaaila lita'aarafuw inna akramakum 'inda Llaahi atqaakum,....
artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Bahwa sesungghnya yang paling mulia di antaramu ialah mereka yang lebih taqwa,....
S. Al Hjuraat, 13 menjelaskan ansinitas bertangga turun, paling atas nilai Ketaqwaan, turun kebawah nilai Kemanusiaan, turun ke bawah nilai Kebangsaan, turun ke bawah nilai Keetnikan.
Dua hari lagi KTT GNB akan dibuka di Jakarta. Mudah-mudahan Allah berkenan, sehingga membawa manfaat utamanya untuk kemanusiaan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 30 Agustus 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
[BACK]  [HOME]

045. Kemasan, Kejiwaan dan Sekat

Obat-obat paten lebih mahal dari obat-obat generik. Penyebabnya yang utama adalah kemasan. Dengan kemasan ongkos produksi bertambah, sehingga harga jual lebih tinggi, mahal. Demikian pula barang dagangan yang lain, kemasan dibuat untuk menarik pembeli. Rumah-rumah pelacuran dikemas dengan label panti hiburan, untuk mendapatkan izin. Dalam hal ini ada istilah yang khas, pelacuran berselubung.
Itulah yang trjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yang asli acapkali sengaja disembunyikan di balik kemasan. Oleh sebab itu perlu betul berhati-hati dalam hidup ini. Ada nasihat orang-orang tua dahulu, yang masih relevan hingga kini. Kalau ingin melihat keaslian wajah seorang gadis, lihatlah pada waktu baru bangun tidur, pada waktu sedang menuju sumur atau pancuran untuk mandi.
Ilmu jiwa menurut Al Quran, yang tentu saja berbeda dengan ilmu jiwa menurut Sigmund Freud, atau yang lain-lain, membuat klasifikasi kejiwaan dalam tiga tingkatan. Tingkat yang paling rendah adalah nafsun ammarah (S.Yusuf,53), tingkat menengah nafsun lawwamah (S.Al Qiyamah,2) dan tingkat tertinggi adalah nafsun muthmainnah (S.Al Fajr 27). Adapun nafsun ammarah adalah suatu kejiwaan (nafsun) yang bringas, yang primitif, yang merusak, yang umumnya menyangkut kepentingan biologis. Nafsun ammarah inilah yang menyebabkan malaikat protes ketika Allah bersabda kepada para malaikat: innie jaa'ilun fi l-ardhi khalifah, sesungguhnya akan kujadikan pengelola di atas bumi. Maka para malikat dalam nada protes menjawab: ataj'alu fiehaa, man yufsidu fiehaa, wa yasfiqu ddimaa, apakah Engkau menjadikan (manusia sebagai khalifah) di atasnya, yang merusak dan menumpahkan darah?
Dalam kehidupan sehari-hari kejiwaan jenis terendah ini dikenal dengan ungkapan hidup untuk makan. Dalam bahasa Indonesia istilah nafsu mempunyai konotasi yang negatif. Asal muasal konotasi negatif ini dari kejiwaan nafsun ammarah tersebut. Menurut bahasa Al Quran pengertian nafsun tidaklah berkonotasi negatif. Nafsun lawwamah adalah suatu kejiwaan yang dapat mengontrol diri untuk melawan, meredam, mengalahkan nafsun ammarah. Seorang pribadi dengan kejiwaan lawwamah ini, tidak mencuri bukan karena takut kepada polisi, melainkan karena kesadaran bahwa mencuri itu perbuatan jahat. Nasun lawwamah adalah sikap kejiwaan yang telah penuh dengan kesadaran. Adapun tingkat kejiwaaan yang tertinggi, nafsun muthmainnah, adalah suatu pribadi dengan sikap kejiwaan yang tenang, ibarat laut yang dalam. Nafsun ammarah sudah tidak dapat menembusnya ke atas. 
Nafsun ammarah tidak boleh diberi lahan untuk bertumbuh. Harus diciptakan lingkungan yang tidak memungkinkan nafsun ammarah ini bergerak. Akan tetapi dalam kehidupan kampus malahan nafsun ammarah ini diberi lahan untuk bergerak. Yaitu dikemas dengan apa yang kita kenal dengan Mapram, Opspek. Adapun kemasan yang berwujud opspek ini tampaknya bagus, akan tetapi apa yang ada dalam kemasan adalah lahan untuk nafsun ammarah, kebringasan, keprimitifan.

Setiap orang, setiap kelompok, mempunyai kebanggaan tentang identitas kelompoknya. Apakah kelompok itu suatu bangsa, akan mempunyai kebanggan nasional. Apakah itu kelompok pakar, akan mempunyai kebanggaan disiplin ilmu. Namun kebanggaan itu, apakah itu kebanggaan nasional, ataupun kebanggaan disiplin ilmu, jangan sampai kebanggaan itu menjadi sekat. Kebanggaan nasional tidak boleh menjadi sekat di antara bangsa-bangsa, karena bangsa-bangsa itu bersaudara dalam ruang lingkup kemanusian. Demikian pula kebanggaan disiplin ilmu itu tidak boleh menjadi sekat di antara disiplin-disiplin ilmu, karena disiplin-disiplin ilmu itu bersaudara dalam ruang lingkup keilmuan.

Dalam pembangunan memang penting iptek. Tetapi dengan iptek saja tujuan pembangunan tidak akan dicapai. Sebab yang dibangun bukanlah melulu bangunan-bangunan fisik. Adapun bangunan-bangunan fisik yang memerlukan iptek itu, hanyalah tujuan antara. Tujuan pembangunan adalah membangun manusia yang beradab, yang utuh. Dengan iptek saja tidak mungkin sampai kepada tujuan tercapainya manusia yang beradab dan utuh. Perlu disiplin ilmu yang lain, ya kesehatan, ya ekonomi, ya pertanian, ya sosial, ya politik, ya hukum, ya budaya, ya dan lain-lain. Semuanya penting, semuanya membentuk satu sistem. Tidak boleh ada sekat di antaranya.
Apa yang terjadi dalam tragedi Kampus Unhas Tamalanrea yang sangat memalukan, sangat memilukan, sangat disesalkan, adalah berpangkal dari adanya lahan bagi nafsun ammarah yang dikemas dengan opspek, dan dari adanya sekat di antara disiplin-disiplin ilmu, adanya dinding-dinding di antara fakultas-fakultas.
Maka untuk menghindari terulangnya kembali tragedi itu, opspek harus dihapus, sekat harus dihilangkan. Secara teknis dalam tahun pertama dibuat struktur gugus untuk menghilangkan sekat. Para mahasiswa dari bermacam-macam disiplin ilmu dicampur baur, tidak ada sekat. Struktur gugus dipertahankan hingga penyajian materi universitas, sebagai orientasi pengenalan kampus. Kemudian struktur gugus ini dilanjutkan dalam semester selanjutnya. Mata Kuliah Dasar Umum. Dalam MKDU ini para mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu dicampur, terjadi sosialisasi di antara para mahasiswa dari berbagai jenis disiplin ilmu. Kalau perlu dalam kurikulum diberikan semacam Studium Generale atas dasar kijken tussen de bomen, melihat di celah-celah pohon. Setiap disiplin ilmu saling melihat di antara celah-celah. 
Akhirulkalam marilah kita simak Firman Allah: -- FattaquLlaaha washlihuw dzaata baynikum, Maka taqwalah kepada Allah dan benahilah, perbikilah bengkalai yang ada di antara kamu. (S. Al Anfaal, 1). WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 6 September 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
[BACK]  [HOME]

046 MAWLID 

Walaupun Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada 12 Rabiulawwal, namun kelaziman di Indonesia hari lahir (mawlid) RasululLah diperingati dalam 3 bulan berturut-turut: Rabiulawwal, Rabiulakhir dan Jumadilawwal, yaitu dalam bulan ke-3, ke-4 dan ke-5 penanggalan Hijriyah. Bentuk peringatan itu juga bermacam-macam, seperti misalnya mulai dari bentuk membaca riwayat Nabi karya Ja'far Al Barzanji, ataupun dalam bentuk ceramah, sampai kepada diskusi-diskusi. Tidak ketatnya waktu dan bentuk peringatan itu dapat dimaklumi oleh karena dalam Al Quran tidak ada suruhan untuk memperingati kelahiran RasululLah, demikian pula di dalam sunnah, beliau tidak pernah menyuruh ummatnya untuk aktivitas tersebut.
Walaupun tidak ada dalam Al Quran maupun dalam sunnah Nabi, kelahiran RasululLah itu diperingati juga, karena dalam Al Quran dan sabda Nabi tidak ada larangan untuk memperingati mawlid.*) Lagi pula sesungguhnya dalam peringatan itu disampaikan pesan-pesan yang bernilai Islam. Dan itu berarti peringatan mawlid itu merupakan sub-sistem dari sistem pendidikan Islam, yaitu pendidikan informal yang termasuk dalam jenis pendidikan lingkungan. Adapun pendidikan informal itu, suatu sistem pendidikan yang tidak menuntut persyaratan formal, baik bagi yang menyampaikan pesan, maupun khalayak yang akan menerima pesan. Demikian pula tidak ada kurikulum tertentu, juga tidak mesti pada tempat yang tertentu. 
Meskipun peringatan mawlid yang sifatnya informal itu tidak mempunyai kurikulum tertentu, namun biasanya ada dua thema sentral dari pesan-pesan dalam peringatan-peringatan itu. Yang pertama adalah dari S. Al Ahzab 21, laqad kaana lakum fie rasulilLahi uswatun hasanah, adalah bagi kamu pada diri RasululLah terdapat teladan yang baik. Dan thema yang kedua adalah dari S. Al Anbiyaa' 157, wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil'aalamien, dan tidaklah Kuutus engkau (hai Muhammad) untuk rahmat bagi beberapa alam (alam sekitar, sumberdaya alam dan lingkungan hidup). 
Sebenarnya ada thema lain yang kurang begitu diperhatikan dalam peringatan mawlid ini. Rasulullah SAW pada waktu hijrah tiba di Madinah dalam bulan Rabiulawwal. Dengan demikian dilihat dari segi bulan, yaitu Rabiulawwal, mawlid Nabi tidak dapat dilepaskan dari thema hijrah. Memang seperti kita telah maklumi bersama dilihat dari segi tahun, peristiwa hijrah itu dijadikan patokan perhitungan tahun dalam sistem Penanggalan Hijriyah. Akan tetapi RasululLah pada waktu hijrah tidaklah sampai di Madinah dalam bulan Muharram, melainkan dalam bulan Rabiulawwal. 
Dalam menyambut mawlid Nabi SAW, maka isi tulisan ini mengambil thema hijrah. Hijrah adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam da'wah risalah (message) RasululLah SAW. Perjuangan Nabi SAW untuk menegakkan kebenaran, membawa risalah, berlangsung dalam dua tahap, yaitu tahap Makkiyah dan tahap Madaniyah. Dalam tahap yang pertama yaitu di Makkah, adalah tahap pembinaan aqiedah, pembinaan pribadi Muslim. Ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Makkah, yang disebut dengan ayat-ayat Makkiyah, kalimatnya pendek-pendek berisikan materi keimanan. Dalam periode Makkah ini ummat Islam menjadi maf'ulun bih, obyek, bulan-bulanan. Yaitu ummat Islam hidup dalam suasana lingkungan yang penuh tekanan, siksaan dan terror. Keadaan lingkungan yang demikian itu ibarat palu godam yang menempa pribadi-pribadi Muslim di Makkah itu menjadi mantap aqiedahnya, tahan uji, tahan derita, bermental baja. Ujian akhir pembinaan aqiedah itu terlaksana 20 bulan sebelum hijrah, yaitu peristiwa Isra-Mi'raj RasululLah SAW. Keimanan ummat Islam di Makkah diuji, percaya atau tidak, beriman atau kafir terhadap peristiwa itu. Maka terjadilah kristalisasi ummat Islam. Ada yang lulus dalam ujian keimanan ini, tetapi tidak kurang pula kembali menjadi kafir. Ummat Islam secara kwantitas menurun, namun secara kwalitas meningkat. Mereka inilah yang menjadi kaum Muhajirin, orang-orang berhijrah, 20 bulan kemudian. 
Peristiwa hijrah merupakan titik balik perjuangan RasululLah dan ummat Islam. Yaitu dari keadaan yang maf'ulun bih, obyek, di Makkah berbalik menjadi faa'il, subyek, pelaku di Madienah. Kaum Anshar di Madinah bersama-sama dengan kaum Muhajirin yang dari Makkah membina masyarakat dan Negara Islam di Madinah. Ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Madinah, yang disebut dengan ayat-ayat Madaniyah, kalimatnya panjang-panjang dan berisikan pedoman-pedoman tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seruan-seruan ayat-ayat bukan lagi ya ayyuhalladziena aamanuw, hai orang-orang beriman, melainkan menjadi ya ayyuhannaas, hai manusia. 
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara disebutkan bahwa Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya dan Pembangunan Masyarakat Indonesia. Maka secara intuitif Bangsa Indonesia mencontoh metode yang telah dilaksnakan oleh RasuluLlah SAW seperti yang dibahas di atas: pembangunan aqiedah, yaitu pemabangunan manusia seutuhnya di Makkah, yang disusul dengan pembangunan masyarakat di Madinah. Itu persamaannya. Perbedaannya ialah metode pembangunan Nabi SAW dilaksanakan secara beruntun, seri, pembangunan manusia lebih dahulu. Setelah manusianya selesai dibangun, barulah dilaksanakan pembangunan masyarakat. Artinya manusia-manusia yang akan membangun masyarakat itu telah siap dan matang untuk membangun. Sedangkan yang kita lakukan sekarang, pembangunan manusia dengan pembangunan masyarakat dilaksanakan secara serempak, paralel. Dengan demikian ada manusia yang sudah siap dan matang untuk membangun, namun tentu ada pula yang belum siap dan matang untuk membangun, disuruh juga membangun. Maka akibatnya Badan Pengawas Keuangan, Irjen, dan pengadilan menjadi sibuk dibuatnya. Inilah efek sampingan dari berpacu dengan waktu. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 13 September 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
*) Catatan dari Webmaster: mengenai "peringatan" (yang pada kenyataannya sudah mengarah ke "perayaan") Mawlid, kami ingin menegaskan fatwa para Ulama' yang terpercaya (misalnya Komisi Fatwa di Saudi Arabia) bahwa semua bentuk perayaan Mawlid adalah haram karena merupakan bid'ah (perkara agama yang diadakan-adakan dan tidak dicontohkan oleh Sunnah Nabi maupun praktek pengamalan para sahabat Rasulullah SAW). Kami katakan sebagai "perayaan" karena selalu diadakan pada waktu tertentu yang berulang setiap tahun. Karena kalau dikatakan sekedar untuk "peringatan" maka sesungguhnya mengingat Nabi, kehidupan dan perjuangannya harus senantiasa dilakukan kapan dan dimana saja tanpa perlu ditentukan waktunya. Peringatan dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW itu diwujudkan dalam bentuk banyak bershalawat dan mengamalkan Sunnahnya. Bila dikatakan bahwa peringatan Mawlid itu hanyalah untuk memanfaatkan salah satu momentum (dalam hal ini hari atau bulan kelahiran Nabi) untuk lebih menajamkan ingatan kita kepadanya dengan mengadakan kegiatan ceramah, nasehat atau pengajaran. Alasan ini sepertinya ada benarnya, namun perlu kita camkan bahwa mengambil kelahiran Nabi sebagai momentum untuk "peringatan" tersebut (kalau tidak dianggap "perayaan") adalah suatu cara, sistim atau tradisi dalam urusan agama yang tidak pernah dicontohkan sama sekali oleh para sahabat beliau, orang-orang yang paling memahami ajaran beliau, paling taat mengerjakan amal kebaikan dan paling mencintai Rasulullah SAW. Oleh karenanya, merupakan sikap dan cara beragama yang paling benar dan selamat adalah senantiasa menyegarkan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW dan sunnahnya di setiap waktu dan tempat, dan tidak mengaitkannya dengan kelahiran beliau. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa tradisi peringatan kelahiran Nabi dan tokoh-tokoh lainnya banyak dijalankan oleh golongan dan agama di luar Islam. Sedangkan kita dilarang menyerupai kaum kafir dan diperintahkan untuk berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan generasi pelanjutnya.  
[BACK]  [HOME]

047. Semestinya dan Sebaiknya

Dalam kehidupan sehari-hari kedua pengertian di atas itu biasanya tidak jelas atau kabur batasnya. Lazimnya yang sebaiknya itu meningkat menjadi seharusnya. Contoh yang sangat sederhana, beberapa tahun yang lalu para pelamar pekerjaan dimestikan melampirkan misalnya keterangan berkelakuan baik, keterangan dokter dll. Belakangan ini kedua keterangan itu baru dimestikan jika para pelamar itu telah diterima. Jadi sesungguhnya beberapa tahun yang lalu itu keterangan berkelakuan baik dan keterangan dokter itu bagi para pelamar sesungguhnya bukanlah yang semestinya melainkan hanya sebaiknya saja. Artinya apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu itu pengertian sebaiknya ditingkatkan menjadi semestinya.
Demikian pula pada waktu tragedi yang sangat memalukan di kampus Unhas yang baru lalu. Kelihatannya yang sebaiknya itu telah meningkat menjadi semestinya. Penanggung jawab keamanan, yaitu polisi sebaiknya menunggu rektor memberikan green light baru bertindak, itu kalau dilihat dari segi tatakrama, ya seperti berpakaian daulu baru sarapan. Tetapi karena negara kita ini
negara hukum, maka tentu saja peraturan perundang-undangan itu lebih kuat dari hanya sekadar tatakrama saja. Jadi semestinya penanggung jawab keamanan tidak perlu menunggu green light dari rektor. Dengan demikian alat negara dapat cepat bertindak, sehingga perang antara bom molotov dengan lemparan genting tidak sampai terjadi. Menunggu green light dari rektor dari sebaiknya ditingkatkan menjadi semestinya, pada hal waktu dalam hal ini sangat menentukan, tidak boleh terlambat. 
Dalam Hukum Islam ada klasifikasi yang berjenjang turun bertangga naik, yang dikaji dalam Ilmu Fiqh. Paling atas adalah semestinya. Setingkat di bawahnya sebaiknya. Setingkat di bawahnya terserah. Setingkat di bawahnya sebaiknya tidak. Dan tingkat paling bawah semestinya tidak. Inilah yang disebut hukumnya wajib, hukumnya sunnat, hukumnya mubah, hukumnya makruh dan hukumnya haram. Yang wajib hukumnya, berpahala kalau dikerjakan, berdosa kalau ditinggalkan. Yang sunnat hukumnya, berpahala kalau dikerjakan tidak berdosa kalau ditinggalkan. Yang mubah hukumnya, dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak berpahala dan tidak berdosa. Yang makruh hukumnya, tidak berdosa kalau dikerjakan berpahala kalau ditinggalkan. Yang haram hukumnya, berpahala kalau ditinggalkan berdosa kalau dikerjakan. Maka pola pikir dalam Ilmu Fiqh bukanlah pola yang black and white thinking, melainkan pola pikir yang berjenjang turun bertangga naik dengan 5 anak tangga. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 20 September 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
[BACK]  [HOME]

048 Musyawarah Cendekiawan Antar Agama 

Insya Allah mulai besok, Senin 28 September 1992 sampai dengan hari Kamis 1 Oktober 1992 di Kota Makassar ini akan berlangsung musyawarah cendekiawan antar agama yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Sulawesi Selatan bertempat di Wisma Nur, Jalan Onta Baru. Suatu musyawarah agar efektif, perlu sekali kejelasan dasar dan ruanglingkup musyawarah itu. Ini untuk menghindarkan silang pendapat yang bertele-tele, apa lagi ini menyangkut yang berpredikat antar agama, walaupun para pesertanya dikalangan kaum cendekiawan. 
Yang pertama, harus disadari bahwa setiap agama mempunyai identitas yang merupakan ciri khas yang membedakan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Jadi pada dasarnya setiap penganut agama yang dalam hal ini setiap peserta musyawarah perlu bertitik tolak dari kesepakatan tentang ketidak-samaan. Suatu kesepakatan tentang lakum dienukum wa liya dien. Bagimu agama kamu dan bagi kami agama kami. 
Pertama, masing-masing agama punya identitas. Identitas Islam adalah tawhied, seperti dalam S.Al Ikhlash. Qul huwa Llahu ahad. Allahu ssamaad.Lam yalid wa lam yuwlad. Wa lam yakun lahu qufuwan ahad. Katakanlah, Allah Maha Esa. Allah tempat bergantung. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tak suatu juapun yang setara denganNya. Identitas Nasrani apakah itu Katholik ataupun Kristen Protestan, adalah trinitas, Tuhan itu Esa, namun terdiri atas tiga oknum: Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Suci. Identitas Hindu adalah trimurti, Tuhan itu Esa, namun terdiri atas tiga wujud: Brahma, Wisynu dan Syiwa. Inilah keragaman, pluralitas ummat beragama di Indonesia yang sebaiknya disadari sebagai suatu kenyataan. 
Yang kedua, walaupun pokok-pokok kepercayaan yang berbeda, yang merupakan identitas agama itu masing-masing, sebaiknya pula disadari suatu kenyataan bahwa dalam aspek etika, moral, ada kesamaan di antara agama yang berbeda identitasnya itu. Tidak ada satu agamapun di Indonesia ini yang membenarkan perbuatan-perbuatan mencuri, merampok, memperkosa, berhubungan sex secara liar, membunuh, menipu, berdusta, berkhianat, menzalimi sesama manusia, berjudi, mabuk-mabukan dll. yang sejenisnya. Semua agama yang ada di Indonesia mengatakan bahwa semua perbuatan itu adalah tercela, harus dijauhi. Dalam hal yang sama inilah ummat beragama di Indonesia dapat bekerja sama sehingga terjadi kerukunan hidup. 
Yang ketiga, dalam soal menjalankan ibadah yang ritual. Inilah yang peka. Karena pekanya itu perlu sekali kesadaran tentang saling menghormati, saling tidak mengganggu dalam pelaksanaan ibadah yang ritual masing-masing. Saling menghormati, artinya tidak demonstratif. Di komplex yang hanya dihitung jari jumlah Islam di situ didirikan mesjid di tengah-tengah ummat Nasrani,
dan setiap Jum'at ummat Islam dari tempat lain diangkut ke sana untuk shalat Jum'at. Yang ini tidak pernah terjadi di Indonesia. Ataupun sebaliknya ditengah-tengah pemukiman ummat Islam yang hanya dihitung jari jumlah ummat Nasrani di situ didirikan gereja dan setiap hari Ahad ummat Nasrani dikerahkan ketempat itu. Yang ini biasa terjadi. Nah inilah yang dimaksud dengan demontratif, inilah yang peka. Inilah yang perlu dihindarkan, untuk kerukunan hidup. Saling tidak menganggu pelaksanaan ibadah yang ritual, artinya ummat yang beragama lain tidak boleh datang bercampur ke tengah-tengah ummat yang sedang melaksanakan ibadah ritual. Dalam melaksanakan ibadah Natalan misalnya, ummat Islam sebaiknya tidak datang bercampur yang sudah jelas dapat mengganggu pelaksanaan ibadah Natalan itu. Atau sebaliknya, seorang pejabat beragama Islam disuruh bakar lilin, yang merupakan rangkaian ibadah yang ritual. Itu artinya pejabat yang beragama Islam itu dilibatkan dalam ibadah ritual Natalan, yang biasanya dianggap sebagai suatu kehormatan dalam membakar lilin. Kasihanlah pejabat itu, karena dilihat dari segi agama sang pejabat yang Islam itu, adalah suatu perbuatan yang terlarang untuk ikut serta dalam sistem peribadatan yang ritual di luar Islam. Dan ini juga termasuk peka. Supaya kita saling menghindarkan diri dari perbuatan yang peka ini, demi kerukunan hidup antar ummat beragama. 
Yang keempat, tidak boleh ummat beragama lain disuruh meninggalkan agamanya secara paksa. Laa ikraaha fie ddien. Tidak boleh memaksa artinya tidak boleh agresif. Baik dalam hal informasi yang dikomunikasikan, berupa publikasi yang disebarkan. Ataupun dalam hal bentuk pemberian uang, berupa materi, kepada orang-orang miskin dalam bentuk kemasan sumbangan kemanusiaan dengan iming-iming konversi agama. Inilah yang disebut agresif. 
Maka demikianlah adanya. Inilah aturan berlalu-lintas dalam kehidupan beragama di Indonesia. Supaya tidak terjadi tabrakan di antara dinamika ummat beragama yang pluralistis itu. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 27 September 1992 [H.Muh.Nur Abdurrahman]
[BACK]  [HOME]

049 Pengajaran dan Pendidikan

Tulisan ini diangkat dari diskusi tentang pendidikan dalam Musyawarah Cendekiawan Antar Agama yang baru lalu. Diskusi yang oleh penyaji DR Makkulau dari IKIP mempergunakan model masukan, (input), proses, luaran (output), dengan beberapa masukan instrumen, antara lain kurikulum. Peristiwa tragis di Unhas tidak luput dari sorotan dalam diskusi itu. Bahkan penyaji makalah itu
menjadi saksi mata. Pasalnya waktu itu ia menjemput anaknya yang sedang diopspek di Fakultas Teknik. Sempatlah dia menyaksikan tragedi itu. Dan buat seorang pendidik seperti dia, dalam menyaksikan apa yang di depan matanya itu, dirasakannya sebagai ada sesuatu yang hilang dalam sistem pendidikan kita. 
Saya sebagai salah seorang penanggap dalam diskusi itu ikut mengemukakan pendapat tentang pernyataan pemakalah mengenai sesuatu yang hilang itu. Sebenarnya dalam beberapa seri yang lalu saya telah menulis tentang hal ini tetapi dilihat dari segi model yang berbeda, yaitu model nafsun ammarah, kemasan dan sekat.
Salah satu etika yang penting dalam suatu diskusi ialah penanggap sebaiknya ikut masuk dalam model penyaji, walaupun si penanggap punya model sendiri. Demikianlah dalam menanggapi itu saya kesampingkan model saya sendiri, dan mengikuti model input, proses, output. Saya melihat bahwa sesuatu yang hilang itu dapat kita ungkit dari kurikulum dan proses itu sendiri. Proses itu dikenal, bahkan sangat dikenal dengan ungkapan proses belajar mengajar. Ada pepatah yang berbunyi: bahasa menunjukkan bangsa. Saya ubah sedikit: ungkapan menunjukkan pola pikir. Dalam ungkapan itu tidak ada sama sekali kata kunci yang sangat penting: pendidikan. Jadi di sinilah sesuatu yang hilang itu, yaitu bermula dari pola pikir yang mencuekkan pendidikan. Bahwa apa yang penting adalah mentransfer ilmu belaka dalam proses itu. Pada hal dalam suatu konsep teoritik suatu kurikulum yang bulat dan utuh adalah harus mengandung: pengetahuan, keterampilan dan sikap. Mentransfer pengetahuan dan keterampilan itulah yang pengajaran, sedangkan mentransfer yang akan membuahkan sikap, yaitu meneruskan pesan nilai-nilai, itulah yang pendidikan. 
Karena ungkapan proses belajar mengajar yang menunjukkan pola pikir yang mencuekkan pendidikan itu, kurikulum yang dijabarkan dalam silabus, TIU ke TIK, dicuekkanlah pesan-pesan tentang nilai yang akan membentuk sikap dan watak anak didik. Tidak terkecuali tentang sikap yang dimulai mencintai alma mater, meningkat kepada mencintai sesama manusia dan seterusnya mencintai Allah dan RasulNya. Kurikulum yang dijabarkan dalam silabus, TIU dan TIK yang menghasilkan anak didik yang mencintai alma maternya tidaklah akan sampai hatinya akan membakar salah satu gedung dalam universitasnya. Anak didik yang mencintai dan menghormati alma maternya akan menjaga baik-baik alma maternnya itu. Tidaklah akan terjadi tragedi yang sangat memalukan itu. Memalukan oleh karena tidak pernah terjadi dalam sejarah di mana saja, mahasiswa sampai hati membakar, merusak kampusnya sendiri. 
Walhasil, ungkapan proses belajar mengajar harus diperbaiki, dengan memasukkan ke dalamnya kata kunci pendidikan. Lalu menjadilah ia dengan ungkapan proses mendidik dan belajar mengajar. Maka dengan demikian kurikulum itu akan dijabarkanlah secara sadar dalam keadaan keseimbangan penekanannya pada ketiga unsur: pengetahuan, keterampilan dan sikap, atau dan ini yang lebih baik: sikap, pengetahuan dan keterampilan. Suatu pekerjaan rumah bagi para pendidik, yang tentu saja bukan hanya dalam ruang lingkup pedidikan tinggi, melainkan dalam ruang lingkup yang lebih luas, mulai dari pendidikan taman kanak-kanak, sampai dengan pendidikan tinggi. 
Diskusi yang diceritakan di atas itu hanya terbatas dalam sistem pendidikan yang formal. Jikalau ini lebih diperluas ke dalam arena sistem pendidikan yang innformal, yang dalam hal ini difokuskan pada da'wah, maka apa yang terjadi keadaannya hampir sama. Dalam da'wah kelihatannya sekarang ini bobotnya hanya pada mentransfer pengetahuan tentang keIslaman. Tidaklah kita
bermaksud mengatakan bahwa mentransfer pengetahuan keIslaman dalam da'wah itu tidak penting. Itu penting, tetapi belumlah cukup. Ingat, dalam Al Quran ada ungkapan: yad'uwna ila lkhayr menyeru, mengajak kepada nilai-nilai kebaikan, menyampaikan pesan-pesan nilai yang dapat membentuk sikap yang baik. 
Contohnya mengenai shalat. Pengetahuan mengenai shalat yang betul menurut fiqh itu perlu untuk tertibnya shalat. Tetapi jangan hanya berhenti sampai di situ, karena shalat bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan. Apa tujuan shalat?, tanha 'ani lfahsyaai wa lmunkar, mencegah perbuatan keji dan munkar. 
Jadi da'wah itu bukan hanya sekadar untuk yang kognitif (pengetahuan), keterampilan menurut fiqh, melainkan harus dan ini yang terpenting, menyentuh hati nurani yang akan menghasilkan pola pikir yang Islami, yang selanjutnya sikap yang Islami dan selanjutnya lagi tingkah laku yang Islami. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 4 Oktober 1992 [H.Mih.Nur Abdurrahman]
[BACK]  [HOME]

050 Manusia Sebagai Khalifah Allah

Dalam tulisan mengenai Mawlid ada beberapa orang bertanya kepada saya tentang terjemahan ayat: Wa maa arslnaaka ilaa rahmatan li l'aalamien, dan tidaklah Kuutus engkau (hai Muhammad) selain rahmat bagi beberapa alam (alam sekitar, sumberdaya alam dan lingkungan hidup). Yang dipertanyakan ialah terjemahan al 'alamien yaitu bentuk jamak dari al 'aalam, yaitu keterangan dalam kurung, pengertian tentang alam sekitar, sumberdaya alam dan lingkungan hidup. 
Alam sekitar (surrounding) adalah alam yang belum dijamah manusia, kecuali untuk sumber informasi bagi sains. Tetapi itu tidak berarti bebas nilai, oleh karena sudah menyentuh keinginan manusia, yaitu dipilih sebagai sumber informasi untuk sains. Jadi sejak semula sains itu tidaklah bebas nilai. Awan di udara adalah alam sekitar, sumber informasi, dipelajari oleh sains bagaimana terjadinya hujan. Tidak bebas nilai oleh karena dipilih untuk dikaji, yang menghasilkan teknologi menabur awan guna kepentingan manusia. Di sini ada aliran informasi dari alam sekitar ke sains ke pengungkapan TaqdiruLlah ke teknologi.
Sumberdaya alam, juga adalah alam yang sudah sarat dengan nilai, dengan keinginan manusia untuk dimanfaatkan. Awan yang bergumpal-gumpal di udara yang ditabur dengan es kering atau iodida perak adalah sumberdaya alam, hujan dimanfaatkan untuk kebutuhan air manusia. Di sini terjadi aliran pemanfaatan dari sumberdaya alam ke sistem sosial, atau lengkapnya sistem politik ekonomi sosial budaya pertahanan keamanan (poleksosbudhankam).
Lingkungan hidup, juga alam yang mempunyai ciri yang disebut hidup. Pengertian hidup di sini jangan dikacaukan dengan makna hidup yang hakiki. Sangat sederhana pengertiannya, yaitu makhluk Allah yang dapat makan (termasuk minum dan bernafas), mengeluarkan kotoran, bertumbuh dan berkembang biak. Maka termasuklah di dalamnya tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. di sini terjadi aliran dampak negatif, pengrusakan, dari teknologi ke lingkungan hidup. 
Di samping aliran-aliran yang disebut di atas, ada pula aliran pemanfaatan dari teknologi ke sistem sosial, aliran pemberian nilai dari sistem sosial ke sains. Aliran terbalik dari sistem sosial ke teknologi yang sifatnya mengubah teknologi yang kita sebut teknologi tepat guna. Aliran terbalik dari teknologi ke sains yang sifatnya sebagai tekanan dari teknologi ke sains. Artinya teknologi membutuhkan pengungkapan TaqdiruLlah oleh sains untuk efisiensi. Misalnya setelah ditemukannya mesin uap oleh James Watt, dibutuhkan ilmu baru untuk efisiensi mesin uap itu. Lalu didapatkanlah ilmu termodinamika (thermodynamics) dan ilmu pengantar kalor (heat transfer). Aliran terbalik dari sains ke sistem sosial, berupa pengaruh. Sains yang maju dapat memberi pengaruh kepada masyarakat untuk menjadi masyarakat ilmiyah. Makin maju sains makin meningkat kecenderungan suatu masyarakat menjadi masyarakat ilmiyah, minimal masyarakat kampus.
Demikianlah, dengan model di atas itu kita perkenalkan tiga macam aliran: aliran satu arah yang terbuka, aliran satu arah yang tertutup, dan aliran tertutup yang melingkar. Aliran satu arah yang terbuka: alam sekitar ke sains ke teknologi ke lingkungan hidup. Aliran satu arah yang tertutup: sumberdaya alam ke sistem sosial. Aliran tertutup yang melingkar: sistem sosial - sains ke teknologi kembali ke sistem sosial dan arus baliknya dari sistem sosial ke teknolgi ke sains kembali ke sistem sosial.
Aliran-aliran itu saling mempengaruhi. Misalnya makin intensif aliran dari sumberdaya alam ke sistem sosial, makin gencar pula aliran dari teknologi ke lingkungan hidup. Contohnya, makin banyak sistem sosial menguras bahan bakar, makin gencar pula teknologi mengirim gas CO2 ke lingkungan hidup. Makin serakah sistem sosial menghabiskan bahan bakar (termasuk balap mobil dalam olah raga), makin menebal lapisan CO2, yang berakibat globalisasi pencemaran thermal, oleh efek rumah kaca. Suhu bumi naik, es di kutub mencair, air laut naik. Walhasil makin serakah pemakain bahan bakar dapat menyebabkan banjir seperti di zamannya Nabi Nuh alaihissalaam. 
Dan dimanakah letak manusia dalam model di atas itu? Pertama, manusia menempati alam sekitar sebagai sumber informasi bagi sains. Misalnya pengkajian pembuahan sperma terhadap sel telur di luar rahim manusia, yang menghasilkan teknologi bayi tabung. Kedua, manusia menempati sumberdaya alam, karena tenaga otak dan ototnya dimanfaatkan untuk sistem sosial. Ketiga, manusia menempati lingkungan hidup, karena manusia adalah makhluk hidup yang menderita dampak negatif dari teknologi. Keempat, manusia menempati sistem sosial, karena manusia adalah anggota sistem tersebut. Dan yang kelima, inilah yang terpenting, manusia menempati aliran tertutup yang melingkar. Di situlah spesi manusia berfungsi sebagai khalifah Allah di atas permukaan bumi. Memberikan nilai pada aliran tersebut. Misalnya dalam pemilihan tentang sumber informasi dari alam yang mana sajakah yang bernilai untuk dikaji. Apakah ada nilainya pengkajian pembuahan sel telur oleh sperma di luar rahim, yamg menghasilkan teknologi bayi tabung dan teknologi bank sperma. Sikap hidup yang bagaiamana yang harus dipilih sehingga sistem sosial dapat berhemat sumberdaya alam. Teknologi yang bagaimana yang harus diterapkan sehingga dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup dapat diperkecil sekecil-kecil mungkin dan lain lain dan lain. 
Dan jawabannya sangat sederhana, yaitu nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh kitab suci, nilai-nilai yang diajarkan oleh para Rasul, mulai dari Rasul permulaan, Nabi Adam 'Alaihissalaam sampai kepada Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad SallaLlahu 'Alaihi wa Sallam. Dan inilah makna dari wa maa arsalnaaka illaa rahmatan li l'aalamien. WaLlahu a'lamu bishshawab.

No comments:

Post a Comment

ini komentar