Saturday, 5 December 2015

CARA CERDAS BERINTERAKSI DENGAN AL-QUR’AN


CARA CERDAS BERINTERAKSI DENGAN AL-QUR’AN

Oleh Muhamad Mujari, ST

Alumni Ponpes Takwinul Muballighin-Jogja

IKHLASKAN NIAT

NIAT merupakan kata kunci dalam setiap amal perbuatan, termasuk amal dalam rangka mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an. Para ulama salafus sholih, senantiasa memulai setiap tulisan dalam kitab-kitab mereka dengan pembahasan masalah niat. Karena memang niat inilah yang sangat menentukan kualitas amal seseorang, apakah akan diterima atau ditolak oleh Allah SWT. Maka jauh-jauh hari Rasulullah mengingatkan dalam Sabda Beliau,

Sesungguhnya hanyalah, segala amal tergantung pada niat. Dan setiap orang akan beramal sesuai dengan apa yang ia niatkan.(HR Bukhori-Muslim)

Fudhail bin ”iyadh berkata, Meninggalkan suatu perbuatan karena manusia adalah perbuatan riya’, melakukan sesuatu karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas adalah tatkala Allah menjaga Anda dari dua penyakit di atas.

Setelah kita memutuskan untuk mengakrabkan diri berinteraksi dengan Al-Qur’an, maka kita harus segera membenahi semua yang ada dalam hati kita, bersihkan segala penyakit hati, murnikan niat hanya karena Allah SWT semata, jangan campuri niat-niat kita karena selainNYA. Mari kita sadari bahwa kita akan segera bergelut dengan firman Allah SWT yang suci dan mulia. Sangat tidak pantas ayat-ayat cintaNYA tercampuri oleh jiwa-jiwa yang kotor.

SYARAT BERINTERAKSI DENGAN AL-QURAN

Secara umum– tanpa membedakan apapun jenis ilmunya– para salafush shalih telah meletakkan beberapa syarat mendapatkan ilmu. Imam Asy-Syafi'i mengatakan dalam sebuah sya'irnya:

Bait sya'ir di atas menegaskan syarat-syarat yang harus ada pada siapa saja yang ingin menuntut ilmu, beriteraksi dengan atau menghafal Al-qur'an, yaitu:

1. Memiliki kecerdasan (dzaka')

Kecerdasan terbagi menjadi dua: pertama, kecerdasan yang mutlak merupakan pemberian dan anugerah dari Allah swt. Kedua, kecerdasan yang bisa diupayakan oleh manusia, misalnya cerdas dalam mengulang, cerdas dalam mengatur waktu, cerdas dalam menjaga belajar, cerdas dalam memilih tempat dsb.

Kita sadar, setiap kita secara kodrat memiliki tingkat kecerdasan yang tidak sama. Ada orang yang hanya dengan sedikit melihat, mendengar dan membaca, ia langsung bisa menyerapnya. Inilah orang tipe pertama, yang secara kodrat diberikan kecerdasan oleh Allah. Tapi sebaliknya, ada juga orang yang sangat lambat dalam merespon materi yang ia peroleh. Inilah tipe orang kedua. Meskipun demikian, bukan berarti tipe orang kedua adalah orang yang tidak bisa cerdas. Jika ia dengan penuh kesabaran mengusahakan kecedasan tersebut niscaya ia akan cerdas melebihi tipe orang yang pertama.

2. Kemauan/ keinginan keras (hirsh)

Azzam, tekat, keinginan yang kuat adalah kata-kata yang semakna dengan hirsh. Semua itu adalah kesadaran hati untuk melakukan amal yang dikehendaki atau semacam dorongan yang kuat yang senantiasa terdetak dalam hati. Seseorang yang mempunyai kemauan / keinginan, cenderung akan sungguh-sungguh mengupayakan dalam amal perbuatan. Tetapi karena banyaknya godaan yang dihadapi, kemauan tersebut bisa berkurang bahkan lenyap sama sekali dari hati. Maka dari itu, saat ada hirsh kebaikan dalam hati kita, hendahnya segera kita berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkannya.

3. Sungguh-sungguh (ijtihad)

Maknanya secara umum adalah mencurahkan segala potensi dan kekuatan untuk meraih sesuatu yang diinginkan. Tapi yang dimaksud ijtihad di sini (baca: dalam hal interaksi dengan Al-Qur’an) adalah himmah 'aliyah, mutaba'ah yaumiyah dan banyak muroja'ah (mengulang). Bukan ijtihad dalam pandangan ulama Ushul Fiqih. Atau dengan kata lain ijtihad di sini adalah, bentuk aplikasi dari hirsh (baca: kemauan/ keinginan yang kuat)

Man jadda wa jada. Begitulah pepatah arab mengingatkan kita. Barang siapa bersungguh-sungguh maka ia akan memperoleh hasil dari kesungguhannya tersebut. Cita-cita yang tinggi tidak mungkin dapat diraih hanya dengan keinginan dan angan-angan, akan tetapi keinginan harus disertai kemauan keras dan usaha dengan penuh kesungguhan. Begitu juga halnya dengan belajar dan menghafal Al-Qur'an. Bagi siapa saja yang sungguh-sungguh dalam ”mendekatinya”, niscaya ia akan mendapatkan manisnya buah dari usaha tersebut, berupa ”kedekatan dengan Al-Qur’an”, sehingga ia layak dimasukkan dalam golongan ahlul Qur’an. Tiada balasan yang lebih baik bagi ahlul Qur’an selain Ridho Allah SWT, karena ahlul Qur’an derajatnya disejajarkan oleh Allah dengan para Malaikat dan Nabi yang telah diberi wahyu.

4. Bekal (bulghoh)

Maksudnya adalah bekal yang bisa menghantarkan sorang thalibul ilmi kepada ilmu yang dicita-citakan. Yaitu bekal berupa tenaga atau harta yang dihasilkan dengan cara dan melalui jalan yang halal. Boleh jadi, secara kasat mata kita telah menghabiskan banyak harta yang kita miliki dalam rangka menuntut ilmu, tetapi harus kita yakinkan bahwa hasil berupa ilmu itu nilainya jauh lebih besar dari harta bahkan dunia seisinya.

5. Berteman Dengan Ustadz ( Shuhbatul Ustadz)

Maksudnya adalah mulazamah dan disiplin mendatangi ustadz atau murabbinya yang akan membawanya ke jalan yang lurus. Menghafal dan mempelajari Al-Quran tidak mungkin dapat dilakukan tanpa guru yang sabar dan tekun di dalam memberikan ilmu dan bimbingannya.

6. Waktu Yang Lama (thuluzzaman)

Sebagian orang mempunyai minat thalabul ilmi hanya sementara. Pada awalnya memiliki semangat menghadiri majlis, mendatangi ustadz dengan penuh kesungguhan, mencurahkan harta dan tenaganya, kemudian setelah melewati beberapa saat semangat itu pudar.

Menuntut ilmu tidak cukup hanya dengan menghadiri majlis sekali atau dua kali, sebulan atau dua bulan, ia memerlukan waktu yang lama, kesabaran dan ketekunan. Imam Baihaqi meriwayatkan dalam Syu'abil Iman dari Abdullah bin Mubarak, ia berkata:

لا ينال العلم إلا بالفراغ والمال والحفظ والورع

"Ilmu tidak akan dapat diraih kecuali dengan meluangkan

waktu, harta, menghafal dan waro'."



FADHO’ILUL QUR’AN

Ketertarikan kita terhadap sesuatu tergantung pada pengetahuan kita tentang kelebihan atau manfaat (fadho’il) dari sesuatu tersebut. Agar manusia tertarik dengan Al-Qur’an maka manusia harus tahu tentang kelebihan dan manfaat al-Qur’an. Oleh karena itu Rasulullah SAW banyak menjelaskan fadhilah al-Qur’an kepada ummat Beliau, yang terekam dalam hadits-hadits Beliau yang shahoh dan Sharif. Di antara fadhilah al-Qur’an tersebut yaitu:

1. Mempelajari al-Qur’an adalah sebaik-baik kesibukan.

Barang siapa yg disibukkan al-Qur’an dalam rangka berdzikir dan memohon kepadaKu, niscaya akan Aku berikan sesuatu yang lebih utama dari apa yang telah Ku berikan pada orang-orang yang meminta. Dan keutamaan Kalam Allah atas seluruh kalam selainNya adalah seperti keutamaan Allah atas makhlukNya (HR Turmudzi)

2. Allah SWT mengangkat derajat Ahlul Qur’an (baca: orang-orang yang senantiasa berinteraksi dengan al-Qur’an) menjadi keluargaNYA.

Sesungguhnya diantara manusia terdapat keluarga Allah. Para Sahabat bertanya, “Siapakah mereka Ya Rasulullah?”. Rasul menjawab, “Mereka hádala ahlul Qur’an, mereka keluarga Allah dan orang-orang pilihanNya” (HR Ahmad)

3. Al-Qur’an adalah kenikmatan yang harus didamba-dambakan

Tidak boleh iri kecuali terhadap dua kenikmatan, kepada seorang yang diberi Al-Qur’an oleh Allah kemudian ia membacanya sepanjang malam dan siang, dan orang yang diberi harta oleh Allah lalu ia membelanjakannya di jalan Allah sepanjang malam dan siang (HR Bukhori)

4. Ahlul Qur’an disejajarkan derajatnya oleh Allah dengan para Malaikat atau Nabi yang telah diberi wahyu. Sementara orang yang bacaannya masih terbata-bata dianugerahi dua pahala.

Orang yang pandai berinteraksi dengan Al-qur’an akan bersama malaikat yang mulia dan taat, sedangkan orang yang membaca al-Qur’an terbata-bata dan merasa kesulitan akan mendapatkan dua pahala (HR Muslim).

5. Ahlul Qur’an paling berhak menjadi imam dalam sholat berjama’ah,

Yang berhak menjadi imam adalah yang paling banyak interaksinya dengan Al-Qur’an (HR Muslim)

6. Ahlul Qur’an adalah orang yang selalu mendapat ketenangan, rahmat, naungan malaikat serta namanya disebut-sebut oleh Allah SWT.

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali turun kepada mereka ketenangan, diliputi Rahmat, dikelilingi malaikat, dan Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan makhluk yang ada di dekatNya (HR Muslim)

7. Ahlul Qur’an adalah orang yang mendaparkan kebaikan dari Allah.

Sebaik-baik kalian hádala yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya (HR Bukhori)

8. Al-Qur’an menjadi pemberi syafa’at bagi manusia yang menjadi sabatina.

Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat menjadi pemberi syafa’at bagi orang-orang yang bersahabat dengannya (HR Bukhori)

9.  Al-Qur’an mengangkat kedudukan manusia di surga.

Dikatakan kepada shohibul Qur’an, bacalah dan naiklah dan nikmatillah sebagaimana kamu menikmati bacaan Al-Qur’an di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu di akhir ayat yang kamu baca. (HR Abu Dawud & Turmudzi)

10. Al- Qur’an sumber pahala bagi orang yang beriman

Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka baginya satu kebaikan, satu kebaikan akan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim, itu satu huruf, namun alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf (HR Turmudzi)

11. Al-Qur’an kelak mengangkat derajat orang tua di akhirat bagi yang berhasil mendidik anaknya dengan Al-Qur’an

Barang siapa yang belajat Al-Qur’an dan mengamalkannya akan diberikan kepada kedua orang tuanya pada hari kiamat mahkota yang cahayanya lebih indah dari cahaya matahari. Kedua orang tua tersebut akan berkata, “mengapa kami diberi ini?” Maka dijawab, “Karena anakmu yang telah mempelajari Al-Qur’an” (HR Abu Dawud, Ahmad & Al Hakim)



 ‘ULUUMUL QUR’AN

Kata ‘Uluum adalah bentuk jamak dari ‘ilmu yang artinya ilmu/ pengetahuan/ wawasan. Jadi ‘uluumul qur’an adalah ilmu-ilmu atau pengetahuan seputar Al-Qur’an. Dengan mempelajari ‘uluumul qur’an, seseorang akan mengetahui lebih dalam tentang seluk-beluk al-Qur’an. Adapun beberapa hal yang terkait dengan ‘uluumul qur’an antara lain:

1. Definisi Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang merupakan mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat Jibril as., yang ditulis dalam mush-haf, diriwayatkan secara mutawatir, dan bernilai Ibadan dalam membacanya.

Dari definisi di atas, maka kalam Allah yang diturunkan kepada selain Nabi Muhammad SAW, seperti Taurat, Zabur, Injil dan shuhuf Ibrohiim tidak dinamakan Al-Qur’an. Demikian halnya dengan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tetapi tidak dimasukkan ke dalam mush-haf, juga tidak dinamakan Al-Qur’an, tapi disebut hadits qudsi

Al-Qur’an sebagi mu’jizat, artinya Al-Qur’an merupakan sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa seorang manusia dan jin dapat menandinginya, karena hal itu di luar kesanggupannya. (QS Al Isra’: 88)

2. Nama-nama Al-Qur’an

Allah SWT memberi nama kitabNYA dengan nama Al-Qur’an yang berarti bacaan (QS Al-Qiyamah:17-18, QS Al Isra’:88, QS Al Waqi’ah:77). Selain nama Al-Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain, diantaranya:

* Al Kitab (QS Al Baqoroh: 2)

* Adz Dzikr (QS Hijr: 9)

* Al Furqon (QS Al Furqon:1)

* Al Burhan

* Al Mubiin

* Al Munazzal

* An Nuur

* Al Huda

* Asy Syafa’, dll

3. Nama-nama Surat Al-Qur’an

Nama-nama surat dalam Al-Qur’an, batas-batas tiap surat, urutan surat serta susunan ayat-ayatnya merupakan tauqifi, yakni menurut ketentuan yang telah ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah berdasarkan wahyu dan perintah Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril. Surat-surat dalam Al-Qur’an ditinjau dari segi panjang pendeknya terbagi 4 bagian:

1. As Sab’uth Thiwaal, tujuh surat yang panjang yaitu Al-Baqoroh, Ali Imran, An Nisaa’, Al Maidah, Al An’aam, Al A’raf dan Yunus.

2. Al Mi’uun, surat yang jumlah ayatnya lebih dari 100 ayat, seperti Hud, Yusuf dsb

3. Al Matsani, surat yang jumlah ayatnya kurang dari 100 ayat, seperti surat al anfal

4. Al Mufashshol, surat yang jumlah ayatnya sekitar 50 ayat atau kurang, terdiri dari surat-surat pendek seperti surat2 pada juz 30, 29, 28, 27 dst....

4. Pembagian Al-Qur’an

Sejak zaman sahabat telah ada pembagian Al-Qur’an menjadi ½ , 1/3 dsb. Pembagian tersebut hanya untuk mempermudah dalam menghafal dan bacaan dalam sholat. Pembagian tersebut semula tidak ditulis dalam mush-hsf, baru pada masa Al Hajjaj bin Yusuf ditambahkan istilah-istilah baru yg ditulis di dalam atau tepi mush-haf. Pembagian tersebut ialah, pembagian Al-Qur’an menjadi 30 juz, 60 hizb dan 554 ruku’

Dalam rangka mempermudah proses belajar dan hafalan al-Qur’an, rata-rata para hafizh di seluruh dunia menggunakan mush-haf standar (mush-haf pojok) karena setiap halaman berakhirkan nomor ayat, dan setiap halaman terdiri dari 15 baris. Satu juz terdiri dari 10 lembar atau 20 halaman.

5. Nuzulul Qur’an

Nuzulul Qur’an (turunnya Al-Qur’an) dibedakan menjadi dua macam yaitu pertama turunnya Al-Qur’an dari Lauhul Mahfuzh ke baitul ‘izzah di langit dunia, yang mana peristiwa ini terjadi pada tgl 17 Ramadhan 610M, tapi ada juga ulama yg mengatakan tgl 24 Ramadhan. Kedua turunnya al-Qur’an dari langit dunia kepada Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril, dalam waktu secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Diantara hikmahnya adalah:

1. Untuk menguatkan dan meneguhkan hati Rasulullah saw (QS Al Furqon: 32)

2. Sebagai tantangan dan mu’jizat

3. Memudahkan dalam menghafal dan pemahaman

4. Penetapan hukum yang bertahap

5. Bukti yang pasti bahwa al-Qur’an adalah dari Allah SWT.

Ayat yang pertama diturunkan kepada Rasulullah adalah QS Al ‘Alaq 1-5, sebagaimana hadits riwayat Bukhori-Muslim dari ‘Aisyah r.a., “Sesungguhnya wahyu yang mula-mula diturunkan kepada Rasulullah ialah ar ru’ya ash-sholihah (mimpi yang benar) diwaktu tidur. Setiap kali bermimpi beliau melihat ada yg datang bagaikan cahaya terang di pagi hari. Kemudian beliau lebih suka menyendiri. Beliau pergi ke Gua Hira’ untuk beribadah beberapa malam. Setiap berangkat Rasulullah membawa bekal. Setelah habis bekal beliau pulang ke rumah Khodijah. Di gua hira’ beliau dikejutkan oleh suara kebenaran. Seorang malaikat datang kepadanya dan mengatakan iqro’ (bacalah). Rasulullah menceritakan, Maka akupun menjawab, Aku tidak bisa membaca. Malaikat tersebut kemudian memelukku sehingga aku merasa amat payah, lalu aku lepaskan. Setelah itu ia merangkulku untuk kedua kalinya sampai aku kepayahan. Kemudian ia lepaskan lagi, dan ia berkata lagi, iqro’! Aku menjawab, Aku tidak bisa membaca. Maka ia merangkulku ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian ia berkata:



Ayat yang terakhir diturunkan, menurut pendapat yang paling kuat adalah QS Al Baqoroh: 281. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat An Nasai dan lainnya dari Ibnu Abbas ra., Setelah turun ayat ini Rasulullah masih menjalani masa hidupnya 9 hari, kemudian Beliau wafat pada hari Senin 3 Rabi’ul Awwal.

Adapun yang mengatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah QS Al Maidah: 3, adalah kurang tepat, karena ayat tersebut diturunkan ketida Rasulullah melaksanakan haji wada’. Sedangkan seusai haji wada’ Beliau masih menjalani masa hidup selama 81 hari.

6. Jam’ul Qur’an

Jam’ul Qur’an (pengumpulan al-Qur’an) mengandung 2 makna, pertama menghafal di dalam hati, kedua menulis dan membukukan. Sahabat yang terkenal dalam bidang al-Qur’an adalah 7 hafizh, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mu’aqqil, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sukun dan Abu Darda. Penulisan Al-qur’an terdiri dari 3 periode, masa Rasulullah, masa Abu Bakr dan masa Usman bin Affan.

1. Penulisan Pada Masa Rasulullah SAW

Rasulullah telah mengangkat para sahabat sebagai penulis-penulis wahyu, diantaranya: ’Ali, Mu’awiyah, Ubay bi Ka’ab, Zaid bin Tsabit. Bila turun ayat, rasulullah memerintahkan mereka untuk menuliskannya. Kemudian para sahabat menuliskan al-Qur’an pada sarana yang sangat terbatas dan sederhana, semisal pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit, daun kayu, pelana atau potongan tulang binatang. Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul oleh para sahabat dalam menulis al-Qur’an karena tidak adanya alat tulis yang lengkap. Sehingga pada masa itu al-Qur’an belum rapi dan belum tersusun dlam bentuk mush-haf

2. Penulisan Pada Masa Abu Bakar As Shiddiq

Penulisan al-qur’an pada masa Abu Bakar adalah dalam rangka menjaga keutuhan al-Qur’an agar tidak hilang seiring dengan banyaknya para penghafal al-Qur’an yang syahid di medan jihad (kurang lebih 70 hufazh), pada peristiwa perang Yamamah th 12 H. Melihat keadaan ini, Umar bin Khattab merasa sangat khawatir, kemudian beliau meminta agar khalifah mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an karena khawatir al-Qur’an akan musnah. Pada awalnya Abu bakar menolak usulan itu, karena tidak pernah dilakukan dan dianjurkan oleh Rasulullah. Tetapi Umar terus membujukknya dengan berbagai argumen yang mendasar, sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usulan tersebut/ Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk meneliti dan menghimpun al-Qur’an. Pada mulanya Zaid juga menolah, namun demi kemaslahatan, akhirnya Zaid menerima tugas tersebut dengan lapang dada. Zaid bin Tsabit memulai tugas yang sangat berat ini dengan bersandarkan pada hafalan dan catatan para penulis wahyu di zaman Rasulullah. Setelah lembaran-lembaran tersebut dihimpun dan ditulis, selanjutnya disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat maka berpindah ke tangan ‘Umar. Dan setelah ‘Umar wafat mush-haf tersebut berpindah ke tangan Hafsah binti Umar, Ummul Mu’minin.

3. Penulisan Pada Masa ‘Utsman bin ‘Affan

Penulisan al-Qur’an pada masa ’Utsman bin ’Affan (25H) adalah dalam rangka menyatukan berbagai macam perbedaan bacaan yang beredar di masyarakat saat itu.

Penyebaran Islam bertambah luas dan para hufazh tersebar ke berbagai wilayah, diantaranya ketika terjadi peperangan di kawasan Armenia dan Azarbaijan (Uni Soviet). Tentara muslimin yang berperang ada yang berasal dari Irak dan Syiria.

Pada suatu ketika Huzaifah bin Al yaman melihat ada perbedaan dalam bacaan al-Qur’an dengan saudara muslim lainnya. Melihat kenyataan ini Huzaifah menghadap Khalifah ’Utsman dan melaporkan apa yang dilihatnya. Khalifah segera memprakarsai penulisan ulang al-Qur’an dengan tujuan agar kaum muslimin mempunyai rujukan tulisan al-Qur’an yang benar-benar shahih dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kata lain, khalifah ’Utsman mempersatukan mush-haf (tauhidul mushahif). Selanjutnya ’Utsman membentuk tim, yang terdiri dari: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin ’Amr bin Ash, Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, dan Abdullah Ibnu ’Abbas. Menurut riwayat yang masyhur, jumlah mush-haf yang ditulis pada masa ’Utsman ada 4 buah. Satu mush-haf disimpan d rumah beliau di Madinah sementara lainnya dikirim ke Basrah, Kuffah dan Syiria.

7. Rosm ‘Utsmani

Rasm ’Utsmani adalah bentuk penulisan al-Qur’an yang telah desepakati oleh Kholifah ’Utsman bin ’Affan pada saat penulisan mush-haf. Rasm ’utsmani berbeda dengan rosm Imla’i. Pada aslinya, rosm ’utsmani tidak ada tanda titik untuk membedakan jenis huruf. Juga tidak ada harokat fathah, kasroh dan dhommah. Namun para sahabat tidak mengalami kesulitan membacanya karena mereka penghafal al-Qur’an. Kemudian pada masa selanjutnya dilakukan kodifikasi titik, harokat dan waqof-washol.

8. Makkiyah Madaniyyah

Berdasarkan tempat dan peristiwa turunnya, ayat-ayat al-Qur’an dibedakan menjadi ayat makkiyyah dan madaniyyah. Ayat-ayat makkiyah dapat diketahui dari ciri kasnya sebagai berikut:

a. Diturunkan di Mekkah dan sekitarnya

b. Di dalamnya mengandung sajdah

c. Mengandung kata Yaa ayyuhannaas

d. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumen terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyyah

e. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlaq mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zholim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.

f. Suku katanya pendek-pendek disertai dengan kata-kata yang mengesankan sekali. Pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terasa sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun menyakinkan dengan diperkuat lafadz-lafadz sumpah.

Adapun ayat-ayat madaniyyah dapat diketahui berdasarkan ciri sebagai berikut:

a. Diturunkan di madinah dan sekitarnya (sesudah hijrah)

b. Setiap yat berisi kewajiban atau had (sanksi)

c. Menjelaskan tentang ibadah, mu’amalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik di waktu damai maupun perang, ketatanegaraan, kaidah hukum dan masalah undang-undang

d. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dengan gaya bahasa yang memantapkan syari’at serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.

Referensi:



At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, An-Nawawi

Ulumul Qur’an; Program Tahsin Tahfizh, Ahmad Muzammil MF

No comments:

Post a Comment

ini komentar