CARA CERDAS BERINTERAKSI
DENGAN AL-QUR’AN
Oleh Muhamad Mujari, ST
Alumni Ponpes Takwinul
Muballighin-Jogja
IKHLASKAN NIAT
NIAT merupakan kata kunci dalam setiap
amal perbuatan, termasuk amal dalam rangka mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an.
Para ulama salafus sholih, senantiasa memulai setiap tulisan dalam kitab-kitab
mereka dengan pembahasan masalah niat. Karena memang niat inilah yang sangat
menentukan kualitas amal seseorang, apakah akan diterima atau ditolak oleh
Allah SWT. Maka jauh-jauh hari Rasulullah mengingatkan dalam Sabda Beliau,
Sesungguhnya hanyalah,
segala amal tergantung pada niat. Dan setiap orang akan beramal sesuai dengan
apa yang ia niatkan.(HR Bukhori-Muslim)
Fudhail bin ”iyadh berkata, Meninggalkan
suatu perbuatan karena manusia adalah perbuatan riya’, melakukan sesuatu karena
manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas adalah tatkala Allah menjaga Anda dari dua penyakit di atas.
Setelah kita memutuskan untuk mengakrabkan
diri berinteraksi dengan Al-Qur’an, maka kita harus segera membenahi semua yang
ada dalam hati kita, bersihkan segala penyakit hati, murnikan niat hanya karena
Allah SWT semata, jangan campuri niat-niat kita karena selainNYA. Mari kita
sadari bahwa kita akan segera bergelut dengan firman Allah SWT yang suci dan mulia. Sangat
tidak pantas ayat-ayat cintaNYA tercampuri oleh jiwa-jiwa yang kotor.
SYARAT BERINTERAKSI DENGAN
AL-QURAN
Secara umum– tanpa membedakan apapun jenis
ilmunya– para salafush shalih telah meletakkan beberapa syarat mendapatkan
ilmu. Imam Asy-Syafi'i mengatakan dalam sebuah sya'irnya:
Bait sya'ir di atas menegaskan
syarat-syarat yang harus ada pada siapa saja yang ingin menuntut ilmu,
beriteraksi dengan atau menghafal Al-qur'an, yaitu:
1. Memiliki kecerdasan
(dzaka')
Kecerdasan terbagi menjadi dua: pertama,
kecerdasan yang mutlak merupakan pemberian dan anugerah dari Allah swt. Kedua,
kecerdasan yang bisa diupayakan oleh manusia, misalnya cerdas dalam mengulang,
cerdas dalam mengatur waktu, cerdas dalam menjaga belajar, cerdas dalam memilih
tempat dsb.
Kita sadar, setiap kita secara kodrat
memiliki tingkat kecerdasan yang tidak sama. Ada orang yang hanya dengan
sedikit melihat, mendengar dan membaca, ia langsung bisa menyerapnya. Inilah
orang tipe pertama, yang secara kodrat diberikan kecerdasan oleh Allah. Tapi
sebaliknya, ada juga orang yang sangat lambat dalam merespon materi yang ia
peroleh. Inilah tipe orang kedua. Meskipun demikian, bukan berarti tipe orang
kedua adalah orang yang tidak bisa cerdas. Jika ia dengan penuh kesabaran
mengusahakan kecedasan tersebut niscaya ia akan cerdas melebihi tipe orang yang
pertama.
2. Kemauan/ keinginan
keras (hirsh)
Azzam, tekat, keinginan yang kuat adalah
kata-kata yang semakna dengan hirsh. Semua itu adalah kesadaran hati untuk melakukan amal yang
dikehendaki atau semacam dorongan yang kuat yang senantiasa terdetak dalam
hati. Seseorang yang mempunyai kemauan / keinginan, cenderung akan
sungguh-sungguh mengupayakan dalam amal perbuatan. Tetapi karena banyaknya
godaan yang dihadapi, kemauan tersebut bisa berkurang bahkan lenyap sama sekali
dari hati. Maka dari itu, saat ada hirsh kebaikan dalam hati kita, hendahnya
segera kita berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkannya.
3. Sungguh-sungguh
(ijtihad)
Maknanya secara umum adalah mencurahkan
segala potensi dan kekuatan untuk meraih sesuatu yang diinginkan. Tapi yang
dimaksud ijtihad di sini (baca: dalam hal interaksi dengan Al-Qur’an) adalah himmah 'aliyah, mutaba'ah yaumiyah dan
banyak muroja'ah (mengulang). Bukan ijtihad dalam pandangan ulama Ushul Fiqih.
Atau dengan kata lain ijtihad di sini adalah, bentuk aplikasi dari hirsh (baca:
kemauan/ keinginan yang kuat)
Man jadda wa jada. Begitulah pepatah arab mengingatkan kita. Barang siapa
bersungguh-sungguh maka ia akan memperoleh hasil dari kesungguhannya tersebut. Cita-cita
yang tinggi tidak mungkin dapat diraih hanya dengan keinginan dan angan-angan,
akan tetapi keinginan harus disertai kemauan keras dan usaha dengan penuh
kesungguhan. Begitu juga halnya dengan belajar dan menghafal Al-Qur'an. Bagi
siapa saja yang sungguh-sungguh dalam ”mendekatinya”, niscaya ia akan
mendapatkan manisnya buah dari usaha tersebut, berupa ”kedekatan dengan
Al-Qur’an”, sehingga ia layak dimasukkan dalam golongan ahlul Qur’an. Tiada
balasan yang lebih baik bagi ahlul Qur’an selain Ridho Allah SWT, karena ahlul
Qur’an derajatnya disejajarkan oleh Allah dengan para Malaikat dan Nabi yang
telah diberi wahyu.
4. Bekal (bulghoh)
Maksudnya adalah bekal yang bisa
menghantarkan sorang thalibul ilmi kepada ilmu yang dicita-citakan. Yaitu bekal
berupa tenaga atau harta yang dihasilkan dengan cara dan melalui jalan yang
halal. Boleh jadi, secara kasat mata kita telah menghabiskan banyak harta yang
kita miliki dalam rangka menuntut ilmu, tetapi harus kita yakinkan bahwa hasil
berupa ilmu itu nilainya jauh lebih besar dari harta bahkan dunia seisinya.
5. Berteman Dengan
Ustadz ( Shuhbatul Ustadz)
Maksudnya adalah mulazamah dan disiplin
mendatangi ustadz atau murabbinya yang akan membawanya ke jalan yang lurus.
Menghafal dan mempelajari Al-Quran tidak mungkin dapat dilakukan tanpa guru
yang sabar dan tekun di dalam memberikan ilmu dan bimbingannya.
6. Waktu Yang Lama
(thuluzzaman)
Sebagian orang mempunyai minat thalabul
ilmi hanya sementara. Pada awalnya memiliki semangat menghadiri majlis,
mendatangi ustadz dengan penuh kesungguhan, mencurahkan harta dan tenaganya,
kemudian setelah melewati beberapa saat semangat itu pudar.
Menuntut ilmu tidak cukup hanya dengan
menghadiri majlis sekali atau dua kali, sebulan atau dua bulan, ia memerlukan
waktu yang lama, kesabaran dan ketekunan. Imam Baihaqi meriwayatkan dalam
Syu'abil Iman dari Abdullah bin Mubarak, ia berkata:
لا ينال العلم إلا بالفراغ والمال والحفظ والورع
"Ilmu tidak akan
dapat diraih kecuali dengan meluangkan
waktu, harta, menghafal
dan waro'."
FADHO’ILUL QUR’AN
Ketertarikan kita terhadap sesuatu
tergantung pada pengetahuan kita tentang kelebihan atau manfaat (fadho’il)
dari sesuatu tersebut. Agar manusia tertarik dengan Al-Qur’an maka manusia
harus tahu tentang kelebihan dan manfaat al-Qur’an. Oleh karena itu Rasulullah
SAW banyak menjelaskan fadhilah al-Qur’an kepada ummat Beliau, yang terekam
dalam hadits-hadits Beliau yang shahoh dan Sharif. Di antara fadhilah al-Qur’an
tersebut yaitu:
1. Mempelajari al-Qur’an adalah sebaik-baik
kesibukan.
Barang siapa yg
disibukkan al-Qur’an dalam rangka berdzikir dan memohon kepadaKu, niscaya akan
Aku berikan sesuatu yang lebih utama dari apa yang telah Ku berikan pada
orang-orang yang meminta. Dan keutamaan Kalam Allah atas seluruh kalam
selainNya adalah seperti keutamaan Allah atas makhlukNya (HR Turmudzi)
2. Allah SWT mengangkat derajat Ahlul Qur’an
(baca: orang-orang yang senantiasa berinteraksi dengan al-Qur’an) menjadi
keluargaNYA.
Sesungguhnya diantara
manusia terdapat keluarga Allah. Para Sahabat bertanya, “Siapakah mereka Ya
Rasulullah?”. Rasul menjawab, “Mereka hádala ahlul Qur’an, mereka keluarga
Allah dan orang-orang pilihanNya” (HR Ahmad)
3. Al-Qur’an adalah kenikmatan yang harus
didamba-dambakan
Tidak boleh iri kecuali
terhadap dua kenikmatan, kepada seorang yang diberi Al-Qur’an oleh Allah
kemudian ia membacanya sepanjang malam dan siang, dan orang yang diberi harta
oleh Allah lalu ia membelanjakannya di jalan Allah sepanjang malam dan siang
(HR Bukhori)
4. Ahlul Qur’an disejajarkan derajatnya oleh
Allah dengan para Malaikat atau Nabi yang telah diberi wahyu. Sementara orang
yang bacaannya masih terbata-bata dianugerahi dua pahala.
Orang yang pandai
berinteraksi dengan Al-qur’an akan bersama malaikat yang mulia dan taat,
sedangkan orang yang membaca al-Qur’an terbata-bata dan merasa kesulitan akan
mendapatkan dua pahala (HR Muslim).
5. Ahlul Qur’an paling berhak menjadi imam
dalam sholat berjama’ah,
Yang berhak menjadi
imam adalah yang paling banyak interaksinya dengan Al-Qur’an (HR Muslim)
6. Ahlul Qur’an adalah orang yang selalu
mendapat ketenangan, rahmat, naungan malaikat serta namanya disebut-sebut oleh
Allah SWT.
Tidaklah suatu kaum
berkumpul di salah satu rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya di
antara mereka, kecuali turun kepada mereka ketenangan, diliputi Rahmat,
dikelilingi malaikat, dan Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan makhluk
yang ada di dekatNya (HR Muslim)
7. Ahlul Qur’an adalah orang yang mendaparkan
kebaikan dari Allah.
Sebaik-baik kalian
hádala yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya (HR Bukhori)
8. Al-Qur’an menjadi pemberi syafa’at bagi
manusia yang menjadi sabatina.
Bacalah Al-Qur’an,
sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat menjadi pemberi syafa’at bagi
orang-orang yang bersahabat dengannya (HR Bukhori)
9. Al-Qur’an mengangkat kedudukan manusia di
surga.
Dikatakan kepada
shohibul Qur’an, bacalah dan naiklah dan nikmatillah sebagaimana kamu menikmati
bacaan Al-Qur’an di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu di akhir ayat yang kamu
baca. (HR Abu Dawud & Turmudzi)
10. Al- Qur’an sumber pahala bagi orang yang
beriman
Barang siapa yang
membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka baginya satu kebaikan, satu kebaikan
akan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim, itu satu
huruf, namun alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf (HR Turmudzi)
11. Al-Qur’an kelak mengangkat derajat orang
tua di akhirat bagi yang berhasil mendidik anaknya dengan Al-Qur’an
Barang siapa yang
belajat Al-Qur’an dan mengamalkannya akan diberikan kepada kedua orang tuanya
pada hari kiamat mahkota yang cahayanya lebih indah dari cahaya matahari. Kedua
orang tua tersebut akan berkata, “mengapa kami diberi ini?” Maka dijawab,
“Karena anakmu yang telah mempelajari Al-Qur’an” (HR Abu Dawud, Ahmad & Al
Hakim)
‘ULUUMUL QUR’AN
Kata ‘Uluum
adalah bentuk jamak dari ‘ilmu yang artinya
ilmu/ pengetahuan/ wawasan. Jadi ‘uluumul qur’an adalah ilmu-ilmu atau
pengetahuan seputar Al-Qur’an. Dengan mempelajari ‘uluumul qur’an, seseorang
akan mengetahui lebih dalam tentang seluk-beluk al-Qur’an. Adapun beberapa hal
yang terkait dengan ‘uluumul qur’an antara lain:
1. Definisi Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang
merupakan mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan
malaikat Jibril as., yang ditulis dalam mush-haf, diriwayatkan secara
mutawatir, dan bernilai Ibadan dalam membacanya.
Dari definisi di atas, maka kalam Allah
yang diturunkan kepada selain Nabi Muhammad SAW, seperti Taurat, Zabur, Injil
dan shuhuf Ibrohiim tidak dinamakan Al-Qur’an. Demikian halnya dengan firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tetapi tidak dimasukkan ke dalam
mush-haf, juga tidak dinamakan Al-Qur’an, tapi disebut hadits qudsi
Al-Qur’an sebagi mu’jizat, artinya
Al-Qur’an merupakan sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa seorang manusia
dan jin dapat menandinginya, karena hal itu di luar kesanggupannya. (QS Al
Isra’: 88)
2. Nama-nama Al-Qur’an
Allah SWT memberi nama kitabNYA dengan
nama Al-Qur’an yang berarti bacaan (QS Al-Qiyamah:17-18, QS Al Isra’:88, QS Al
Waqi’ah:77). Selain nama Al-Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain,
diantaranya:
* Al Kitab (QS Al Baqoroh: 2)
* Adz Dzikr (QS Hijr: 9)
* Al Furqon (QS Al Furqon:1)
* Al Burhan
* Al Mubiin
* Al Munazzal
* An Nuur
* Al Huda
* Asy Syafa’, dll
3. Nama-nama Surat Al-Qur’an
Nama-nama surat dalam Al-Qur’an,
batas-batas tiap surat, urutan surat serta susunan ayat-ayatnya merupakan tauqifi,
yakni menurut ketentuan yang telah ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah
berdasarkan wahyu dan perintah Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril.
Surat-surat dalam Al-Qur’an ditinjau dari segi panjang pendeknya terbagi 4
bagian:
1. As Sab’uth Thiwaal, tujuh surat yang panjang yaitu Al-Baqoroh, Ali Imran, An
Nisaa’, Al Maidah, Al An’aam, Al A’raf dan Yunus.
2. Al Mi’uun, surat yang jumlah ayatnya lebih dari 100 ayat, seperti Hud,
Yusuf dsb
3. Al Matsani, surat yang jumlah ayatnya kurang dari 100 ayat, seperti surat
al anfal
4. Al Mufashshol, surat yang jumlah ayatnya sekitar 50 ayat atau kurang,
terdiri dari surat-surat pendek seperti surat2 pada juz 30, 29, 28, 27 dst....
4. Pembagian Al-Qur’an
Sejak zaman sahabat telah ada pembagian
Al-Qur’an menjadi ½ , 1/3 dsb. Pembagian tersebut hanya untuk mempermudah dalam
menghafal dan bacaan dalam sholat. Pembagian tersebut semula tidak ditulis
dalam mush-hsf, baru pada masa Al Hajjaj bin Yusuf ditambahkan istilah-istilah
baru yg ditulis di dalam atau tepi mush-haf. Pembagian tersebut ialah,
pembagian Al-Qur’an menjadi 30 juz, 60 hizb dan 554 ruku’
Dalam rangka mempermudah proses belajar
dan hafalan al-Qur’an, rata-rata para hafizh di seluruh dunia menggunakan
mush-haf standar (mush-haf pojok) karena setiap halaman berakhirkan nomor ayat,
dan setiap halaman terdiri dari 15 baris. Satu juz terdiri dari 10 lembar atau
20 halaman.
5. Nuzulul Qur’an
Nuzulul Qur’an (turunnya Al-Qur’an)
dibedakan menjadi dua macam yaitu pertama turunnya Al-Qur’an dari Lauhul
Mahfuzh ke baitul ‘izzah di langit dunia, yang mana peristiwa ini terjadi pada
tgl 17 Ramadhan 610M, tapi ada juga ulama yg mengatakan tgl 24 Ramadhan. Kedua
turunnya al-Qur’an dari langit dunia kepada Rasulullah SAW melalui malaikat
Jibril, dalam waktu secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun.
Diantara hikmahnya adalah:
1. Untuk menguatkan dan meneguhkan hati Rasulullah
saw (QS Al Furqon: 32)
2. Sebagai tantangan dan mu’jizat
3. Memudahkan dalam menghafal dan pemahaman
4. Penetapan hukum yang bertahap
5. Bukti yang pasti bahwa al-Qur’an adalah
dari Allah SWT.
Ayat yang pertama diturunkan kepada
Rasulullah adalah QS Al ‘Alaq 1-5, sebagaimana hadits riwayat Bukhori-Muslim
dari ‘Aisyah r.a., “Sesungguhnya wahyu
yang mula-mula diturunkan kepada Rasulullah ialah ar ru’ya ash-sholihah (mimpi
yang benar) diwaktu tidur. Setiap kali bermimpi beliau melihat ada yg datang
bagaikan cahaya terang di pagi hari. Kemudian beliau lebih suka menyendiri.
Beliau pergi ke Gua Hira’ untuk beribadah beberapa malam. Setiap berangkat
Rasulullah membawa bekal. Setelah habis bekal beliau pulang ke rumah Khodijah.
Di gua hira’ beliau dikejutkan oleh suara kebenaran. Seorang malaikat datang
kepadanya dan mengatakan iqro’ (bacalah). Rasulullah menceritakan, Maka akupun
menjawab, Aku tidak bisa membaca. Malaikat tersebut kemudian memelukku sehingga
aku merasa amat payah, lalu aku lepaskan. Setelah itu ia merangkulku untuk
kedua kalinya sampai aku kepayahan. Kemudian ia lepaskan lagi, dan ia berkata
lagi, iqro’! Aku menjawab, Aku tidak bisa membaca. Maka ia merangkulku ketiga
kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian ia berkata:
Ayat yang terakhir diturunkan, menurut
pendapat yang paling kuat adalah QS Al Baqoroh: 281. Pendapat ini berdasarkan
hadits riwayat An Nasai dan lainnya dari Ibnu Abbas ra., Setelah turun ayat ini
Rasulullah masih menjalani masa hidupnya 9 hari, kemudian Beliau wafat pada hari
Senin 3 Rabi’ul Awwal.
Adapun yang mengatakan bahwa ayat yang
terakhir turun adalah QS Al Maidah: 3, adalah kurang tepat, karena ayat
tersebut diturunkan ketida Rasulullah melaksanakan haji wada’. Sedangkan seusai
haji wada’ Beliau masih menjalani masa hidup selama 81 hari.
6. Jam’ul Qur’an
Jam’ul Qur’an (pengumpulan al-Qur’an) mengandung 2 makna, pertama menghafal
di dalam hati, kedua menulis dan membukukan. Sahabat yang terkenal dalam bidang
al-Qur’an adalah 7 hafizh, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mu’aqqil,
Muadz bin Jabbal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sukun dan Abu
Darda. Penulisan Al-qur’an terdiri dari 3 periode, masa Rasulullah, masa Abu
Bakr dan masa Usman bin Affan.
1. Penulisan Pada Masa
Rasulullah SAW
Rasulullah telah mengangkat para sahabat
sebagai penulis-penulis wahyu, diantaranya: ’Ali, Mu’awiyah, Ubay bi Ka’ab,
Zaid bin Tsabit. Bila turun ayat, rasulullah memerintahkan mereka untuk
menuliskannya. Kemudian para sahabat menuliskan al-Qur’an pada sarana yang
sangat terbatas dan sederhana, semisal pelepah kurma, lempengan batu, daun
lontar, kulit, daun kayu, pelana atau potongan tulang binatang. Ini menunjukkan
betapa besar kesulitan yang dipikul oleh para sahabat dalam menulis al-Qur’an
karena tidak adanya alat tulis yang lengkap. Sehingga pada masa itu al-Qur’an
belum rapi dan belum tersusun dlam bentuk mush-haf
2. Penulisan Pada Masa Abu
Bakar As Shiddiq
Penulisan al-qur’an pada masa Abu Bakar
adalah dalam rangka menjaga keutuhan al-Qur’an agar tidak hilang seiring dengan
banyaknya para penghafal al-Qur’an yang syahid di medan jihad (kurang lebih 70
hufazh), pada peristiwa perang Yamamah th 12 H. Melihat keadaan ini, Umar bin
Khattab merasa sangat khawatir, kemudian beliau meminta agar khalifah
mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an karena khawatir al-Qur’an akan musnah.
Pada awalnya Abu bakar menolak usulan itu, karena tidak pernah dilakukan dan
dianjurkan oleh Rasulullah. Tetapi Umar terus membujukknya dengan berbagai
argumen yang mendasar, sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usulan tersebut/
Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk meneliti dan menghimpun
al-Qur’an. Pada mulanya Zaid juga menolah, namun demi kemaslahatan, akhirnya
Zaid menerima tugas tersebut dengan lapang dada. Zaid bin Tsabit memulai tugas
yang sangat berat ini dengan bersandarkan pada hafalan dan catatan para penulis
wahyu di zaman Rasulullah. Setelah lembaran-lembaran tersebut dihimpun dan
ditulis, selanjutnya disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat maka
berpindah ke tangan ‘Umar. Dan setelah ‘Umar wafat mush-haf tersebut berpindah
ke tangan Hafsah binti Umar, Ummul Mu’minin.
3. Penulisan Pada Masa
‘Utsman bin ‘Affan
Penulisan al-Qur’an pada masa ’Utsman bin
’Affan (25H) adalah dalam rangka menyatukan berbagai macam perbedaan bacaan
yang beredar di masyarakat saat itu.
Penyebaran Islam bertambah luas dan para
hufazh tersebar ke berbagai wilayah, diantaranya ketika terjadi peperangan di
kawasan Armenia dan Azarbaijan (Uni Soviet). Tentara muslimin yang berperang
ada yang berasal dari Irak dan Syiria.
Pada suatu ketika Huzaifah bin Al yaman
melihat ada perbedaan dalam bacaan al-Qur’an dengan saudara muslim lainnya.
Melihat kenyataan ini Huzaifah menghadap Khalifah ’Utsman dan melaporkan apa
yang dilihatnya. Khalifah segera memprakarsai penulisan ulang al-Qur’an dengan
tujuan agar kaum muslimin mempunyai rujukan tulisan al-Qur’an yang benar-benar
shahih dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kata lain, khalifah ’Utsman
mempersatukan mush-haf (tauhidul
mushahif). Selanjutnya ’Utsman membentuk tim, yang
terdiri dari: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin ’Amr bin Ash,
Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, dan Abdullah Ibnu ’Abbas. Menurut riwayat
yang masyhur, jumlah mush-haf yang ditulis pada masa ’Utsman ada 4 buah. Satu
mush-haf disimpan d rumah beliau di Madinah sementara lainnya dikirim ke
Basrah, Kuffah dan Syiria.
7. Rosm ‘Utsmani
Rasm ’Utsmani adalah bentuk penulisan
al-Qur’an yang telah desepakati oleh Kholifah ’Utsman bin ’Affan pada saat
penulisan mush-haf. Rasm ’utsmani berbeda dengan rosm Imla’i. Pada aslinya,
rosm ’utsmani tidak ada tanda titik untuk membedakan jenis huruf. Juga tidak
ada harokat fathah, kasroh dan dhommah. Namun para sahabat tidak mengalami
kesulitan membacanya karena mereka penghafal al-Qur’an. Kemudian pada masa
selanjutnya dilakukan kodifikasi titik, harokat dan waqof-washol.
8. Makkiyah Madaniyyah
Berdasarkan tempat dan peristiwa turunnya,
ayat-ayat al-Qur’an dibedakan menjadi ayat makkiyyah dan madaniyyah. Ayat-ayat
makkiyah dapat diketahui dari ciri kasnya sebagai berikut:
a. Diturunkan di Mekkah dan sekitarnya
b. Di dalamnya mengandung sajdah
c. Mengandung kata Yaa ayyuhannaas
d. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya
kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan,
hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumen
terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat
kauniyyah
e. Peletakan dasar-dasar umum bagi
perundang-undangan dan akhlaq mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu
masyarakat dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan
harta anak yatim secara zholim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan
tradisi buruk lainnya.
f. Suku katanya pendek-pendek disertai dengan
kata-kata yang mengesankan sekali. Pernyataannya singkat, di telinga terasa
menembus dan terasa sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun
menyakinkan dengan diperkuat lafadz-lafadz sumpah.
Adapun ayat-ayat madaniyyah dapat
diketahui berdasarkan ciri sebagai berikut:
a. Diturunkan di madinah dan sekitarnya
(sesudah hijrah)
b. Setiap yat berisi kewajiban atau had
(sanksi)
c. Menjelaskan tentang ibadah, mu’amalah,
had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional baik
di waktu damai maupun perang, ketatanegaraan, kaidah hukum dan masalah
undang-undang
d. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang
dengan gaya bahasa yang memantapkan syari’at serta menjelaskan tujuan dan
sasarannya.
Referensi:
At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an,
An-Nawawi
Ulumul Qur’an; Program Tahsin Tahfizh,
Ahmad Muzammil MF
No comments:
Post a Comment
ini komentar