TILAWAH Al-QUR’AN
& ADAB-ADABNYA
MAKNA AL-QUR’AN
Secara bahasa
Al-Qur’an berarti bacaan; kumpulan khabar-khabar dan hukum-hukum. Sedangkan
secara syari’at, Al-Qur’an merupakan kalamullah Ta’ala yang diturunkan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diawali dengan surat Al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat An-Nas. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa :
“Sesungguhnya
telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) sebuah Al-Qur’an dengan
sebenar-benarnya turun.” (Al-Insaan: 23).
Al-Qur’an Al-Karim
adalah undang-undang yang menghimpun hukum-hukum Islam. Sebagai sumber dari
segala sumber hukum, Al-Qur’an menjadi sumber yang melimpahi kebaikan dan
hikmah pada kalbu-kalbu yang beriman. Al-Qur’an merupakan jalan yang paling
utama untuk digunakan oleh orang yang beribadah dengan cara membacanya untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.
KEWAJIBAN TERHADAP
AL-QUR’AN
Seorang hamba yang
talah menyatakan dirinya muslim dan beriman kepada Allah, MalaikatNya,
Kitab-kitabNya dan rukun iman lainnya, maka ia mempunyai kewajiban terhadap
Al-Qur’an, yang merupakan salah satu dari kitan-kitab Allah Ta’ala.
Kewajiban-kewajiban itu nantara lain:
Beriman terhadap
Al-Qur’an. Konsekuensi pertama keimanan seorang mukmin terhadap Al-Qur’an
adalah mempelajarinya, membacanya sekaligus men-tadabburi-nya untuk
mendapatkan nasehat dan pelajaran yang ada di dalamnya. Sebagaimana salah satu
sifat Al-Qur’an adalah sebagai mau’izhah (nasihat; pelajaran). Firman
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa:
“Hai sekalian
manusia, telah datang kepada kalian mau’izhah dari Rabb kalian.” (Yunus:
57).
Demikian juga
menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam menempuh perjalanan menuju Allah,
dan dalam rangka inilah Al-Qur’an diturunkan. .
FirmanNya:
“Sesungguhnya
Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al-Isra’:
9).
Setelah diimani
dan diketahui hukum-hukumnya, maka kewajiban kedua adalah menjalankan
perintah-perintah Al-Qur’an sekaligus menjauhi hal-hal yang dilarangnya, lalu
menda’wah-kannya kepada seluruh ummat manusia. Hal itu dimulai dari diri
sendiri, kemudian keluarga, dan seterusnya, walaupun hanya satu ayat yang
diilmui. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sampaikanlah
dariku meskipun satu ayat”. (HR. Al-Bukhari).
KEUTAMAAN TILAWAH
DAN MEMPELAJARI Al-QUR’AN
Orang yang
mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan Al-Qur’an termasuk insan yang
terbaik, bahkan ia akan menjadi Ahlullah (keluarga Allah). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik
kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR.
Al-Bukhari).
“Ahli Al-Qur’an
adalah Ahlullah dan orang yang dekat dengan Allah”. (HR. An-Nasa’i, Ibnu
Majah, Al-Hakim).
Mendapatkan
Syafaat dari Al-Qur’an pada hari Kiamat..
“Bacalah
Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari Kiamat memberikan syafaat bagi
pembacanya[1]”.
(HR. Muslim, dari Abu Umamah Al-Bahili).
Shahibul Qur’an
akan memperoleh ketinggian derajat di Surga.
Dikatakan kepada
Shahibul Qur’an (di akhirat): “Bacalah Al-Qur’an dan naiklah ke Surga serta
tartilkanlah (bacaanmu) sebagaimana engkau tartilkan sewaktu di tempat tinggalmu
(di Surga) berdasarkan akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Dawud, dari
Abdillah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhumaa).
{Takhrij: Hadits
ini dihasankan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/230,
no.1001}
Orang yang membaca
Al-Qur’an akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
Firman Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa:
“Sesungguhnya
orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah
kepada mereka dari karuniaNya.” (Al-Fathir: 29-30).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf
dari Kitabullah (Al-Qur’an) maka dia akan memperoleh satu kebaikan dan satu
kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang semisalnya. Saya tidak
menyatakan alif laam miim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf dan laam
satu huruf serta miim satu huruf.” (HR. At-Tarmidzi, Ad-Darimi dan lainnya;
dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).
{Takhrij: Hadits
ini dishahihkan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/229,
no.999}
Dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an
akan bersama para malaikat yang mulia, sedangkan orang yang membaca (Al-Qur’an)
dengan terbata-bata dan mengalami kesulitan dalam membacanya, maka dia akan
mendapatkan dua pahala. (HR. Muslim dalam Shahihnya dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha).
Sakinah
(ketenangan) dan rahmat serta keutamaan akan diturunkan kepada orang-orang yang
berkumpul untuk membaca Al-Qur’an.
“Tidaklah suatu
kaum berkumpul di salah satu rumah Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa untuk membaca
Kitabullah (Al-Qur’an) dan mereka saling mempelajarinya kecuali sakinah
(ketenangan) akan turun kepada mereka, majlis mereka penuh dengan rahmat dan
malaikat akan mengelilingi (majlis) mereka serta Allah akan menyebutkan mareka
(orang yang ada dalam majlis tersebut) di hadapan para malaikat yang di sisiNya.”
(HR. Muslim).
Bacaan Al-Qur’an
merupakan hilyah (perhiasan) bagi Ahlul Iman (orang-orang yang beriman).
“Perumpamaan
orang-orang mukmin yang membaca Al-Qur’an laksana buah ‘Al-Utrujah’ (semacam
jeruk manis) yang rasanya lezat dan harum aromanya, dan perumpamaan orang
mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an ibarat buah At-Tamr (kurma) rasanya lezat
dan manis namun tidak ada aromanya, dan perumpamaan orang munafik yang membaca
Al-Qur’an ibarat Ar-Raihanah (sejenis tumbuhan yang harum) semerbak aromanya
(wangi) namun pahit rasanya, dan perumapamaan orang munafik yang tidak membaca
Al-Qur’an ibarat buah Al-Handhalah (nama buah) rasanya pahit dan baunya tidak
sedap.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dari Abu Musa Al-As’ary radhiyallahu
‘anhu).
Orang yang berhak
menjadi imam shalat adalah orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’an dan luas
pengetahuannya terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an.
“Orang yang
paling berhak menjadi imam (dalam shalat) adalah orang yang paling pandai
membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim).
Boleh hasad (iri)
kepada orang yang ahli Al-Qur’an dan mengamalkannya.
Tidak boleh
hasad[2]
kecuali kepada dua orang:
Sesorang yang
dikaruniai Al-Qur’an oleh Allah Ta’ala, kemusian ia melaksanakannya di waktu
siang maupun malam.
Seseorang yang
dikaruniai harta oleh Allah, kemudian ia bershadaqah dengannya di waktu siang
maupun malam.” (HR.
Muslim).
Membaca dan
memahami Al-Qur’an tidak bisa disamai kemewahan harta duniawi.
“Tidaklah salah
seorang di antara kamu berangkat ke masjid untuk mengetahui atau membaca dua
ayat dari Kitabullah lebih baik baginya daripada dua onta, dan tiga (ayat)
lebih baik baginya daripada tiga (onta), dan empat (ayat) lebih baik baginya
daripada empat (onta), begitu seterusnya sesuai dengan jumlah (ayat lebih baik)
dari onta.” (HR. Muslim dari ‘Uqbah bin Amir).
Tilawah Al-Qur’an
akan dapat melembutkan hati bagi pembacanya dan bagi orang yang mendengarkannya
dengan baik.
ADAB-ADAB DALAM
TILAWAH AL-QUR’AN
Mengikhlaskan niat
untuk Allah semata. Karena tilawah Al-Qur’an termasuk ibadah, sebagaimana telah
disebutkan pada keutamaan tilawah.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seluruh amalan itu
tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Memilih tempat
yang tenang dan waktunya pun pas, sehingga dapat menghadirkan hati
(konsentrasi) dan jiwa lebih tenang ketika membaca, khusu’, tenang dan sopan,
berusaha terpengaruh (terkesan) dengan yang sedang dibaca, dengan memahami
(menghayati) atau memikirkan (tafakkur & tadabbur) maknanya sambil memohon
Surga kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa bila terbaca ayat-ayat tentang Surga,
dan berlindung kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dari Neraka bila terbaca
ayat-ayat tentang Neraka.
Allah Subhaanahu
Wa Ta'aalaa berfirman yang artinya:
“Ini adalah
sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai pikiran.” (Shaad: 29).
Dan di dalam
hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “… apabila Nabi terbaca
ayat yang mengandung makna bertasbih (kepada Allah) beliau bertasbih, dan
apabila terbaca ayat yang mengandung do’a, maka beliau berdo’a, dan apabila
ayat yang bermakna meminta perlindungan (kepada Allah) beliau memohon
perlindungan.” (HR. Muslim).
Sopan sebagai
upaya memuliakan Kalam Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, khusu’ atau memusatkan
hati dan pikiran (konsentrasi) sebagai upaya mengambil hikmah yang terkandung
pada ayat yang kita baca, menampakkan kesedihan dan menangis, ketika membaca
ayat-ayat yang menceritakan adzab (siksa) neraka. Dan apabila tidak bisa maka
berusahalah untuk menangis[3] sejadi-jadinya.
Allah Subhaanahu
Wa Ta'aalaa berfirman:
“Dan mereka
menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusu’.”
(Al-Isra’: 109).
Ibnu Mas’ud
berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: ‘Bacakanlah
Al-Qur’an kepadaku!’ Saya pun berkata: ‘Ya Rasulullah, apakah saya harus
membacakan Al-Qur’an kepadamu, sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepadamu?’
Maka beliau menjawab: ‘(Benar, akan tetapi) saya senang mendengrkan bacaan
dari orang lain.’ Kemudian saya pun membaca surat An-Nisa’ sampai: ‘Maka
bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan
seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)’ (ayat 41). Maka
tatkala saya melirik kepada beliau, atau ada seseorang menghalangiku lalu
kuangkat kepalaku, saya melihat beliau meneteskan air mata.” (HR. Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).
Hendaknya orang
yang bertilawah dalam keadaan sudah berwudhu, suci pakaian dan badannya (tidak
dalam keadaan hadats besar maupun hadats kecil) dan tempatnya (tempat haram
atau dilarang, seperti di WC atau tempat-tempat yang tidak pantas untuk tilawah
Al-Qur’an yang suci) serta telah menggosok gigi (bersiwak) untuk memuliakan
Kalam Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa.
Membaca do’a isti’adzah
(berlindung kepada Allah Ta’alaa dari godaan setan) ketika hendak membaca
Al-Qur’an.
Allah berfirman:
“Apabila kamu
membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari
syaitan yang terkutuk.” (An-Nahl; 98).
Berlindung kepada
Allah Ta’alaa, yakni membaca ‘A’udzubillahi minasy-syaithaanir-rajiim’
(sebagian ulama mewajibkannya). Kemudian membaca basmalah apabila membaca
Al-Qur’an dari awal surat, kecuali surat At-Taubah.
Menghadap kiblat
sebagai upaya untuk menghidupkan sunnah dalam bermajlis.
Membaguskan suara
dengan tidak ghuluw (melewati batas), riya’ (agar dilihat orang),
sum’ah (agar didengar orang) atau ujub (mengagumi diri sendiri).
“Perindahlah
(bacaan) Al-Qur’an dengan suara kalian.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Nasa’i dan
Hakim menshahihkannya)[4].
Tetapi jangan
sampai seesorang mengeraskan bacaannya di dalam mushalla (masjid) sementara
orang lain dalam keadaan shalat, karena hal ini terlarang.
“Bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu kaum sedang mereka
sementara dalam keadaan shalat dan mengeraskan bacaannya, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Setiap kalian bermunajat (berbisik-bisik)
kepada Rabbnya, maka hendaklah ia memperhatikan apa yang dia pakai untuk
bermunajat dan janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaan (Al-Qur’an) kalian
atas sebagian yang lain’.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwatha’: 1/80; Ibnu
Abdil Barr berkata: “Ini adalah hadits shahih)[5].
Hendaknya membaca
dengan sirri (pelan) apabila dikhawatirkan dapat menimbulkan riya’
atau sum’ah pada dirinya atau dapat mengganggu ketenangan dalam masjid
(mushalla) sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
“Orang yang
mengeraskan (dalam membaca) Al-Qur’an sama dengan menampakkan dalam bershadaqah.”
(Minhajul Muslim, hal 71)[6].
Shadaqah yang
dicintai adalah yang sembunyi-sembunyi, kecuali dalam keadaan tertentu yang
berfaedah, misalnya untuk mendorong orang lain agar melakukannya.
Hendaknya membaca
Al-Qur’an dengan tartil dan memperhatikan hukum-hukum tajwid, serta membunyikan
huruf sesuai dengan makhrajnya. Bacaan dengan perlahan-lahan (tartil), bukan
dengan cepat-cepat, akan membantu dalam tadabbur (memahami) maknanya.
“Dan bacalah
Al-Qur’an itu dengan tartil (perlahan-lahan).” (Al-Muzammil: 4).
“Dari Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha, bahwa dia menyebutkan bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, yaitu (beliau) memutus-mutus bacaannya ayat per ayat (satu ayat-satu
ayat).” (HR. Ahmad, 6/3020; Abu Dawud, 4001; Tirmidzi, 2927; dishahihkan oleh
An-Nawawi dalam Al-Majmu, 3/333).
Hendaknya sujud,
ketika membaca ayat-ayat yang mengisyaratkan sujud[7].
Hal ini dilakukan
dalam keadaan berwudhu, di waktu siang maupun malam, dengan takbir di mana
dalam sujudnya mengucapkan ‘subhaana rabbiyal a’laa’ (Maha Suci Rabbku
yang Maha Tinggi) dan hendaklah berdo’a. Kemudian bangun dari sujud tanpa
takbir dan salam. Syeikh Said bin Ali Wahf Al-Qathany, menyebutkan do’a sujud
tilawah: “Sajada wajhiya lilladzii khalaqahu wasyaqqa sam’ahu bihaulihi
waquwwatihi, fatabaarakallahu ahsanulkhaaliqiina” (Wajahku bersujud
kepada Tuhan yang telah menciptakanku, yang memberi pendengaran dan
penglihatanku, dengan daya dan upayaNya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta)
(HR. At-Tirmidzi, 2/474; Ahmad, 6/30; Hakim dan disetujui Ad-Dzahabi, 1/220).
Termasuk sunnah
adalah berhenti membaca jika sudah mengantuk, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu bangun di malam
hari, lalu lisannya merasa sulit membaca Al-Qur’an hingga tidak menyadari apa
yang ia baca, maka hendaknya ia berbaring (tidur).” (HR. Muslim).
oleh : RochMad
No comments:
Post a Comment
ini komentar