A. PENDAHULUAN
Adalah
sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa memahami kandungan Al
Qur’an dan berbagai ilmu yang menjadi alat bantu untuk memahami Al Qur’an
tersebut. Karenanya, upaya untuk
memahami berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Al Qur’an menjadi sebuah
keniscayaan. Ulumul Qur’an, sebagai satu
disiplin ilmu untuk memahami Al Qur’an, telah berkembang sejak masa awal Islam,
berisi berbagai topik yang berkaitan dengan Al Qur’an dan upaya memahaminya. Diantaranya, mencakup perumpamaan-perumpamaan
yang terdapat dalam Al Qur’an (Amtsāl
al-Qur’an).
Diskursus tentang
Perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam Al Qur’an merupakan salah satu
topik mendasar yang telah berkembang sejak masa pertumbuhan Ulumul Qur’an. Karenanya, meskipun diskursus tentang
perumpamaan-perumpamaan dalam Al Qur’an tersebut telah banyak dibicarakan,
namun masih tetap relevan untuk diperbincangkan kembali secara kritis. Untuk itu,
penulis mencoba mengungkap kembali berbagai permasalahan dan wacana yang
berkembang berkaitan dengan topik tersebut dan upaya memahaminya dalam konteks
kekinian. Namun, dalam rangka
penyederhanaan pembahasan, makalah ini dibatasi pada topik-topik pokok tentang
perumpamaan dalam Al Qur’an dan beberapa contoh yang memadai.
B. URGENSI PEMBAHASAN
Al Qur’an telah menyerukan kepada
umat manusia untuk memperhatikan tamsil ataupun perumpamaan-perumpamaan, karena
daripadanya dapat ditemukan suatu kebenaran hakiki akan kekuasaan Allah
SWT. Disamping itu, tamsil ataupun
perumpamaan tersebut dapat pula menjadi sarana untuk menginterpretasikan berbagai
permasalahan atau peristiwa yang belum
dipahami oleh manusia. Sedemikian
pentingnya perumpamaan tersebut sebagai media untuk menjelaskan berbagai
persoalan kepada manusia, baik mengenai keimanan, syari’at, keluarga, sejarah
dan lain sebagainya, sehingga Allah SWT
menjelaskan segala macam perumpamaan dalam berbagai visi yang meliputi berbagai
persoalan dan problematika manusia, baik ketika di dunia maupun berkenaan
dengan akhirat. Dalam Al Qur’an,
terdapat beberapa ayat yang mendorong manusia untuk memperhatikan berbagai
perumpamaan tersebut, diantaranya sebagaimana yang terdapat ayat-ayat sebagai
berikut :
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan,
maka perhatikanlah perumpamaan itu.” (Q.S. 22:73)
“Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam
Al Qur’an segala macam perumpamaan untuk manusia.” (
Q.S. 30 : 58)
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi
manusia dalam Al Qur’an ini segala macam perumpamaan supaya mereka dapat
mengambil pelajaran.”(Q.S. 39 : 27)
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu hanya
dibuatkan untuk manusia, dan tiada dapat
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”
(Q.S. 29 : 43)
Berkaitan dengan pentingnya upaya
memahami perumpamaan dalam Al Qur’an, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda :
“Sesungguhnya Al Qur’an diturunkan dalam 5
wajah, yaitu halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal. Maka beramallah dengan yang halal, jauhilah
yang haram, ikutilah ayat-ayat muhkam, imanilah yang mutasyabih, dan ambillah
pelajaran dari perumpamaan.” (H.R.
Baihaqi dari Abu Hurairah)
Imam Syafi’i memasukkan
perumpamaan sebagai salah satu bagian yang harus dikuasai oleh seorang
mujtahid. Sementara itu, Al-Mawardi memposisikannya sebagai bagian terpenting
dari Ulumul Qur’an.[1] Karenanya, dapat dipahami bila Al-Mawardi
menulis satu kitab tersendiri berkaitan dengan al-Amtsal,
sebagaimana Al-Tirmidzi dan Ibnu
Qayyim. Sementara itu, Al-Suyuthi
mengkhususkan bab tersendiri dalam Al-Itqan, begitu pula Ibnu Qayyim
dalam I’lam al-Muwaqi’in dan Al-Zarkasi dalam Al-Burhan.[2]
Setidaknya terdapat beberapa
alasan berkaitan dengan pentingnya perumpamaan tersebut, diantaranya[3] : (1) Sebagai Penjelas bagi sesuatu yang masih
samar; (2) Penjelasan tentang tentang
nilai Keyakinan ; dan (3) Penjelasan
tentang Sifat Ilahiyah.
Peumpamaan dibuat untuk menjelaskan
sesuatu yang masih samar dengan sesuatu yang nyata, atau untuk menjelaskan
suatu persoalan yang abstrak dengan sesuatu yang dapat dipahami oleh
indera. Ketika Allah SWT ingin
menjelaskan suatu permasalahan yang masih samar bagi manusia, Dia menerangkannya dengan perumpamaan, karena
dengan perumpamaan sesuatu yang rasional tetapi masih tersembunyi atau samar
dari persepsi indera, dapat dijelaskan dengan sesuatu yang dapat diraba
indera. Dalam hal ini, perumpamaan dalam
Al Qur’an memiliki keunggulan ketimbang perumpamaan-perumpamaan yang lainnya,
karena mampu mengemukakan berbagai permasalahan yang abstrak lagi rumit dalam
bahasa yang sederhana tetapi mengandung interpretasi yang cukup dalam dengan
kadar rasio dan ilmiah yang memadai.[4]
C. PENGERTIAN AL-AMTSĀL
Secara bahasa, Al-Amtsāl merupakan
bentuk jamak dari matsala, dalam bentuk matsala, mitsla, matsīl, sama dengan kata Syabaha, Syibha,
Syabīh secara lafazh dan ma’na, yang berarti sama, serupa.[5] Al-Zamakhsyari
, sebagaimana dikutip oleh Al-‘Abdaliy, menambahkan bahwa Al-Amtsāl juga
berarti al-nazhīr. Disamping itu, juga memiliki arti al-intishab,
al-luth`u bi al-ardl, al-zawāl ‘an mawadli’ihi (bergeser dari tempatnya), taswiyah
(penyamaan), dan tashwir (penggambaran). Berikutnya, Al-Zamakhsyari juga
mengungkapkan bahwa al-tamtsil adalah upaya untuk mengungkap makna yang
dikandungnya, dari sesuatu yang samar dan kabur menjadi riil dan nyata. [6]
Dalam khasanah sastera al-matsal
berarti “ Suatu perkataan yang dihikayatkan dan berkembang apa yang dimaksudkan
daripadanya, menserupakan keadaan yang dihikayatkan padanya dengan keadaan yang
maksud itu dikatakan karenanya. Ini
berarti penyerupaan (tasybih) sesuatu dengan sesuatu yang lain.[7]
Dalam penggunaannya, al-matsal digunakan
dalam juga dapat diartikan untuk menjelaskan sesuatu yang menakjubkan dalam hal
sifat[8], keadaan,
kisah, sunnah[9],
‘ibrah dan nasehat[10], hukuman[11], pembicaraan,
hujjah, dan perkara yang menakjubkan[12] lainnya. Demikian pula, al-amtsal dapat
digunakan dalam bentuk tasybih (penyerupaan)[13] dan isti’arah[14] (kata
pinjaman/metafor).[15]
Dalam konteks pembinaan hukum Islam,
Ibnu Qayyim mengungkapkan bahwa,”Perumpamaan-perumpamaan dalam Al Qur’an hanya
diketahui oleh orang-orang yang berilmu,
karena perumpamaan itu menyerupakan sesuatu dengan sesuatu dalam segi
hukumnya, dan mendekatkan logika dengan kenyataan. Atau, mendekatkan satu dari dua kenyataan
dengan yang lainnya.[16]
Berkaitan dengan penggunaan Al-Amtsāl,
nampaknya tidaklah memadai jika dijelaskan semata dengan pengertian tasybih
dan isti’arah. Akan semakin lebih
mampu menjelaskan penerapan al-amtsal ini, bila ditambahkan juga dengan adanya lafazh tajsim
(materialisasi), tasykhish (personifikasi), dan takhyil (imajinasi),
sebagaimana yang disarankan oleh Al-Shalih dalam Mabahits nya. Dengan
demikian, penggambaran-penggambaran yang ada dalam Al Qur’an akan semakin
hidup, dan memiliki daya hidup bagi pembacanya.
Dalam konteks inilah, sangat menarik untuk dikaji lebih jauh metode yang
digunakan oleh Sayyid Quthub dalam bukunya yang terkenal, Al-Tashwir
al-Fanniy fi al-Qur’ān.
Ketiga unsur perumpamaan tersebut, tajsim,
tasykhish dan takhyil, keseluruhannya dapat dirasakan sebagaimana
terungkap dalam perumpamaan antara yang haq dan yang batil sebagaimana
tercantum dalam surat
Al-Anbiyaa` ayat 18 berikut :
“ kami lontarkan
yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan
serta merta yang batil itu lenyap.”
Unsur tajsim terdapat dalam
penggambaran haq sebagai benda yang dilontarkan demikian berat. Unsur tasykhish terdapat dalam
penghancuran yang dilakukan haq terhadap kebatilan. Sedangkan unsur takhyil terdapat di
dalam gambaran sesuatu yang dapat dibayangkan, yaitu suatu bayangan khayal yang
ditimbulkan oleh gerakan melontar, menghancurkan dan melenyapkan. Gelora kalimat tersebut dalam ayat tersebut
laksana guruh yang menggeledek menghantam tulang belulang kebatilan dan
menghancurkannya hingga remuk redam.
Model pendekatan seperti inilah yang akan banyak kita temukan dalam dua
karya Sayyid Quthub tentang keindahan sastra Al Qur’an, Al-Tashwir Al-Fanniy fi Al-Qur’ān dan Masyāhid
al-Qiyāmah fi Al-Qur’ān.
D. MACAM-MACAM PERUMPAMAAN
Al
Qur’an telah mendorong manusia untuk melakukan kajian terhadap seluruh alam ini
berikut segala yang ada di dalamnya, dengan ditampilkannya tamsil yang cukup
banyak. Diantara tamsil yang dihadirkan
Al Qur’an adalah mengilustrasikan fenomena alam, karakter manusia, tingkah
laku, status, amalan, siksa, pahala dan
ideologi umat manusia selama hidup di dunianya.
Oleh karena itulah, Al Qur’an membuat segala macam perumpamaan, sehingga
tidak ada satu kitab pun yang membuat tamsil yang kesempurnaannya sebanding,
apalagi melebihi Al Qur’an.
Perumpamaan-perumpamaan
dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qaththan dan para penulis
lainnya, terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Al-Amtsāl al-Musharrahah
(Perumpamaan yang Jelas-Tegas), Al-Amtsāl al-Kāminah (Perumpamaan
yang Tersembunyi), dan Al-Amtsāl al-Mursalah.[17] Al-Suyuthi, meskipun menyatakan bahwa Al-Amtsāl
terbagi menjadi dua macam, namun menyebutkan juga jenis yang ketiga dalam
bagian yang terpisah pada karyanya, Al-Itqan.[18]
Al-Amtsāl al-Musharrahah adalah Perumpamaan-perumpamaan yang secara
jelas menggunakan lafazh seperti matsala, ataupun lafazh lainnya yang
secara jelas menunjukkan pengertian tasybih. Jenis perumpamaan seperti banyak terdapat
dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh, dapat
disebutkan perumpamaan tentang orang-orang munafik yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat
17-20 berikut ini :
Perumpamaan
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan
mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.
Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan
yang benar). Atau seperti (orang-orang
yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat;
mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara)
petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu
menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa
mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan
pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala
sesuatu.
Dalam
rangkaian ayat tersebut, Allah SWT
menggambarkan orang-orang munafik dalam dua permisalan. Yang pertama, digambarkan sebagai orang yang
menyalakan api, dalam pengertian mencari api dan berusaha menyalakannya. Namun, ia hanya berada di bawah sinarnya
selama apinya menyala. Apabila meninggalkannya, maka iapun berada dalam
kegelapan, sehingga tetap berada dalam kadaan tanpa petunjuk dan tidak bisa
melihat. Penggambaran ini, sebagaimana
diungkapkan oleh Mujahid dan Qatadah, menunjukkan kepura-puraan mereka dalam
mencari kebenaran. Terbukti, ketika nabi
akhir zaman yang mereka tunggu-tunggu itu datang, Nabi Muhammad SAW, mereka
justru mendustakannya. Permisalan
kedua, seperti orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai petir dan kilat
yang menyambar-nyambar, yang menutupi telinganya karena takut terhadap petir
tersebut.[19]
Demikian
pula, permisalan air dan api terhadap kebenaran dan kebatilan, sebagaimana
terdapat dalam surat
Al-Ra’du ayat 17, dimana kebenaran digambarkan sebagai air yang turun dari
langit, sedangkan kebatilan sebagai api.
Allah telah
menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah
menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa
(logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada
(pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan
(bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu
yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia
tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.
Yang
kedua, Al-Amtsāl al-Kāminah, adalah perumpamaan-perumpamaan yang
tidak secara jelas mencantumkan lafazh tamtsil, tetapi mengandung lafazh
figuratif (majazi) sehingga dapat diterapkan pada kalimat lain yang
serupa. Berkaitan dengan ini,
Al-Zarkasyi memberikan contoh yang berasal dari Al-Mawardi dan Husain ibn
al-Fadhl. Diantaranya, sebagai berikut :
1. Berkaitan arti pepatah “ Sebaik-baik
urusan adalah yang pertengahan” dapat digambarkan dengan pensifatan sapi betina
petikan ayat “yang tidak tua dan tidak muda” dalam surat
Al Baqarah ayat 68; serta permisalan tentang orang-orang yang berinfak dalam surat Al-Furqan ayat 67
dengan ungkapan “dan mereka itu jika berinfak tidaklah berlebih-lebihan dan
tidak pula menahan-nahannya, akan tetapi berada dalam keadaan yang
pertengahan”. Demikian pula, dapat
digambarkan dengan petikan ayat dalam surat
Al-Isra` ayat 29 dan ayat 110.
2. Berkaitan dengan pepatah “ Berita
itu tidak seperti kenyataannya”; digambarkan dalam surat Al Baqarah ayat 260 yang berisi petikan
kisah Nabi Ibrahim yang meminta agar diperlihatkan bagaimana Allah SWT
menghidupkan yang telah mati.
3.
Demikian juga, berkaitan dengan ungkapan “seorang mukmin tidak layak
terjatuh pada lubang yang sama dua kali”.
Ini digambarkan dengan permisalan dari ungkapan Nabi Ya’qub dalam kisah
Nabi Yusuf yang terdapat dalam surat
Yusuf ayat 64.
Jenis perumpamaan yang ketiga, Al-Amtsāl al-Mursalah, adalah
kalimat-kalimat lepas yang tidak secara jelas mengandung lafazh tasybih. Hal ini dapat ditemukan dalam Al Qur’an,
diantaranya pada surat
Yusuf ayat 51 dalam ungkapan “wa al-ana hashhasha al-haqq”.[20]
Disamping pembagian Al-Amtsāl oleh Al-Qaththan
berdasarkan jenisnya itu, Abu Abdullah
Al-Bakrabadzi, membagi tamtsil dalam empat bentuk, sebagai berikut , yaitu
:
(1)
mengeluarkan sesuatu dari yang
tidak dapat ditangkap oleh indera menjadi dapat ditangkap oleh indera;
(2) Mengeluarkan sesuatu yang secara dogmatis
tidak dapat diketahui oleh akal menjadi dapat diketahui;
(3) Mengeluarkan sesuatu dari yang tidak dapat
diterima oleh tradisi menjadi dapat diterima;
dan
(4) mengeluarkan sesuatu yang
tidak memiliki kekuatan pengaruh menjadi dapat mempengaruhi.
E. TASYBIH DAN ISTI’ARAH
Tasybih secara bahasa adalah petunjuk dalil yang menunjukkan
persinggungan makna antara satu perkara dengan yang lain, atau menjadikan
sesuatu serupa dengan yang lainnya.
Menurut istilah, tasybih dapat diartikan sebagai dalil yang menunjukkan
adanya persinggungan makna antara satu
perkara dengan perkara lain, dimana tidak terdapat bentuk isti’arah
ataupun tajrid, tetapi menggunakan lafazh yang mentasybihkan. Adapun rukun-rukun tasybih ada empat, yaitu Musyabbih, Musyabbah bihi, Wajhu al-Syibhi, dan Al-Ādah.
Musyabbih
adalah lafazh yang diserupai dalam kalimat
tersebut, yaitu lafazh yang diinginkan menjadi pengokoh sifat yang
ditasybihkan. Adapun Musyabbah bihi adalah
lafazh yang diserupakan, yaitu yang sifat yang ingin diserupakan
(ditasybihkan). Adapun yang dimaksud
dengan Wajhu al-Syibhi adalah
sifat yang dimaksudkan untuk dikokohkan oleh Musyabbih. Sedangkan Al-Ādah lafazh-lafazh yang
menunjukkan pada makna penyerupaan. Al-Ādah
ini dapat berbentuk kata benda (ism), kata kerja (fi’l), ataupun harf
seperti huruf Kaf.[21]
Sebagai contoh, tasybih orang
yang tidak mengamalkan isi Al-Kitab, diserupakan dengan keledai yang mengangkut
buku-buku tebal, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Jumu’ah ayat 5.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum
yang lalim.
Demikian juga perumpamaan kehidupan
dunia dengan air yang turun dari langit, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, lalu
menjadi makanan manusia dan ternak,
namun ternyata musnah tak berbekas dalam semalam dikarenakan adzab
Allah; sebagaimana dapat dipelajari dari
surat Yunus
ayat 24.[22]
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu,
adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah
dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang
dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira
bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di
waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana
tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang
yang berpikir.
Adapun isti’arah, penggunaan
kata-kata pinjaman, yang memiliki arti metafora adalah berupa kalimat yang
menggambarkan sesuatu yang abstrak menjadi konkrit. Sebagai contoh, dapat dikemukakan metafora
yang digambarkan dalam surat
A-Takwir ayat 18, “Demi Subuh bila
bernafas”. Pada ayat ini, kalimat subuh
bernafas mengibaratkan kemunculan cahaya pagi dari kegelapan malam. Seolah-olah orang menarik nafas panjang
sehabis berduka cita atau baru terlepas dari kesedihan.
F.
MANFAAT PERUMPAMAAN DAN PENGARUHNYA
DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Al Qur’an adalah kitab mukjizat
yang indah dan memiliki nilai berharga dalam kepustakaan sastra dan peradaban
Arab. Penggunaan tamsil dalam Al Qur’an
semakin mengokohkan paradigma keindahan bahasa yang digunakan dalam Al
Qur’an.
Berkaitan dengan pengaruh tamsil
bagi jiwa manusia, Imam Al-Jurjani mengungkapkan secara gamblang, sebagaimana
dikutip oleh Al-’Abdaliy, bahwa tamsil
itu akan memperdalam pengungkapan makna yang dikandungnya sehingga memiliki
kekuatan pengaruh yang berlipat-lipat ketimbang selainnya, menyalakannya dan
menggerakkan jiwa tersebut karenanya.
Jika berupa kalimat pujian, maka dia akan memuliakannya dan
membesarkannya dengan kemuliaan yang sesungguhnya. Jika berupa celaan, maka akan menyentuh dan
tepat. Bila berupa hujjah akan memiliki
kekuatan yang argumentatif. Dan jika
berupa pengajaran dan nasehat akan lebih menyentuh hati dan merangsang pikiran.[23]
Berbagai macam perumpamaan yang
terdapat dalam Al Qur’an, dengan berbagai bentuknya, berfungsi untuk
menjelaskan kepada manusia tentang berbagai persoalan dalam kehidupan, dunia
dan akhirat. Perumpamaan-perumpamaan
tersebut menjadi cermin bagi jiwa manusia, seperti seseorang yang berdiri di
depan cermin, yang mana ia dapat melihat wajahnya sendiri dan apa yang ada di
belakangnya. Dengan demikian, akan mampu menghantarkan manusia kepada
hakikat yang sebenarnya dari perumpamaan tersebut. Pemahaman akan hakikat itulah yang akan
melahirkan rasa malu, dan pada akhirnya,
hati menjadi mantap, tenang dengan penuh keyakinan.[24]
Menarik
untuk ditelaah lebih lanjut, metode tashwir yang digunakan oleh Sayyid Quthub
dalam menjelaskan paradigma barunya untuk
memahami Al Qur’an. Tashwir,
sebagai salah satu bentuk dan bagian dari tamsil, merupakan cara paling penting
yang digunakan dalam ungkapan-ungkapan gaya
bahasa Al Qur’an. Bagaimana pengaruh
tamsil seperti ini terhadap jiwa manusia diungkapkan secara indah oleh Sayid
Quthub dalam pengantar bukunya “Masyāhid al-Qiyāmah fi Al-Qur’ān”
sebagaimana kutipan berikut :[25]
Tashwir
mencoba mengungkap, dalam bentuk yang
menggugah rasa dan membangkitkan daya khayal,
tentang suasana hati, suasana jiwa, kejadian yang dirasakan, peristiwa
yang disaksikan yang mengungkap model manusia dan karakternya. Kemudian, meningkat ke dalam bentuk pelukisan
yang diberinya daya hidup atau dinamika baru.
Tiba-tiba suasana hati berubah menjadi gerak; suasana jiwa menjadi
peristiwa sungguhan; model manusia
seolah-olah hidup nyata dan karakter orang tiba-tiba menjelma menjadi sebuah
sosok. Kejadian, peristiwa, kisah dan
pandangan mata seakan-akan hadir jelas dengan penuh daya pikat dan
dinamis. Jika kemudian dilengkapi dengan
suasana dialogis, maka lengkaplah suasana unsur khayali, sehingga ketika suatu
sajian dimulai, para pendengar terkecoh.
Mereka hanyut ke dalamnya, mengalir terus dan gerakan-gerakannya tetap
baru. Si pendengar lupa bahwa semua itu
hanyalah kata-kata belaka atau sebuah perumpamaan. Ia membayangkan sebagai pemandangan dan
peristiwa yang sesungguhnya terjadi.
Jiwanya hanyut dalam kenikmatan sejuta rasa dan emosi yang tumbuh dari
dirinya yang menyatu dalam peristiwa.
Lidahpun kemudian menggumamkan kata-kata yang merasuki relung-relung
jiwanya. “itu benar-benar terjadi di
sini, bukan semata kisah tentang kehidupan.”
Meskipun
perumpamaan-perumpamaan tersebut akan mampu menghantarkan kepada hakikat yang
sebenarnya, namun perumpamaan itu sendiri bukanlah hakikat yang sebenarnya[26]. Perumpamaan hanyalah sebatas perumpamaan dan
pendekatan saja, sehingga tidaklah berarti bahwa perumpamaan itu menggambarkan
hakikat yang sebenarnya. Sebagai contoh
dapat diungkapkan, ketika Allah SWT ingin memberikan gambaran tentang surga
kepada manusia, maka Allah SWT menggunakan tamsil yang mudah ditangkap oleh
indera dan rasio manusia. Namun
demikian, penggambaran yang dimuat itu, tentunya tidaklah sama dengan keadaan
hakikat yang sebenarnya dari surga itu sendiri.
Begitu pula penggambaran tentang neraka, keadaan di hari kiamat dan perkara
yang gaib lainnya.
Diantara
penggambaran yang Allah SWT berikan tentang surga, adalah sebagaimana terdapat
pada surat
Muhammad ayat 15, yang menggambarkan bahwa di dalam surga itu mengalir
sungai-sungai yang terdiri dari sungai berisi air tanpa rasa, sungai susu, dan
sungai khamr serta sungai madu.
Apakah)
perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa
yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya,
sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari
khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu
yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan
ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi
minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?
Namun demikian, penggambaran tersebut bukanlah hakikat yang
sebenarnya. Begitu pula
perumpamaan-perumpamaan lainnya.[27]
Dengan
demikian, secara ringkas, dapat dikemukakan bahwa Perumpamaan-perumpamaan dalam
Al Qur’an tersebut memiliki manfaat dan
faidah antara lain :[28]
1.
Mengungkap hakekat dari
perumpamaan-perumpamaan tersebut dengan
memaparkan sesuatu yang abstrak menjadi nyata, sebagaimana permisalan
tentang riba yang terdapat pada surat
Al Baqarah ayat 275.
Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
2.
Mengeluarkan sesuatu yang sulit
diterima akal menjadi dapat diterima dan dipahami secara inderawi, seperti
permisalan tentang orang yang berinfak karena riya` yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat
265.
Dan perumpamaan orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh
hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan
lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu perbuat.
3.
Perumpamaan merupakan bentuk
yang paling dapat menyentuh jiwa dan hati manusia, karena keindahan metode
pengungkapan dan gaya
bahasa yang digunakan. Tentang hal ini,
menarik untuk disimak pernyataan Sayid Quthub pada kutipan, berikut :
Tashwir merupakan cara yang paling indah
dan istimewa untuk bidang seni dan agama.
Untuk menjelaskan hal ini, cukuplah kita gambarkan makna-makna dalam
bentuk abstrak, kemudian sesudah itu kita gambarkan makna-makna konkrit. Makna-makna dalam bentuk pertama ditujukan
kepada hati dan kesadaran yang sampai tanpa keindahan. Bentuk kedua ditujukan kepada perasaan dan
emosi, lalu sampai ke dalam jiwa melalui beberapa arah : dari arah panca indera
dengan membayangkan dan mengalami; dari perasaan dengan jalan merasakan, dan
dari emosi melalui gemanya. Dengan
demikian hati hanya salah satu saja dari sekian saluran menuju jiwa dan bukan
satu-satunya…………..Dengan metode tashwir itulah Al Qur’an menyajikan bukti-bukti
hari kiamat..”[29]
G. KAJIAN TERHADAP AL-AMTSĀL FI AL-QURĀN
Kajian dan pembahasan terhadap
Al-Amtsāl Fi Al-Qurān telah banyak
dilakukan oleh para ulama terdahulu.
Berikut adalah kitab-kitab klasik yang ditulis secara khusus berkaitan
dengan topik Al-Amtsāl Fi Al-Qurān :[30]
1.
Al-Amtsāl Min Al-Kitab wa Al-Sunnah
karya Al-Hakim Al-Tirmidzi
2. Amtsāl Al-Qurān karya Ibrahim ibn Muhammad (w. 323 H)
3.
Amtsāl Al-Kāminah Fi Al-Qurān karya Al-Hasan ibn al-Fadhl
4.
Amtsāl Al-Kāminah Fi Al-Qurān karya Abu Muhammad Al-Hasan
5. Amtsāl Al-Qurān karya Abu Ali Muhammad Al-Junaid (w. 381 H)
6.
Amtsāl Al-Qurān karya Abu Hasan Ali ibn
Muhammad Al-Mawardi
7.
Amtsāl Al-Qurān karya Abu Abdurrahman
Ibn Hasan A-Salami
8. Durar Al-Amtsāl karya Abu Al-Ashba’
Al-‘Udwani
9. Amtsāl Al-Qurān karya Ibnul Qayyim
10.
Amtsāl Al-Qurān karya Mahmud ibn
Al-Syarief
Menurut hemat penulis, sejauh
metode penulisan dan pembahasan yang dapat diikuti dari beberapa buku diatas
(terutama Ibnu Qayyim dan Al-Tirmidzi), diperlukan penyempurnaan metode
pengkajian, dimana selayaknya, pendekatan kebahasaan dengan penggunaan
ilmu-ilmu balaghah yang kering rasa, diimbangi dengan metode penggambaran yang
hidup sebagaimana dikehendaki oleh Al-Jurjani dan dicoba dilakukan oleh Sayyid
Quthub. Dengan demikian,
perumpamaan-perumpamaan tersebut tidak semata dirasakan ijaz bahasanya, namun
juga memiliki daya hidup yang mampu menggelorakan jiwa.
Oleh
: Edy Chandra
No comments:
Post a Comment
ini komentar