Saturday, 5 December 2015

perumpamaan dalam quran



AL-AMTSĀL FI  AL-QURĀN·

A.          PENDAHULUAN

         Adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa memahami kandungan Al Qur’an dan berbagai ilmu yang menjadi alat bantu untuk memahami Al Qur’an tersebut.   Karenanya, upaya untuk memahami berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Al Qur’an menjadi sebuah keniscayaan.  Ulumul Qur’an, sebagai satu disiplin ilmu untuk memahami Al Qur’an, telah berkembang sejak masa awal Islam, berisi berbagai topik yang berkaitan dengan Al Qur’an dan upaya memahaminya.  Diantaranya, mencakup perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam Al Qur’an  (Amtsāl al-Qur’an).
         Diskursus tentang Perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam Al Qur’an merupakan salah satu topik mendasar yang telah berkembang sejak masa pertumbuhan Ulumul Qur’an.  Karenanya, meskipun diskursus tentang perumpamaan-perumpamaan dalam Al Qur’an tersebut telah banyak dibicarakan, namun masih tetap relevan untuk diperbincangkan kembali secara kritis.  Untuk itu,  penulis mencoba mengungkap kembali berbagai permasalahan dan wacana yang berkembang berkaitan dengan topik tersebut dan upaya memahaminya dalam konteks kekinian.  Namun, dalam rangka penyederhanaan pembahasan, makalah ini dibatasi pada topik-topik pokok tentang perumpamaan dalam Al Qur’an dan beberapa contoh yang memadai.

B.           URGENSI PEMBAHASAN

Al Qur’an telah menyerukan kepada umat manusia untuk memperhatikan tamsil ataupun perumpamaan-perumpamaan, karena daripadanya dapat ditemukan suatu kebenaran hakiki akan kekuasaan Allah SWT.  Disamping itu, tamsil ataupun perumpamaan tersebut dapat pula menjadi sarana untuk menginterpretasikan berbagai permasalahan  atau peristiwa yang belum dipahami oleh manusia.  Sedemikian pentingnya perumpamaan tersebut sebagai media untuk menjelaskan berbagai persoalan kepada manusia, baik mengenai keimanan, syari’at, keluarga, sejarah dan lain sebagainya,  sehingga Allah SWT menjelaskan segala macam perumpamaan dalam berbagai visi yang meliputi berbagai persoalan dan problematika manusia, baik ketika di dunia maupun berkenaan dengan akhirat.   Dalam Al Qur’an, terdapat beberapa ayat yang mendorong manusia untuk memperhatikan berbagai perumpamaan tersebut, diantaranya sebagaimana yang terdapat ayat-ayat sebagai berikut :
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka perhatikanlah perumpamaan itu.”  (Q.S. 22:73)

“Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al Qur’an segala macam perumpamaan untuk manusia.” ( Q.S.  30 : 58)

“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur’an ini segala macam perumpamaan supaya mereka dapat mengambil pelajaran.”(Q.S. 39 : 27)

“Dan perumpamaan-perumpamaan itu hanya dibuatkan untuk manusia,  dan tiada dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Q.S. 29 : 43)

Berkaitan dengan pentingnya upaya memahami perumpamaan dalam Al Qur’an, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Sesungguhnya Al Qur’an diturunkan dalam 5 wajah, yaitu halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal.  Maka beramallah dengan yang halal, jauhilah yang haram, ikutilah ayat-ayat muhkam, imanilah yang mutasyabih, dan ambillah pelajaran dari perumpamaan.”  (H.R. Baihaqi dari Abu Hurairah)

Imam Syafi’i memasukkan perumpamaan sebagai salah satu bagian yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara itu, Al-Mawardi memposisikannya sebagai bagian terpenting dari Ulumul Qur’an.[1]  Karenanya, dapat dipahami bila Al-Mawardi menulis satu kitab tersendiri berkaitan dengan al-Amtsal, sebagaimana  Al-Tirmidzi dan Ibnu Qayyim.  Sementara itu, Al-Suyuthi mengkhususkan bab tersendiri dalam Al-Itqan, begitu pula Ibnu Qayyim dalam I’lam al-Muwaqi’in dan Al-Zarkasi dalam Al-Burhan.[2]
Setidaknya terdapat beberapa alasan berkaitan dengan pentingnya perumpamaan tersebut, diantaranya[3] :  (1) Sebagai Penjelas bagi sesuatu yang masih samar;  (2) Penjelasan tentang tentang nilai Keyakinan ; dan  (3) Penjelasan tentang Sifat Ilahiyah.
Peumpamaan dibuat untuk menjelaskan sesuatu yang masih samar dengan sesuatu yang nyata, atau untuk menjelaskan suatu persoalan yang abstrak dengan sesuatu yang dapat dipahami oleh indera.  Ketika Allah SWT ingin menjelaskan suatu permasalahan yang masih samar bagi manusia,  Dia menerangkannya dengan perumpamaan, karena dengan perumpamaan sesuatu yang rasional tetapi masih tersembunyi atau samar dari persepsi indera, dapat dijelaskan dengan sesuatu yang dapat diraba indera.  Dalam hal ini, perumpamaan dalam Al Qur’an memiliki keunggulan ketimbang perumpamaan-perumpamaan yang lainnya, karena mampu mengemukakan berbagai permasalahan yang abstrak lagi rumit dalam bahasa yang sederhana tetapi mengandung interpretasi yang cukup dalam dengan kadar rasio dan ilmiah yang memadai.[4]

C.          PENGERTIAN AL-AMTSĀL

         Secara bahasa, Al-Amtsāl merupakan bentuk jamak dari matsala, dalam bentuk matsala, mitsla, matsīl,  sama dengan kata Syabaha, Syibha, Syabīh secara lafazh dan ma’na, yang berarti sama, serupa.[5] Al-Zamakhsyari , sebagaimana dikutip oleh Al-‘Abdaliy,  menambahkan bahwa Al-Amtsāl juga berarti al-nazhīr. Disamping itu, juga memiliki arti al-intishab, al-luth`u bi al-ardl, al-zawāl ‘an mawadli’ihi (bergeser dari tempatnya), taswiyah (penyamaan), dan tashwir (penggambaran).   Berikutnya, Al-Zamakhsyari juga mengungkapkan bahwa al-tamtsil adalah upaya untuk mengungkap makna yang dikandungnya, dari sesuatu yang samar dan kabur menjadi riil dan nyata. [6]
         Dalam khasanah sastera al-matsal berarti “ Suatu perkataan yang dihikayatkan dan berkembang apa yang dimaksudkan daripadanya, menserupakan keadaan yang dihikayatkan padanya dengan keadaan yang maksud itu dikatakan karenanya.  Ini berarti penyerupaan (tasybih) sesuatu dengan sesuatu yang lain.[7]           
         Dalam penggunaannya, al-matsal digunakan dalam juga dapat diartikan untuk menjelaskan sesuatu yang menakjubkan dalam hal sifat[8], keadaan, kisah, sunnah[9], ‘ibrah dan nasehat[10], hukuman[11], pembicaraan, hujjah,  dan perkara yang menakjubkan[12] lainnya.  Demikian pula, al-amtsal dapat digunakan dalam bentuk tasybih (penyerupaan)[13] dan isti’arah[14] (kata pinjaman/metafor).[15] 
         Dalam konteks pembinaan hukum Islam, Ibnu Qayyim mengungkapkan bahwa,”Perumpamaan-perumpamaan dalam Al Qur’an hanya diketahui oleh orang-orang yang berilmu,  karena perumpamaan itu menyerupakan sesuatu dengan sesuatu dalam segi hukumnya, dan mendekatkan logika dengan kenyataan.  Atau, mendekatkan satu dari dua kenyataan dengan yang lainnya.[16]
         Berkaitan dengan penggunaan Al-Amtsāl, nampaknya tidaklah memadai jika dijelaskan semata dengan pengertian tasybih dan isti’arah.  Akan semakin lebih mampu menjelaskan penerapan al-amtsal ini,  bila ditambahkan juga dengan adanya lafazh tajsim (materialisasi), tasykhish (personifikasi), dan takhyil (imajinasi), sebagaimana yang disarankan oleh Al-Shalih dalam Mabahits nya.   Dengan demikian, penggambaran-penggambaran yang ada dalam Al Qur’an akan semakin hidup, dan memiliki daya hidup bagi pembacanya.  Dalam konteks inilah, sangat menarik untuk dikaji lebih jauh metode yang digunakan oleh Sayyid Quthub dalam bukunya yang terkenal, Al-Tashwir al-Fanniy fi al-Qur’ān.
         Ketiga unsur perumpamaan tersebut, tajsim, tasykhish dan takhyil, keseluruhannya dapat dirasakan sebagaimana terungkap dalam perumpamaan antara yang haq dan yang batil sebagaimana tercantum dalam surat Al-Anbiyaa` ayat 18 berikut :
              “ kami lontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.”

         Unsur tajsim terdapat dalam penggambaran haq sebagai benda yang dilontarkan demikian berat.  Unsur tasykhish terdapat dalam penghancuran yang dilakukan haq terhadap kebatilan.  Sedangkan unsur takhyil terdapat di dalam gambaran sesuatu yang dapat dibayangkan, yaitu suatu bayangan khayal yang ditimbulkan oleh gerakan melontar, menghancurkan dan melenyapkan.  Gelora kalimat tersebut dalam ayat tersebut laksana guruh yang menggeledek menghantam tulang belulang kebatilan dan menghancurkannya hingga remuk redam.  Model pendekatan seperti inilah yang akan banyak kita temukan dalam dua karya Sayyid Quthub tentang keindahan sastra Al Qur’an,  Al-Tashwir Al-Fanniy fi Al-Qur’ān dan Masyāhid al-Qiyāmah fi Al-Qur’ān.

D.          MACAM-MACAM PERUMPAMAAN
Al Qur’an telah mendorong manusia untuk melakukan kajian terhadap seluruh alam ini berikut segala yang ada di dalamnya, dengan ditampilkannya tamsil yang cukup banyak.  Diantara tamsil yang dihadirkan Al Qur’an adalah mengilustrasikan fenomena alam, karakter manusia, tingkah laku, status, amalan, siksa, pahala  dan ideologi umat manusia selama hidup di dunianya.  Oleh karena itulah, Al Qur’an membuat segala macam perumpamaan, sehingga tidak ada satu kitab pun yang membuat tamsil yang kesempurnaannya sebanding, apalagi melebihi Al Qur’an.
Perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qaththan dan para penulis lainnya, terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Al-Amtsāl al-Musharrahah (Perumpamaan yang Jelas-Tegas), Al-Amtsāl al-Kāminah (Perumpamaan yang Tersembunyi), dan Al-Amtsāl al-Mursalah.[17]  Al-Suyuthi, meskipun menyatakan bahwa Al-Amtsāl terbagi menjadi dua macam, namun menyebutkan juga jenis yang ketiga dalam bagian yang terpisah pada karyanya, Al-Itqan.[18]
Al-Amtsāl al-Musharrahah adalah Perumpamaan-perumpamaan yang secara jelas menggunakan lafazh seperti matsala, ataupun lafazh lainnya yang secara jelas menunjukkan pengertian tasybih.  Jenis perumpamaan seperti banyak terdapat dalam Al-Qur’an.  Sebagai contoh, dapat disebutkan perumpamaan tentang orang-orang munafik yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 17-20 berikut ini :
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.    Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).  Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Dalam rangkaian ayat tersebut,  Allah SWT menggambarkan orang-orang munafik dalam dua permisalan.  Yang pertama, digambarkan sebagai orang yang menyalakan api, dalam pengertian mencari api dan berusaha menyalakannya.  Namun, ia hanya berada di bawah sinarnya selama apinya menyala. Apabila meninggalkannya, maka iapun berada dalam kegelapan, sehingga tetap berada dalam kadaan tanpa petunjuk dan tidak bisa melihat.  Penggambaran ini, sebagaimana diungkapkan oleh Mujahid dan Qatadah, menunjukkan kepura-puraan mereka dalam mencari kebenaran.  Terbukti, ketika nabi akhir zaman yang mereka tunggu-tunggu itu datang, Nabi Muhammad SAW, mereka justru mendustakannya.   Permisalan kedua, seperti orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai petir dan kilat yang menyambar-nyambar, yang menutupi telinganya karena takut terhadap petir tersebut.[19] 
Demikian pula, permisalan air dan api terhadap kebenaran dan kebatilan, sebagaimana terdapat dalam surat Al-Ra’du ayat 17, dimana kebenaran digambarkan sebagai air yang turun dari langit, sedangkan kebatilan sebagai api.
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.
Yang kedua, Al-Amtsāl al-Kāminah, adalah perumpamaan-perumpamaan yang tidak secara jelas mencantumkan lafazh tamtsil, tetapi mengandung lafazh figuratif (majazi) sehingga dapat diterapkan pada kalimat lain yang serupa.  Berkaitan dengan ini, Al-Zarkasyi memberikan contoh yang berasal dari Al-Mawardi dan Husain ibn al-Fadhl.  Diantaranya, sebagai berikut :
1. Berkaitan arti pepatah “ Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan” dapat digambarkan dengan pensifatan sapi betina petikan ayat “yang tidak tua dan tidak muda” dalam surat Al Baqarah ayat 68; serta permisalan tentang orang-orang yang berinfak dalam surat Al-Furqan ayat 67 dengan ungkapan “dan mereka itu jika berinfak tidaklah berlebih-lebihan dan tidak pula menahan-nahannya, akan tetapi berada dalam keadaan yang pertengahan”.  Demikian pula, dapat digambarkan dengan petikan ayat dalam surat Al-Isra`  ayat 29 dan ayat 110.
2. Berkaitan dengan pepatah “ Berita itu tidak seperti kenyataannya”; digambarkan dalam surat Al Baqarah ayat 260 yang berisi petikan kisah Nabi Ibrahim yang meminta agar diperlihatkan bagaimana Allah SWT menghidupkan yang telah mati.
3.  Demikian juga, berkaitan dengan ungkapan “seorang mukmin tidak layak terjatuh pada lubang yang sama dua kali”.  Ini digambarkan dengan permisalan dari ungkapan Nabi Ya’qub dalam kisah Nabi Yusuf yang terdapat dalam surat Yusuf ayat 64.

         Jenis perumpamaan yang ketiga, Al-Amtsāl al-Mursalah,  adalah kalimat-kalimat lepas yang tidak secara jelas mengandung lafazh tasybih.  Hal ini dapat ditemukan dalam Al Qur’an, diantaranya pada surat Yusuf ayat 51 dalam ungkapan “wa al-ana hashhasha al-haqq”.[20]
         Disamping pembagian Al-Amtsāl oleh Al-Qaththan berdasarkan jenisnya itu,  Abu Abdullah Al-Bakrabadzi, membagi tamtsil dalam empat bentuk, sebagai berikut , yaitu : 
(1)       mengeluarkan sesuatu dari yang tidak dapat ditangkap oleh indera menjadi dapat ditangkap oleh indera; 
(2)  Mengeluarkan sesuatu yang secara dogmatis tidak dapat diketahui oleh akal menjadi dapat diketahui;
(3)  Mengeluarkan sesuatu dari yang tidak dapat diterima oleh tradisi menjadi dapat diterima;  dan
(4) mengeluarkan sesuatu yang tidak memiliki kekuatan pengaruh menjadi dapat mempengaruhi. 

E.           TASYBIH DAN ISTI’ARAH
Tasybih secara  bahasa adalah petunjuk dalil yang menunjukkan persinggungan makna antara satu perkara dengan yang lain, atau menjadikan sesuatu serupa dengan yang lainnya.    Menurut istilah, tasybih dapat diartikan sebagai dalil yang menunjukkan adanya persinggungan makna antara satu  perkara dengan perkara lain, dimana tidak terdapat bentuk isti’arah ataupun tajrid, tetapi menggunakan lafazh yang mentasybihkan.  Adapun rukun-rukun tasybih ada empat, yaitu Musyabbih,  Musyabbah bihi, Wajhu al-Syibhi, dan Al-Ādah.
Musyabbih adalah lafazh yang diserupai dalam kalimat tersebut, yaitu lafazh yang diinginkan menjadi pengokoh sifat yang ditasybihkan.  Adapun Musyabbah bihi adalah lafazh yang diserupakan, yaitu yang sifat yang ingin diserupakan (ditasybihkan).  Adapun yang dimaksud dengan Wajhu al-Syibhi  adalah sifat yang dimaksudkan untuk dikokohkan oleh Musyabbih.  Sedangkan Al-Ādah lafazh-lafazh yang menunjukkan pada makna penyerupaan.   Al-Ādah  ini dapat berbentuk  kata benda (ism), kata kerja (fi’l), ataupun harf seperti huruf Kaf.[21]
Sebagai contoh, tasybih orang yang tidak mengamalkan isi Al-Kitab, diserupakan dengan keledai yang mengangkut buku-buku tebal, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Jumu’ah ayat 5. 
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang lalim. 

Demikian juga perumpamaan kehidupan dunia dengan air yang turun dari langit, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, lalu menjadi makanan manusia dan ternak,  namun ternyata musnah tak berbekas dalam semalam dikarenakan adzab Allah; sebagaimana  dapat dipelajari dari surat Yunus ayat 24.[22]
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.

Adapun isti’arah, penggunaan kata-kata pinjaman, yang memiliki arti metafora adalah berupa kalimat yang menggambarkan sesuatu yang abstrak menjadi konkrit.  Sebagai contoh, dapat dikemukakan metafora yang digambarkan dalam surat A-Takwir ayat 18,  “Demi Subuh bila bernafas”.  Pada ayat ini, kalimat subuh bernafas mengibaratkan kemunculan cahaya pagi dari kegelapan malam.  Seolah-olah orang menarik nafas panjang sehabis berduka cita atau baru terlepas dari kesedihan.

F.           MANFAAT PERUMPAMAAN DAN PENGARUHNYA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Al Qur’an adalah kitab mukjizat yang indah dan memiliki nilai berharga dalam kepustakaan sastra dan peradaban Arab.  Penggunaan tamsil dalam Al Qur’an semakin mengokohkan paradigma keindahan bahasa yang digunakan dalam Al Qur’an. 
Berkaitan dengan pengaruh tamsil bagi jiwa manusia, Imam Al-Jurjani mengungkapkan secara gamblang, sebagaimana dikutip oleh Al-’Abdaliy,  bahwa tamsil itu akan memperdalam pengungkapan makna yang dikandungnya sehingga memiliki kekuatan pengaruh yang berlipat-lipat ketimbang selainnya, menyalakannya dan menggerakkan jiwa tersebut karenanya.  Jika berupa kalimat pujian, maka dia akan memuliakannya dan membesarkannya dengan kemuliaan yang sesungguhnya.  Jika berupa celaan, maka akan menyentuh dan tepat.  Bila berupa hujjah akan memiliki kekuatan yang argumentatif.  Dan jika berupa pengajaran dan nasehat akan lebih menyentuh hati dan merangsang pikiran.[23]
Berbagai macam perumpamaan yang terdapat dalam Al Qur’an, dengan berbagai bentuknya, berfungsi untuk menjelaskan kepada manusia tentang berbagai persoalan dalam kehidupan, dunia dan akhirat.  Perumpamaan-perumpamaan tersebut menjadi cermin bagi jiwa manusia, seperti seseorang yang berdiri di depan cermin, yang mana ia dapat melihat wajahnya sendiri dan apa yang ada di belakangnya.  Dengan demikian,   akan mampu menghantarkan manusia kepada hakikat yang sebenarnya dari perumpamaan tersebut.  Pemahaman akan hakikat itulah yang akan melahirkan rasa malu, dan pada akhirnya,  hati menjadi mantap, tenang dengan penuh keyakinan.[24]
Menarik untuk ditelaah lebih lanjut, metode tashwir yang digunakan oleh Sayyid Quthub dalam menjelaskan paradigma barunya untuk  memahami Al Qur’an.  Tashwir, sebagai salah satu bentuk dan bagian dari tamsil, merupakan cara paling penting yang digunakan dalam ungkapan-ungkapan gaya bahasa Al Qur’an.  Bagaimana pengaruh tamsil seperti ini terhadap jiwa manusia diungkapkan secara indah oleh Sayid Quthub dalam pengantar bukunya “Masyāhid al-Qiyāmah fi Al-Qur’ān” sebagaimana kutipan berikut :[25]
Tashwir mencoba mengungkap,  dalam bentuk yang menggugah rasa dan membangkitkan daya khayal,  tentang suasana hati, suasana jiwa, kejadian yang dirasakan, peristiwa yang disaksikan yang mengungkap model manusia dan karakternya.  Kemudian, meningkat ke dalam bentuk pelukisan yang diberinya daya hidup atau dinamika baru.  Tiba-tiba suasana hati berubah menjadi gerak; suasana jiwa menjadi peristiwa sungguhan;  model manusia seolah-olah hidup nyata dan karakter orang tiba-tiba menjelma menjadi sebuah sosok.  Kejadian, peristiwa, kisah dan pandangan mata seakan-akan hadir jelas dengan penuh daya pikat dan dinamis.  Jika kemudian dilengkapi dengan suasana dialogis, maka lengkaplah suasana unsur khayali, sehingga ketika suatu sajian dimulai, para pendengar terkecoh.  Mereka hanyut ke dalamnya, mengalir terus dan gerakan-gerakannya tetap baru.  Si pendengar lupa bahwa semua itu hanyalah kata-kata belaka atau sebuah perumpamaan.  Ia membayangkan sebagai pemandangan dan peristiwa yang sesungguhnya terjadi.  Jiwanya hanyut dalam kenikmatan sejuta rasa dan emosi yang tumbuh dari dirinya yang menyatu dalam peristiwa.  Lidahpun kemudian menggumamkan kata-kata yang merasuki relung-relung jiwanya.  “itu benar-benar terjadi di sini, bukan semata kisah tentang kehidupan.”


Meskipun perumpamaan-perumpamaan tersebut akan mampu menghantarkan kepada hakikat yang sebenarnya, namun perumpamaan itu sendiri bukanlah hakikat yang sebenarnya[26].  Perumpamaan hanyalah sebatas perumpamaan dan pendekatan saja, sehingga tidaklah berarti bahwa perumpamaan itu menggambarkan hakikat yang sebenarnya.  Sebagai contoh dapat diungkapkan, ketika Allah SWT ingin memberikan gambaran tentang surga kepada manusia, maka Allah SWT menggunakan tamsil yang mudah ditangkap oleh indera dan rasio manusia.  Namun demikian, penggambaran yang dimuat itu, tentunya tidaklah sama dengan keadaan hakikat yang sebenarnya dari surga itu sendiri.  Begitu pula penggambaran tentang neraka, keadaan di hari kiamat dan perkara yang gaib lainnya. 
Diantara penggambaran yang Allah SWT berikan tentang surga, adalah sebagaimana terdapat pada surat Muhammad ayat 15, yang menggambarkan bahwa di dalam surga itu mengalir sungai-sungai yang terdiri dari sungai berisi air tanpa rasa, sungai susu, dan sungai khamr serta sungai madu. 
Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?

Namun demikian, penggambaran tersebut bukanlah hakikat yang sebenarnya.  Begitu pula perumpamaan-perumpamaan lainnya.[27]
Dengan demikian, secara ringkas, dapat dikemukakan bahwa Perumpamaan-perumpamaan dalam Al Qur’an tersebut memiliki  manfaat dan faidah antara lain :[28]
1.       Mengungkap hakekat dari perumpamaan-perumpamaan tersebut dengan  memaparkan sesuatu yang abstrak menjadi nyata, sebagaimana permisalan tentang riba yang terdapat pada surat Al Baqarah ayat 275.
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

2.      Mengeluarkan sesuatu yang sulit diterima akal menjadi dapat diterima dan dipahami secara inderawi, seperti permisalan tentang orang yang berinfak karena riya` yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 265.
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.

3.      Perumpamaan merupakan bentuk yang paling dapat menyentuh jiwa dan hati manusia, karena keindahan metode pengungkapan dan gaya bahasa yang digunakan.  Tentang hal ini, menarik untuk disimak pernyataan Sayid Quthub pada kutipan, berikut :
Tashwir merupakan cara yang paling indah dan istimewa untuk bidang seni dan agama.  Untuk menjelaskan hal ini, cukuplah kita gambarkan makna-makna dalam bentuk abstrak, kemudian sesudah itu kita gambarkan makna-makna konkrit.   Makna-makna dalam bentuk pertama ditujukan kepada hati dan kesadaran yang sampai tanpa keindahan.  Bentuk kedua ditujukan kepada perasaan dan emosi, lalu sampai ke dalam jiwa melalui beberapa arah : dari arah panca indera dengan membayangkan dan mengalami; dari perasaan dengan jalan merasakan, dan dari emosi melalui gemanya.  Dengan demikian hati hanya salah satu saja dari sekian saluran menuju jiwa dan bukan satu-satunya…………..Dengan metode tashwir itulah Al Qur’an menyajikan bukti-bukti hari kiamat..”[29]


G.          KAJIAN TERHADAP AL-AMTSĀL FI  AL-QURĀN
Kajian dan pembahasan terhadap Al-Amtsāl Fi  Al-Qurān telah banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu.  Berikut adalah kitab-kitab klasik yang ditulis secara khusus berkaitan dengan topik Al-Amtsāl Fi  Al-Qurān :[30] 
1. Al-Amtsāl Min Al-Kitab wa Al-Sunnah  karya  Al-Hakim Al-Tirmidzi
2.  Amtsāl Al-Qurān   karya Ibrahim ibn Muhammad (w. 323 H)
3. Amtsāl Al-Kāminah Fi  Al-Qurān  karya Al-Hasan ibn al-Fadhl
4. Amtsāl Al-Kāminah Fi  Al-Qurān  karya Abu Muhammad Al-Hasan
5.  Amtsāl Al-Qurān  karya Abu Ali Muhammad Al-Junaid (w. 381 H)
6. Amtsāl Al-Qurān  karya Abu Hasan Ali ibn Muhammad Al-Mawardi
7. Amtsāl Al-Qurān  karya Abu Abdurrahman Ibn Hasan A-Salami
8.  Durar Al-Amtsāl karya Abu Al-Ashba’ Al-‘Udwani
9.  Amtsāl Al-Qurān  karya Ibnul Qayyim
10. Amtsāl Al-Qurān  karya Mahmud ibn Al-Syarief

Menurut hemat penulis, sejauh metode penulisan dan pembahasan yang dapat diikuti dari beberapa buku diatas (terutama Ibnu Qayyim dan Al-Tirmidzi), diperlukan penyempurnaan metode pengkajian, dimana selayaknya, pendekatan kebahasaan dengan penggunaan ilmu-ilmu balaghah yang kering rasa, diimbangi dengan metode penggambaran yang hidup sebagaimana dikehendaki oleh Al-Jurjani dan dicoba dilakukan oleh Sayyid Quthub.  Dengan demikian, perumpamaan-perumpamaan tersebut tidak semata dirasakan ijaz bahasanya, namun juga memiliki daya hidup yang mampu menggelorakan jiwa.


Oleh : Edy Chandra

No comments:

Post a Comment

ini komentar