Sunday, 6 December 2015

seputar Alqur'an



Alqur'an Buatan Nabi?

alhikmah.com - Setiap kegiatan yang memerlukan panduan atau petunjuk selalu disertai dengan rasa percaya. Percaya bahwa panduan tersebut bisa menjadi pedoman dalam menyelesaiakan pekerjaannya.  Seorang pekerja harus pula percaya pada petunjuk kerjanya—untuk dipraktekkan—agar memperoleh hasil kerja yang baik. Begitu pula, bagaimana mungkin seseorang akan membeli obat penyembuh sakitnya bila ia sendiri tidak yakin terhadap akurasi resep dokter yang memeriksanya—terlepas dari alasan finansial ? Demikianlah kedudukan iman, apalagi terhadap alQuran, sumber tuntunan setiap segi kehidupan. Berangkat dari keadaan ini, maka pertanyaan di atas, bagi seorang muslim tidak lagi memerlukan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’, tetapi hendaknya dijadikan pemicu guna mempertanyakan kembali keyakinan pada firman-firman Allah SWT. Keyakinan yang meresap ke dalam jiwa untuk berupaya mengamalkannya. Minimnya nilai qurani yang dipraktekkan dalam keseharian dapat menjadi jawaban seberapa besar animo kita pada alQuran, yang pada akhirnya menjadi indikasi tentang seberapa besar kadar iman kita pada alQuran alkarim, rukun iman yang ketiga ini. Artinya, kesepakatan menjadikan alQuran sebagai pedoman hidup masih dalam tataran formal. Bisa jadi—salah satu—penyebabnya adalah kekuatan iman kita menjadi lemah ketika mulai berhadapan dengan ayat-ayat alQuran, di mana judul di atas muncul dalam benak kita.


Upaya beriman pada alQuran yang dimulai dengan judul tulisan ini, berarti harus menghadirkan alasan-alasan logis, bahwa alQuran bukan buatan atau gubahan Nabi Muhammad SAW. Namun, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai sisi pribadi Rosul, guna mengantarkan kita pada pemahaman lebih lanjut mengenai keistimewaan alQuran. Pertama, sisi keadaan Nabi sebagai seorang ummiy, yakni tidak pandai membaca dan menulis, serta tidak pernah belajar pada satu satuan pendidikan pun. Maka, jika ada yang mengatakan alQuran adalah modifikasi Taurat, Injil dan hasil pemikiran Nabi Muhammad, jelas hal ini mengada-ada. Karena, hingga abad keenam masehi pun (masa kehidupan Nabi), belum ada satupun kitab Taurat dan Injil yang diterjemahkan dalam bahasa arab (Deedat, Ahmed, The Choise, Dialog Islam dan Kristen , Pustaka Alkautsar, Jakarta, 1999, hal 52).

Kedua, sisi lain keadaan Nabi sebagai seorang yang bergelar al-Amin, yakni orang yang dapat dipercaya karena selalu jujur dan tidak pernah berbohong. Untuk gelar inipun, adalah pemberian masyarakat quraisy yang sebagian besar dari mereka tidak menyukai keberadaan Nabi bersama ajaran yang dibawanya, alQuran. Demikianlah integritas kepribadian Nabi yang mulia ini terbukti oleh sejarah, guna menghilangkan keraguan ummatnya. Untuk itulah, maka argumentasi yang akan dikemukakan ini terutama bertujuan untuk memberikan jawaban secara nalar, sembari mengajak hati untuk memulai hadir, sebagai pembentuk iman.


Logika Subjektivitas

Membuat suatu aturan yang dapat diterima setiap orang dalam jumlah yang banyak dan dalam kurun waktu yang cukup panjang tidaklah mudah. Meskipun dalam pembuatannya telah disertakan berbagai wakil dari kelompok masyarakatnya. Mekanisme pemilu salah satu contohnya, --bahkan hingga kini pun-- kita masih mendengar berita tentang kecurangan pemilu, hasilnya yang tidak ditandatangani, dan penyelewengan aturan lainnya, yang hal tersebut menguatkan pernyataan di atas. Mengapa demikian ? Jelas, bahwa setiap diri yang terlibat, sangat sulit membebaskan diri dari kepentingan, juga kebutuhan pribadi atau kelompoknya, yang ini memang manusiawi.


Maka, bagaimana bisa suatu aturan hidup yang demikian luas cakupannya ini dikatakan sebagai kata-kata hasil pemikiran Rosulullah SAW, padahal telah nyata aturan tersebut diterima oleh banyak lapisan masyarakat dunia ? Di sinilah, logika nalar kita menyebutkan : pembuat aturan tersebut (alQuran) adalah Ia yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap manusia, sekaligus Ia pula yang paling mengetahui hakikat kebutuhan setiap manusia di seluruh dunia ini, agar aturan yang diciptakan-Nya diterima dan diamalkan.

Di antara sifat aturan yang disusun oleh manusia ialah adanya potensi yang dimilikinya untuk mengalami perubahan. Tidak adanya kemampuan manusia untuk mengetahui apa sebenarnya yang akan terjadi nanti, menyebabkan semua aspek yang ada pada masa datang tidak termasuk dalam bagian pertimbangan ketika membuat suatu keputusan dan peraturan. Paling-paling, hanya berupa prediksi, analisa dan itu menjadi lemah karena tidak detil. Dan seandiainya analisa dan prediksi itu betul, biasanya tidak bertahan lama dengan adanya perubahan fakta yang terjadi. Jadi, apapun yang menjadi produk pemikiran dan kerja manusia akan mengalami perubahan seiring dengan waktu, ia dinamis dalam perubahannya. Maka pertanyaan 'apakah alQuran buatan Nabi?' menjadi terbantahkan.  Al-Quran, hingga kini belum dan tidak akan pernah mengalami perubahan redaksi meski pun sedikit.

Tiada Bacaan Selain AlQuran


AlQuran secara harfiah bermakna bacaan yang mencapai puncak kesempurnaan. Berikut ini kami  petikkan uraian Dr. Quraish Shihab mengenai kemahasempurnaan alQuran :

'Tiada suatu bacaan pun selain alQuran yang dibaca oleh ratusan juta orang, baik mereka yang mengerti artinya maupun yang tidak mengerti, bahkan dihafal redaksinya, huruf demi huruf. Lalu anehnya, para juara pembacanya seringkali dari ka-langan mereka yang bahasa ibunya bukan bahasa alQuran.'


'Tiada suatu bacaan pun yang mendapat perhatian sedemikian serius melebihi al-Quran, perhatian yang tidak hanya tertuju kepada sejarahnya secara umum, tetapi sejarah ayat demi ayat, baik dari masa, musim dan waktu turunnya sampai pada sebab-sebab turunnya.'

'Tiada suatu bacaan pun seperti alQuran yang dipelajari redaksinya, bukan hanya da-ri segi penempatan kata demi kata atau pe-milihan kata tersebut, tetapi juga arti dan kandungan baik tersurat maupun tersirat-nya.'


'Tiada suatu bacaan pun yang melebihi alQuran, yang darinya ditulis ratusan ribu jilid tafsirnya, kandungan isinya, generasi demi generasi, hingga saat ini.'


'Tiada suatu bacaan pun seperti halnya al-Quran, yang dihitung jumlahnya bukan hanya bagian terbesarnya (surah-surahnya), melainkan sampai ayat-ayat, kalimat, kata, hingga hurufnya sekalipun, dan kemudian ditemukan rahasia-rahasi yang sangat mengagumkan dari perimbangan jumlah bilangan kata-katanya.'


'Tiada suatu bacaan pun seperti alQuran, yang memiliki kedalaman makna dalam redaksinya yang singkat, yang mempu memuaskan akal dan menggetarkan jiwa pembacanya' (Shihab, Quraish, Mukjizat AlQuran, Mizan, Bandung, 1999, hal. 48-58)

Penghargaan Spontan


alhikmah.com - Kekaguman, penghargaan yang menyatakan sikap menerima al-Quran sebagai bacaan maha sempurna tidak hanya oleh mereka yang meyakininya sebagai pedoman hidup. Bahkan dari musuh-musuh al-Qur'an pun memberikan yang tidak diminta sehubungan dengan mukjizat alamiah dan ilahiyah dari kitabullah ini.

Gibb dalam bukunya Mohammedanism, menulis : 'Tidak seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mam-pu dan berani dan demikian luas ge-taran jiwa yang diakibatkannya, seperti apa yang dilakukan oleh Muhammad (melalui alQuran)...' (Shihab, Quraish, Mukjizat AlQuran, Mizan, Bandung, 1999, hal. 59)
Pendeta R. Bosworth-Smith, dalam bukunya Mohammed and Mohammedanism menulis opini tentang alQur’an : 'Sebuah mukjizat dari kemurnian gaya bahasa, kebijaksanaan dan kebenaran.'
A.J. Arberry dalam kata pengantar terjemahan alQuran berbahasa inggrisnya, berkata: 'Setiap saya mendengar alQuran, sepertinya saya sedang mendengarkan musik. Dalam alunan melodi, selama itu terdapat suara yang terus memukul sebuah drum, seperti memukul-mukul hati saya.'
J. Shillidy, D.D. dalam The Lord Jesus ini the Koran, Surat 1913, p.111 menyebutkan : 'AlQuran adalah injil kepunyaan mohammedan (umat pengikut Nabi, Islam --red), dan lebih dihormati dari pada kitab suci lainnya, lebih dari Perjanjian Lama orang Yahudi atau Perjanjian Baru orang Kristen.' Ketiga pendapat terakhir ini diambil dari buku karangan : Deedat, Ahmed, The Choise, Dialog Islam dan Kristen, Pustaka Alkautsar, Jakarta, 1999, hal. 183-184.
Masih banyak lagi hal-hal senada yang dikemukakan, termasuk Michael Hart, yang menempatkan baginda Rosulullah SAW dalam urutan pertama dalam seratus tokoh dunia terkemuka, bukan saja karena kepemimpinannya saja, tetapi kehebatan ajaran yang disebarnya, yang tiada lain adalah alQuran. Apakah mereka semua ini menerima imbalan tertentu dari umat Islam karena kalimat-kalimat di atas ? Mungkinkah terjadi konspirasi antara umat Islam dengan golongan laisa minna yang bertujuan hanya untuk meningkatkan pamor alQuran dan Islam, di mana harus melibatkan sekian banyak orang dalam kurun waktu yang demikian panjang ? Mudah untuk menebaknya. Bahwa hanya kejujuran ilmiah sajalah yang mendorong (memaksa -red) mereka untuk mengeluarkan hasil ketidakpercayaan mereka atas alQuran !


Jawaban Nabi


Dari keistimewaan-keistimewaan yang tergambarkan ini, mari kita bertanya, 'Biasanya, bagaimana sikap manusia terhadap suatu karya (apapun bentuknya) yang mengandung nilai tinggi, karena keistimewaan yang dimilikinya ?' Kenyataan menunjukkan : 'Barang tiruan justru lebih banyak dari pada yang aslinya'. Demikian pula, tidak sedikit orang yang secara terang-terangan mengaku karya istimewa milik orang lain sebagai hasil kreatifitasnya. Jika demikian, mengapa karya agung yang begitu dahsyat pengaruhnya ini dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, seorang ‘manusia biasa’ ? Lalu apakah Nabi pun akan bangga mengakuinya ? Hanya karena anugerah Allah-lah, maka integritas kepribadian Nabi yang mulia ini, secara tegas dan pasti, menyatakan : Tidak ! Mari kita baca apa yang mereka sebut sebagai kata-kata Nabi itu (alQuran, yakni surah al-Ahqaf ayat 9) : 'Aku tidak lain kecuali mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, dan aku tidak lain kecuali seorang pemberi peringatan !'


Ada sebuah nasehat, bahwa memahami nilai yang terkandung dalam suatu teks agama, tidaklah cukup dengan menggunakan akal saja, karena pada saat yang sama, akal itu dapat membalikkan setiap kesimpulan yang didapatinya dari teks agama tersebut. Oleh kerena itu, apa yang sudah dipaparkan dalam tulisan ini akan menjadi efektif bila setiap kita memahami bahwa alQuran benar-benar dari Allah, refleksi hati kita pun mengatakan demikian.


Jika kita—dengan akal—berdecak kagum atas keistimewaan alQuran ini, maka segeralah diiringi dengan pengakuan dari hati kita seraya melafadzkan ‘subhanallah’. Apabila hal-hal ini diabaikan, maka kita tidak berbeda dengan Gibb, R. Bos-worth, A.J. Arberry, atau yang lainnya. Pengenalan mereka pada alQuran baru pada tahap kognitif. Belum menyertakan intuisi. Meskipun mereka melakukan penelitian yang demikian detil, panjang dan melibatkan berbagai perangkat ilmiah lainnya pada alQuran, tetapi mereka tidak menyertakan satu hal lain yang harus dilibatkan, yakni kehadiran hati. Dapat saja dikatakan, orang-orang ini pada hakikatnya tidak memperoleh apa-apa, meskipun orang lain dapat menerima alQuran sebagai pedoman hidup karena kalimat-kalimat mereka, dan inipun berkat kehadiran hati.


Padahal, yang seharusnya kita lalui bersama agar pemahaman atas alQuran ini tidak sia-sia adalah ketika indera menangkap isi kandungannya, kemudian akal mengolahnya sebagai pengetahuan yang meyakinkan, diteruskan pada penerimaan hati agar diresapi dalam jiwa sehingga menjadi satu akidah yang kuat, yang mampu memberikan keputusan dan sikap tegas serta membimbing diri pada jalan yang seharusnya.


Alasan-alasan yang disebutkan di atas, insya Allah telah dapat memberikan sumbangsih dalam upaya membuktikan: Al-Quran bukan buatan Nabi. Selaras dengan tujuan untuk memperkuat bukti, bahwa Allah-lah yang menurunkan al-Quran (al-Quran memang benar-benar firman Allah). Untuk itu, sebaiknya kita tidak melewatkan sebuah pertanyaan, "Bagaimana dengan mukjizat ? Apakah tidak ada mukjizat al-Quran yang mampu meyakinkan pembacanya, bertekad untuk mengamalkannya ?" Dalam rangka misi inilah, insyaAllah penulis akan meneruskan tulisan ini pada bagian ketiga, yang memberikan penjelasan lanjut mengenai mukjizat-mukjizat al-Quran.

Sifat Mukjizat Al-Qur'an


alhikmah.com -Jika yang dimaksud dengan mukjizat dari pertanyaan sebelumnya adalah mengubah tongkat menjadi ular, menghidupkan orang mati, atau hal-hal sejenis lainnya, maka bukan itu jawabannya. Mukjizat-mukjizat yang demikian bersifat inderawi. Ia dapat diketahui cukup melalui indera-indera kita yang lima. Berarti, mukjizat seperti ini bersifat terbatas. Terbatas pada ruang dan waktu tertentu saja, di saat mukjizat itu terjadi, sehingga kurang diyakini bagi mereka yang ragu, karena tidak dapat merasakan atau setidaknya melihat secara langsung. Sebaliknya, mukjizat al-Quran tidak  dapat diketahui hanya dengan indera saja, tetapi keterlibatan akal lebih dominan. Hal-hal yang demikian inilah yang membedakan sifat mukjizat Nabi Muhammad SAW (al-Qur’an) dengan mukjizat nabi-nabi sebelum beliau. Mukjizat al-Quran dapat kita lihat pada isi kandungannya.



Tingkat kemukjizatan yang ada pada al-Quran ini seakan menandaskan bahwa mukjizat al-Quran hanya dapat dirasakan oleh mereka yang mempergunakan akal. Dapat kita baca kembali, bagaimana respon orang-orang kafir itu (Gibb, A.J. Arberry, dan lainnya, lihat tulisan sebelumnya) terhadap al-Quran setelah mengetahui isi kandungannya, tentunya dengan akal pikiran mereka sendiri. Oleh karena itu, ayat-ayat yang ada di dalamnya menunjukkan bahwa segmen al-Quran adalah orang-orang yang mempergunakan akalnya, bukan orang-orang yang hanya mengandalkan sarana inderawinya saja.



Dengan sifat kemukjizatannya yang sedemikian rupa ini, maka ia tidak saja dapat diketahui oleh banyak manusia, tetapi juga tidak terikat pada waktu, sebagaimana mukjizat-mukjizat yang terdahulu. Namun demikian, bukan berarti Nabi Muhammad SAW tidak pernah memperoleh mukjizat lainnya. Hal-hal luar biasa yang pernah nabi alami dapat kita ketahui melalui shirah kehidupannya. Awan yang membuat beliau tetap merasa teduh meski udara panas, air yang keluar di antara sela jari-jarinya, atau makanan sedikit namun mengenyangkan banyak orang, dan lain-lain adalah sebagai peristiwa yang pernah dialami beliau. Tetapi tujuannya bukan untuk menentang mereka yang ragu terhadap tugas kerisalahannya, atau untuk membuktikan kebenaran kenabiannya, melainkan lebih pada sebagai anugerah Allah kepada Nabi dan bantuan bagi ummat Islam.



Mukjizat Nabi Musa berupa tongkat yang dapat berubah menjadi ular diberikan di tengah-tengah masyarakatnya yang memiliki kemampuan di bidang sihir. Begitu pula kemampuan mukjizat mengembalikan penglihatan  orang yang buta, menyembuhkan penyakit sopak dan menghidupkan orang mati dianugerahi oleh Allah kepada Nabi Isa untuk menghadapi ummatnya yang amat mahir dalam bidang pengobatan. Apa sebenarnya yang ingin diungkap ? Bahwa ternyata Allah memberi mukjizat pada utusannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing ummatnya, untuk menantangnya—dan mereka sudah pasti tidak mampu menandinginya—agar mengakui dan mengikuti misi risalah nabi yang diutus. Akan lebih memudahkan, bila kita pahami satu perumpamaan berikut. Seorang pelari kuat yang ingin membuktikan kebenaran anggapannya—ia adalah pelari handal—tentu tidak akan menantang orang-orang yang cacat kakinya. Dengan menandingi mereka yang sama kemampuan larinya bahkan lebih, dan ia berhasil mengalahkannya, otomatis kebenaran anggapannya terbukti.



Keindahan dan Ketelitian Bahasanya
Demikian pula halnya dengan al-Quran. Masyarakat arab ketika itu mempunyai kehebatan dalam membuat kalimat-kalimat indah, pepatah dan syair atau puisi. Mereka saling berlomba untuk menciptakannya, dan menjadi suatu kebanggaan. Maka mukjizat yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan-pernyataan (firman Allah) dengan kadar keindahan bahasanya yang luar biasa, sehingga tidak mungkin tertandingi, di samping muatan pesan dan perintah yang ada di dalam mukjizat itu—al-Quran. Al-Quran sendiri memberi tantangan kepada siapapun yang meragukan kebenarannya. Bahkan, secara telak ia (al-Quran) telah memastikan ketidakmampuan manusia, juga jin, untuk menandingi keagungannya. “Katakanlah : ‘Seandainya manusia dan jin berhiimpun untuk menyusun semacam al-Quran ini, mereka tidak akan mampu melakukannya, walaupun saling membantu” (QS. 17 : 88)



Di antara aspek utama kemukjizatan al-Quran ada tiga, aspek keindahan dan ketelitian bahasa, isyarat ilmiah dan pemberitaan ghaib. Dari kenyataan di atas, dapat dikatakan, bahwa keunikan dan keistimewaan al-Quran dari segi bahasa, merupakan mukjizat pertama dan utama, karena aspek isyarat ilmiah dan pemberitaan ghaib tidak dapat mereka (masyarakat arab di zaman nabi) pahami kecuali setelah beberapa abad kemudian.



Disadari, untuk memahami mukjizat keindahan dan ketelitian bahasa al-Quran, dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan berbahasa arab yang cukup tinggi. Meskipun demikian, kita dapat melihat sisi-sisi lain dari mukjizat al-Quran untuk aspek yang satu ini :



Nada dan Langgamnya.

Ketika membaca al-Quran, maka hal pertama yang dirasakan adalah nada dan langgam dari tiap ayat yang dibaca. Keunikannya dapat dilihat pada ritme dan irama ketika diucapkan. Satu contoh, yang ada dalam surat an-nazi’at: Di saat selesai pada ayat kelima, diteruskan pada ayat selanjutnya, namun dengan nada lain, berbeda dengan lima ayat pertamanya, sehingga tidak terasa adanya suasana bacaan yang monoton. Jika kita membuka lembaran-lembaran al-Quran pada halaman lainnya, niscaya akan ditemukan pula irama-irama ayat dengan keindahan lainnya. Simaklah juga rentetan al-asmaul husna dalam surat al-Hasyr ayat 22-24, dan demikian seterusnya, “al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya, di mana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita”. Kalimat terakhir ini merupakan ungkapan seorang cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran. Penulis ini memeluk Islam sebelum menterjemahkan al-Quran, dan kita tidak dalam sebuah posisi untuk membuktikan apakah ia menulis pengaruh nada al-Quran tersebut sebelum atau sesudah keIslamannya. (Deedat, Ahmed, The Choise, Dialog Islam-Kristen, Pustaka Alkautsar, Jakarta, 1999, hal. 184).



Keseimbangan Kata-Katanya

Tidak ada kata “kebetulan” untuk perimbangan kata-kata yang ada dalam al-Quran ini. Keseimbangan kata-kata tersebut begitu pas dan sama sekali tidak dibuat-buat. Berikut ini kami kutipkan sebagian apa yang telah diringkas oleh Dr. Quraish Shihab mengenai keseimbangan itu.


Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya :
-          Al-hayaah / kehidupan dan al-Maut / kematian masing-masing sebanyak 145 kali.

-          An-naf’ / manfaat dan al-fasaad / kerusakan masing-masing sebanyak 50 kali.

-          A-harr / panas dan al-bard / dingin masing-masing sebanyak 4 kali.

-          Ash-shalihat / kebajikan dan as-sayyiat / keburukan masing-masing sebanyak 167 kali.

-          Ath-thuma’ninah / kelapangan atau ketenangan dan ad-dhiiq / kesempitan atau kekesalan masing-masing sebanyak 13 kali

-          Ar-rahbah / cemas atau takut dan ar-raghbah / harap atau ingin masing-masing sebanyak 8 kali.

-          Al-kufr / kekufuran dan al-Iman / iman masing-masing sebanyak 17 kali (dalam bentuk definite).

-          Kufr dan Iman masing-masing sebanyak 8 kali (dalam bentuk indefinite).

-          Ash-shaif / musim panas dan asy-syitaa’ / musim dingin masing-masing sebanyak 1 kali.



Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonim atau makna yang dikandungnya :

-          Al-harts / membajak sawah dan az-ziraa’ah / bertani masing-masing 14 kali.

-          Al-‘ujub / membanggakan diri dan al-ghurur / angkuh masing-masing 27 kali.

-          Adh-dhaalluun / orang sesat dan al-mauta / mati (jiwanya) masing-masing 17 kali.

-          Al-quran, al-wahyu dan al-islam, masing-masing 70 kali.

-          Al-aql / akal dan an-nuur / cahaya masing-masing 49 kali.

-          Al-jahr / nyata dan al-‘alaaniyah / nyata masing-masing 16 kali.



Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya :

-          Al-infaaq / menafkahkan dan ar-ridhaa / kerelaan masing-masing 73 kali.

-          Al-bukhl / kekikiran dan al-hasrah / penyesalan  masing-masing 12 kali.

-          Al-kaafiruun / orang-orang kafir dan an-naar / neraka masing-masing 154 kali.

-          Az-zakaah / penyucian dan al-barokaat / kebajikan yang banyak mesing-masing 32 kali.

-          Al-faahisyah / kekejian dan al-ghadhab / murka masing-masing 26 kali.



Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan penyebabnya :

-          Al-israaf / pemborosan dan as-sur’at / ketergesa-gesaan masing-masing 23 kali.

-          Al-mau’izhah / petuah atau nasihat dan al-lisaan / lidah masing-masing 25 kali.

-          Alasraa / tawanan dan al-harb / perang masing-masing 6 kali.

-          As-salaam / kedamaian dan ath-thaayyibaat / kebajikan masing-masing 60 kali.



Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib

·          Tentang Reproduksi
Di antara ayat yang berbicara mengenai proses penciptaan manusia, terdapat dalam surat al-Qiyamah dari ayat 37, “Bukankah dia dahulu nuthfah dari mani yang dituangkan (ke dalam rahim), kemudian ia menjadi ‘alaqah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya ? Lalu Allah menjadikan darinya sepasang lelaki atau perempuan ? Manusia dinyatakan berasal dari nuthfah (setetes). Tidak berasal dari seluruh mani yang dituangkan. Ayat ini kemudian tidak  bertentangan, alias sejalan dengan kenyataan ilmiah. Bahwa hanya satu sel sperma saja yang mampu membuahi—dari + dua ratus juta benih manusia ini—sel telur (ovum),  sekaligus  sebagai penentu jenis kelamin di mana sel sperma tersebut memiliki kandungan, yang disebut dengan kromosom. Proses ini bisa kita ikuti secara detail dalam sebuah video “Keajaiban Penciptaan Manusia”  karya Harun Yahya, 

          

·          Tentang Semua Makhluq Hidup Berpasang-pasangan

Bukan hanya manusia yang disebutkan al-Qur’an hidup berpasang-pasangan. Namun semua makhluq selain manusia juga demikian. Allah berfirman: “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (QS. Yaasin: 36). “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat (kebesaran Allah) (QS. Ad-Dzariyat: 49) (Qardlawi, Yusuf, Dr., Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, GIP, 1999, hal 320).



·          Tentang Kejadian Alam Semesta dan air sebagai sumber kehidupan

Isyarat tentang langit dan bumi berasal dari satu gumpalan, disebutkan, “Tidakkah orang-orang kafir memperhatikan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan satu yang padu (gumpalan) kemudian Kami memisahkannya dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka juga tidak beriman ?” (QS. 21 : 30) Meskipun ia tidak menjelaskan bagaimana pemisahannya, berita ini dibenarkan oleh observasi para ilmuwan melalui teori ‘big-bang’. Tidak itu saja, Allah kemudian melanjutkan dengan firman-Nya, bahwa air merupakan sumber segala kehidupan. Sesuai dengan apa yang disebut para ilmuwan mengenai protoplasma yang berasal dari laut, yang daripadanya tercipta kehidupan. Dengan kata lain, semua kehidupan berasal dari laut, yakni air!



·          Tentang Fir’aun

Firman Allah, “Maka pada hari ini, Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran orang-orang (generasi) yang datang sesudahmu. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami” (QS. 10 : 92). Bahwa kebenaran tentang Bani Israil yang menyeberangi lautan bersama Nabi Musa,   memang   telah  diakui.    Begitu pula dengan tenggelamnya Fir’aun di Laut Merah ketika mengejar rombongan Nabi Musa yang berhasil menyeberangi laut. Namun tidak ada satu orang pun di masa Nabi Muhammad SAW   yang  mengetahui  menyangkut   tetap Utuhnya badan Fir’aun—meski telah ribuan tahun—sebagai pelajaran generasi sesudahnya. Dan ternyata jasad Fir’aun baru ditemukan pada abad ke-18. Dan sampai sekarang pun jasad yang sudah menjadi mummi itu masih ada dan disimpan di Museum Mesir.



Khotimah

Subhanalloh! Empat berita ini dan masih banyak lagi, telah cukup memberikan bukti kebenaran firman Allah, karena siapa lagi kalau bukan Allah, zat yang maha mengetahui—tanpa penelitian apapun—lagi maha kuasa—membuat badan Fir’aun tetap utuh? Tentunya masih banyak hal- lain sebagai bukti kemukjizatan al-Qur’an yang belum terungkap dan membuat ummat manusia berusaha menggalinya lebih dalam lagi. Hanya orang-orang yang beriman (istilah lain bagi ahli dzikr)  dan memanfaatkan potensi fikirnyalah yang akan mampu mengambil manfaat yang optimal dari al-Qur’an. Tidak sebagaimana kebanyakan ummat Islam yang hanya bangga dengan kebesaran mukjizat al-Qur’an tanpa melakukan apa-apa, tidak pula sebagaimana orang-orang non-islam yang berhasil melakukan investigasi dan menunjukkan kebenaran al-Qur’an tetapi tidak sanggup mengubah hati mereka untuk beriman kepada Tuhan yang telah menurunkan-Nya. Akhirnya, marilah kita renungkan firman Allah SWT: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam adalah menjadi tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi ulul-albab (orang yang cerdas). Yaitu mereka yang senantiasa berdzikir kepada Allah di saat berdiri, duduk dan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata “Ya Tuhan kami Sungguh tiada yang kau ciptakan ini sia-sia, maha suci Engkau  maka periharalah kami dari adzab api neraka”” (QS. 3. 190-191).



Wallohu a’lam



    Maraji’
Al-Qur’anul Karim Terjemahan Depag.
Ibnu Katsir , Tafsirul Qur’anil adhim.
Deedat, Ahmed, The Choise, Dialog Islam-Kristen, Pustaka Alkautsar, Jakarta, 1999.
Shihab, Quraish, Dr, Mukjizat Al-Quran, Mizan, Bandung, 1999.
  Qardlawi, Yusuf, Dr., Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, GIP, 1999.
Yahya, Harun, Keajaiban Penciptaan Manusia, VCD, NCR.

No comments:

Post a Comment

ini komentar