(Kitab Fathul bari Membungkam kaidah fiqh wahaby )Kaidah
Fiqh Islam : “Asal Ibadah adalah Tauqif” Bukan “haram”
ingat kaidah fiqh: “Asal Ibadah adalah Tauqif” Bukan
“haram”
dan “ibadah” yang dimaksud dalam kaidah ini hanyalah :
“ibadah mahdhah saaja”
Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan
Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits.
Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang
mendampinginya.
bisa dilihat di Kita Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul
Fiqh.
Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang
jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada
dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi,
mendahulukan ataupun mengakhirkan.
Sangat sering kita membaca atau mendengar ucapan,
1. “Mana dalilnya ?”,
2. Kalau memang itu baik/benar mengapa Rasulallah dan
para sahabat tidak pernah melakukannya 3. “Lau Kana Khairan Ma Sabaquna ilaihi
?”, “Apakah Rasulallah dan sahabatnya pernah melakukannya ?” dan lain
sebagainya.
Hal ini paling sering diucapkan oleh kelompok Salafy
Wahabi dalam memvonis amaliah pengikut I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, seperti
Yasinan, Tahlilan, Maulid Nabi Muhammad SAW., peringatan hari besar Islam,
bermazhab, sunahnya mengucap ushalli sebelum takbiratul ihram dan amalan
lainnya.
ASAL IBADAH ADALAH TAUQIF
Selanjutnya yang santer juga diucapkan oleh Salafy Wahabi
yaitu “Asal Ibadah adalah haram”. Yang kami temui istilah yang tepat dan banyak
disebut ulama adalah “Asal Ibadah adalah Tauqif” bisa dilihat di Kitab Fathul
Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang
jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada
dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi,
mendahulukan ataupun mengakhirkan. Dijelaskan selanjutnya tauqif itu mengikuti
:
1. Tauqif Sifat Ibadah (التوقيف
في صفة العبادة)
dicontohkan dalam penjelasannya :
“tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud
sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada
tempatnya”
2. Tauqif Waktu Ibadah (التوقيف
في زمن العبادة)
“tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu
tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya”
3. Tauqif Macamnya Ibadah (التوقيف
في نوع العبادة)
“tidak sah bagi
orang yang menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah
matahari atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata ” saya ingin melatih
badanku “ misalkan ini semua bid’ah.”
4. Tauqif Tempat Ibadah (التوقيف
في مكان العباد)
“jika seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji,
atau wuquf dimina, atau bermalam ( muzdalifah ) di arafah, dan sebaliknya, maka
ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai
tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’
Jadi dari penjelasan diatas jelas bahwa Ibadah yang
dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah
dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti :
Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
Maka secara umum dalam ushul fiqh terdapat suatu ijma’
ulama yaitu Lil Wasa’il Hukmul Maqashid, artinya “Hukum untuk perantara sama
dengan hukum tujuannya”.
Untuk mudahnya contohnya adalah :
“Berzina itu haram, maka menyediakan kamar/rumah untuk
berzina itu juga haram”. Maka Berzina itu maqashid (tujuannya) sedang
menyediakan kamar/rumah untuk berzina itu wasail (perantaranya). Jika kita cari
hukum berzina jelas ada dalilnya, tapi wasailnya tanpa dalil dia sudah berhukum
haram.
“Bershalawat adalah perintah (sunnah muakkad) maka
mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk mengenal kehidupan Nabi, membangun
kecintaan kepada beliau, termasuk bershalawat didalamnya adalah Sunnah”.
Bershalawat adalah maqashidnya sedang memperingati maulid adalah wasailnya.
Dan masih banyak contoh yang bisa kita ambil dalam Ibadah
Ghairu Mahdhah seperti Yasinan, Tahlilan, Mengucap ushalli dan lain sebagainya.
Terpenting adalah hal tersebut dari sisi maqashidnya tidak boleh bertentangan
dengan Qur’an dan Hadits.
“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik
didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan
tidak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan
suatu sunnah yang jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang
mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim
Nomor 1017)
No comments:
Post a Comment
ini komentar